Kamis, 09 Januari 2014

“PENDIDIKAN AKHLAK BANGSA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK” Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Republik Indonesia Jakarta, 5 JULI 2013


Assalamu’alaikum wr. wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua,

            Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa karena atas rahmat dan karuniaNya kita dapat saling berkumpul di tempat ini dalam keadaan sehat wal’afiat, khususnya dalam rangka mengikuti Training of Trainer Tingkat Nasional Pusat Dakwah dan Pendidikan Akhlak Bangsa (Pusdik Akhlak Bangsa) dengan Tema: “Pendidikan Akhlak Bangsa dalam Konteks Perlindungan Perempuan dan Anak”.

Pada kesempatan ini, perkenankan saya menyampaikan apresiasi yang tinggi atas penyelenggaraan kegiatanTOT Pusat Dakwah dan Pendidikan Akhlak Bangsa Angkatan I Tahun 2013 ini,  yang diagendakan secara khusus  oleh pihak Majelis Ulama Indonesia. Pada hemat saya bahwa pemilihan tema sebagaimana dimaksud adalah merupakan suatu bentuk kepedulian dan bentuk keprihatinan bersama, utamanya dalam rangka mengupayakan dan terus mengikis maraknya kekerasan terhadap anak dan perempuan dalam berbagai bentuk dan modus operandi, yang kecenderungannya terus meningkat.

Oleh karenanya, berbagai bentuk pendekatan dalam rangka mewujudkan perlindungan yang berkeadilan sangatlah dibutuhkan, terutama perlindungan bagi anak dan perempuan yang acapkali menjadi sasaran sebagai korban. Penguatan akhlak bangsa yang ditandai dengan dilaksanakannya ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten dan konsekuen, demikian halnya dengan ajaran dan nilai-nilai ideologi dari Pancasila, tentunya akan mencegah dan mengurangi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.  

Selain landasan moral dan agama, Negara Indonesia sudah dirancang oleh “founding fathers” bangsa Indonesia sebagai negara hukum. Hukumlah yang menjadi panglima dan mengatur bagaimana  seyogyanya kehidupan  kita sehari-hari. 

Seperti diketahui, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 telah menjamin  hak setiap warga Negara Indonesia untuk  hidup layak dan tidak diperlakukan diskriminasi dalam segala bentuknya. Beragam peraturan perundang-undangan dalam rangka menjamin adanya perlindungan terhadap setiap warga Negara pun telah cukup tersedia, antara lain: 
Ø   Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU Nomor 1 Tahun 1946);
Ø   Kitab undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU Nomor 8 Tahun 1981);
Ø   Undang-Undang Perlindungan Anak (UU Nomor 23 Tahun 2002);
Ø   Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU Nomor 23 Tahun 2004);
Ø   Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU Nomor 12 Tahun 2006);
Ø   Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU Nomor 21 Tahun 2007);
Ø   Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Nomor 11 Tahun 2012); dan berbagai peraturan perundang-undangan lain dalam berbagai jenisnya sampai pada kebijakan teknis operasionalnya.

Semua itu, seyogyanya sudah sangat cukup memadai untuk dijadikan sebagai landasan hukum dalam mengupayakan berbagai bentuk perlindungankepada setiap warga negara, termasuk perlindungan terhadap anak dan perempuan, baik dalam upaya pencegahan maupun untuk penanganan proses hukum dalam penyelesaian kasus-kasusnya.


Hadirin yang saya hormati,

Selain adanya landasan konstitusional dan peraturan perundang-undangan terkait seperti yang sudah saya sampaikan di atas, komitmen pemerintah untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender juga sudah diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang dijabarkan kedalam RPJMN setiap lima tahunnya. 

Untuk RPJMN 2010-2014, gender sudah diintegrasikan sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, baik bagi perempuan maupun laki-laki dan anak perempuan maupun anak laki-laki. Adapun kebijakan nasional yang sudah dirumuskan didalamnya yaitu:
a)      Peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, melalui harmonisasi peraturan perundangan dan pelaksanaannya di semua tingkat pemerintahan, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan;
b)      Peningkatan perlindungan perempuan dan anak terhadap berbagai tindak kekerasan; dan
c)      Peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan.

Selanjutnya, negara juga mempunyai komitmen internasional terkait perlindungan hak asasi manusia, perempuan dan anak serta perwujudan kesetaraan gender. Ada 2 Konvensi terkait perempuan dan anak yaitu yang pertama terkait perempuan, negara telah meratifikasi Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Konvensi tersebut merupakan ketentuan hukum untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, terutama pada bidang-bidang: pendidikan, ekonomi dan ketenagakerjaan, kesehatan tenaga kerja, kesehatan, hukum, sipil, politik, sosial dan budaya serta perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan.

Terkait dengan anak, negara telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, yakni, Convention on the Rights of the Child (CRC) dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Komitmen internasional lainnya didalam menghapuskan diskriminasi, memberdayakan perempuan untuk perwujudan kesetaraan gender, pemerintah telah mengadopsi Beijing Platform for Action 1995 dan telah menyepakati 12 Bidang Area Kritis, diantaranya  penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.

Komitmen lainnya yaitu Millennium Development Goals (MDG’s) 2000, yang meliputi 8 (delapan) sasaran, diantaranya, sasaran yang kesatu adalah: Penghapusan kemiskinan dan kelaparan; dan ke-tiga adalah: Peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaanperempuan. Bahkan dalam agenda Pasca-MDG’s 2015 pun ‘kemiskinan’ masih tetap menjadi isu utama, sedangkan agenda ‘pemberdayaan anak perempuan, perempuan dan mencapai kesetaraan gender’ pada kali ini menjadi agenda kedua, yang dalam MDG’s 2000 sebagai  sasaran  agenda ketiga.

Hadirin yang saya hormati,

Semua aturan, komitmen nasional maupun internasional di atas mestinya sudah dapat efektif memberikan perlindungan terhadap anak dan perempuan. Di dalam agama manapun saya meyakini tidak ada nilai-nilai yang menganggap perempuan dan anak sebagai makhluk yang tidak perlu dilindungi, tidak dihargai harkat dan martabatnya dan merupakan makhluk yang lebih rendah derajatnya dibandingkan yang lain. Masalahnya, apa yang menghambat perlindungan perempuan dan anak termasuk mengapa peraturan yang ada kurang efektif?

 
Pertama adalah budaya patriarki yaitu masih adanya masyarakat yang berpandangan bias gender. Misalnya dalam tindak kekerasan, masih ada pula asumsi bahwa anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan dianggapnya ‘hal yang biasa’. Sebaliknya, jika pelaku kekerasan itu lebih didominasi laki-laki, dianggapnya sebagai ‘hal yang lumrah’. Hal ini sangat menyedihkan, karena laki-laki  menganggap bahwa perempuan dan anak menjadi objek kekerasan dengan segala bentuknya dan berakibat mereka  menjadi tersubordinasi, terdiskriminasi, rentan terhadap kekerasan. Terkait dengan budaya di atas, sebagian masyarakat dewasa ini masih menganggap bahwa masalah kekerasan merupakan masalah “privat” yang belum perlu dibawa ke pengadilan. Selanjutnya dari sisi agama,  adanya interpretasi ajaran agama oleh sebagian ahli agama  yang masih bias dan belum sepenuhnya komprehensif terkait dengan nilai-nilai hak asasi yang universal, status dan kedudukan perempuan dan anak serta kesetaraan gender.

Kedua, adalah masalah struktural, antara lain adanya aparat penegak hukum yang masih diskriminatif dan buta gender dan anak serta belum memahami berbagai peraturan terkait perlindungan perempuan dan anak yang mengakibatkan korban kurang mendapatkan keadilan bahkan sering terdiskriminasi dua kali, baik sebagai korban maupun sebagai perempuan dan anak.  Dari sisi struktural, sistem peradilan yang ada termasuk pendidikan dan pelatihan para penegak hukum juga belum responsif gender dan peduli hak anak.

Ketiga,  dari sisi substansial, masih banyak peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang diskriminatif, buta gender dan anak serta belum optimalnya upaya-upaya untuk mengharmonisasikan baik antar peraturan perundangan dan kebijakan yang ada satu sama lain terkait dengan masalah perempuan dan anak dan seringkali undang-undang hasil ratifikasi, termasuk terkait perempuan dan anak, belum diintegrasikan di dalam peraturan maupun kebijakan yang sedang disusun sehingga tidak heran apabila ada diskrepansi antara prinsip-prinsip yang diatur di dalam hukum internasional dengan hukum nasional yang ada lemah dan belum efektifnya peraturan perundangan yang ada juga serta belum efektifnya dan optimalnya pemahaman masyarakat akan nilai-nilai budaya dan agama antara lain disebabkan pula oleh tingkat kualitas sumberdaya manusia yang ada baik itu laki-laki maupun perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan.
Hadirin sekalian yang saya hormati,

Berdasarkan data yang kami peroleh dari BPS bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP & PA) tahun 2012, diketahui bahwa menurut hasil proyeksi Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 sebesar 243, 7 juta jiwa, dimana struktur penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin didominasi oleh penduduk muda. Rasio jenis kelamin penduduk tahun 2010 sampai dengan 2011 menunjukkan bahwa penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Namun demikian diketahui bahwa perempuan usia produktif (15-64 tahun), dan tidak produktif (65 tahun ke atas)  lebih banyak dibandingkan laki-laki yaitu perempuan usia produktif berjumlah 66, 23 persen dan laki-laki65,31 persen sedangkan pada golongan belum produktif (0-14 tahun), laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, yaitu  laki-laki 30,32 persen dan perempuan 28,35 persen.

Dari sektor pendidikan, Pemerintah telah mencanangkan berbagai program untuk meningkatkan pendidikan masyarakat, anak perempuan maupun anak laki-laki, antara lain memberikan beasiswa bagi keluarga kurang mampu, memperbaiki fasilitas pendidikan dan menyediakan sarana dan prasarana pendidikan, meningkatkan kualitas dan kompetensi  tenaga pendidik dan adanya program wajib belajar enam tahun yang tahun depan akan diperluas hingga dua belas tahun.

Namun demikian pencapaian sampai saat ini yaitu, jika dilihat pada semua provinsi, persentase penduduk perempuan berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Persentase tertinggi terdapat di Papua yaitu 39,74 persen untuk perempuan dan untuk laki-laki 27,85 persen sedangkan provinsi terendah terdapat di Sulawesi Utara yaitu 0,73 persen untuk perempuan dan di DKI, 0,62 persen untuk laki-laki.  Apabila dilihat dari tempat tinggal, maka persentase penduduk perempuan berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah  di perdesaan  dua kali lebih tinggi daripada di perkotaan yaitu 10,83 persen di perdesaan berbanding 5,31 persen di perkotaan. Terkait angka putus sekolah, berdasarkan data di atas (BPS 2012) maka angka putus sekolah pada perempuan lebih rendah perempuan  dibandingkan laki-laki.

Artinya bahwa perempuan lebih banyak menyelesaikan pendidikan dibandingkan laki-laki. Namun demikian, angka melek huruf perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki yaitu laki-laki 95,31 persen dan perempuan 89,36 persen, usia 18 tahun ke atas di 2011. Selanjutnya angka rata-rata lama sekolah secara umum menunjukkan pendidikan yang telah dicapai penduduk usia 15 tahun ke atas.  Angka rata-rata lama sekolah perempuan baru mencapai 7 tahun (kelas 2 SMP) lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yaitu 9,56 tahun. Secara nasional kualitas sumberdaya manusia Indonesia baru tamat SMP. Tidak heran apabila mayoritas pencari kerja di Indonesia adalah lulusan SMP. Perlu kerja keras semua pihak untuk meningkatkan angka rata-rata lama sekolah mengingat kompetisi di masa depan akan lebih berat lagi.

Dengan semakin meningkatnya kualitas SDM kita, maka hal ini akan berkontribusi semakin mudah bagi para pemangku kepentingan untuk mensosialisasikan berbagai peraturan perundangan dan kebijakan yang ada, terutama terkait perlindungan perempuan dan anak di tengah-tengah masyarakat sehingga kekerasan dapat dicegah dari awal dengan terbangunnya kesadaran kolektif masyarakat dan terbentuknya “caring dan sharing society” yaitu masyarakat yang saling tolong-menolong, bergotong-royong, saling menghargai antar sesama, menyayangi dan tentunya anti kekerasan. Dari sisi kesehatan, angka kematian Ibu walaupun sudah turun menjadi 280 per 100 ribu namun angka ini masih sangat tinggi apabila dibandingkan dengan Negara-negara di kawasan ASEAN. Kualitas kesehatan reproduksi dan kesehatan masyarakat pada umumnya menjadi salah satu indikator indeks pembangunan manusia yang saat ini kita berada di posisi 124 dari 187 negara.

Hadirin yang saya hormati,

Walaupun tingkat pendidikan tidak bisa dikatakan langsung berkaitan dengan berbagai kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak, namun apabila kita cermati maka kasus-kasus kekerasan akhir-akhir ini secara tidak langsung ada kaitannya dengan tingkat pendidikan seseorang selain tentu saja dampak dari semakin terbukanya akses informasi dan komunikasi seseorang  terhadap ICT dan materi-materi pornografi yang ada serta pengawasan dan pengasuhan di dalam keluarga yang belum efektif.

Data-data yang dihimpun  POLRI, Komnas Perempuan dan Lembaga lain, menunjukkan bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin naik setiap tahunnya. Data Komnas Perempuan pada Tahun 2012 digambarkan bahwa perempuan korban kekerasan menurut status perkawinan adalah 45,72% (menikah); 38,85% (belum menikah); 3,41% (cerai); dan 12,01% (tidak tercatat). Data perempuan korban kekerasan menurut tingkat pendidikan, menunjukkan bahwa 17,78% (anak SD); sejumlah 25,59% (SLTP); 35,57% (SLTA); 9,24% (Perguruan Tinggi); dan 11,91% (tidak sekolah). Adapun pelaku kekerasan menurut jenis kelamin, Tahun 2012 menunjukkan bahwa 12,79% adalah pelaku perempuan; dan 87,21% adalah pelaku laki-laki. Hal ini semakin membuktikan bahwa dominasi kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki menunjukkan bahwa ketimpangan gender dan/atau kekerasan berbasis gender memang masih cukup tinggi terjadi di Indonesia ini. Ini juga dimaknai bahwa relasi kekuasan dan relasi gender yang timpang memicu timbulnya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Data BPS mengenai Prevalensi kekerasan terhadap anak dan perempuan pada Tahun 2006 menunjukkan: Anak 3,027% dan Perempuan 3,07%. Data dari KPP & PA berdasarkan sistem pencatatan dan pelaporan data korban kekerasan yang disampaikan dari Provinsi, Kabupaten/Kota, pada tahun 2010 tercatat 15.648 kasus, di tahun 2011 tercatat 11.861 kasus baru dan tahun 2012, sampai dengan bulan Juli 2012 tercatat 7.070 kasus baru.

            Kekerasan terhadap anak merupakan kejahatan berat dan gejalanya perlu terus diwaspadai agar anak terhindar dari segala bentuk kekerasan, baik kekerasan dalam rumah tangga; kekerasan dalam bentuk tindak pidana perdagangan orang; maupun kekerasan di sektor tenaga kerja. Untuk hal itu, perlindungan terhadap anak perlu terus ditingkatkan. Hal ini mengingat bahwa pada hakikatnya negara telah menjamin hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk penyalahgunaan, baik dalam pelibatan kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan. Hal itu semua demi menjamin tumbuh kembang anak agar tetap sehat, ceria, cerdas, dan berakhlak mulia dalam rangka menyongsong kehidupannya di masa depan, yang dapat dipastikan bahwa hal itu akan berimplikasi positif  pada kehidupan bangsa yang lebih aman, damai, sehat dan sejahtera.

Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan dapat dikategorikan dalam berbagai bentuk, yaitu: Kekerasan Fisik, Kekerasan Psikis atau mental, Kekerasan Seksual, Penelantaran ekonomi, Eksploitasi (yang juga merupakan unsur pokok dalam tindak pidana perdagangan orang/Traffickking  in persons; dan  berbagai bentuk diskriminasi. Kesemuanya itu dapat menimbulkan permasalahan baik di berbagai bidang Sosial, Hukum dan HAM sampai pada bentuk pelayanannya, baik pelayanan Medis maupun non Medis. Utamanya bagi korban bahwa hal tersebut juga bisa berakibat pada kurangnya kesejahteraan rakyat selain juga dapat menimbulkan tingginya biaya untuk pemulihan korban.

Hadirin Yang Berbahagia,

KPP & PA sebagai pemegang mandat untuk melindungi anak dan perempuan serta mewujudkan kesetaraan gender telah menyusun kebijakan dan program. Untuk mengatasi ketimpangan gender, selain diintegrasikan kedalam RPJMN seperti yang sudah kami sampaikan di awal, pada tahun 2000 juga telah dikeluarkan Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional bagi seluruh lembaga pemerintah di pusat dan daerah termasuk kepada Kapolri, Kejaksaan Agung dan Panglima TNI, agar di masing-masing institusi dapat melakukan strategi pengarusutamaan gender pada saat menyusun kebijakan, program dan kegiatan masing-masing dari perencanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi. KPP & PA melakukan advokasi dan pendampingan teknis untuk memantapkan pemahaman tentang isu gender dan anak serta PUG secara teknis.

Saat ini PUG difokuskan pada pelaksanaan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender dan sudah ada 28 K/L yang mulai melaksanakan PPRG tersebut. Harapan kami, tahun 2014 34 K/L sudah melaksanakan dan juga di Daerah (sudah dimulai di 10 Provinsi di 2012 dan 10 Provinsi lagi di 2013).  Untuk lebih menjamin keberlanjutan PPRG didalam sistem pembangunan perempuan dan anak maka sejak tahun lalu sudah ada Kesepakatan Bersama empat menteri “driver” PPRG yaitu MenPPN/Bappenas, Menkeu, Mendagri dan Meneg PP dan PA terkait dengan disusunnya Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG. Masing-masing driver saat ini sedang melakukan capacity building di lembaga masing-masing dan daerah, baik sendiri-sendiri maupun bersama dengan driver lainnya.

Dikaitkan dengan upaya untuk mendiseminasi peraturan perundangan terkait perlindungan perempuan dan anak sejak tahun 2010 yang lalu kami sudah mengeluarkan Standar Pelayanan Minimal bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dan sudah disosialisasikan ke seluruh Indonesia. Aksi nyata dan  komitmen dari daerah terkait aturan ini antara lain adalah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan (P2TP2A). Saat ini sudah ada P2TP2A di 33 provinsi dan 242 Kabupaten/Kota. 

Di samping itu, di institusi lainpun sudah terbentuk berbagai pusat pelayanan bagi korban yaitu di diberbagai Kabupaten/Kota sudah terbentuk UPPA di 500  Mapolres dan di Rumah Sakit, sudah terbentuk 123 lembaga layanan korban kekerasan. Selain pusat dan lembaga untuk menangani korban kekerasan, pada saat ini di tingkat pusat berdasarkan Perpres Nomor 69 Tahun 2008 tentang Pembentukan Gugus Tugas Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang/Trafiking dimana Menko Kesra sebaga ketuanya dan kami sebagai ketua harian.

Gugus Tugas menjalin kerjasama yang erat dengan pusat maupun layanan korban kekerasan di Provinsi dan Kabupaten/Kota terutama untuk menangani kasus-kasus trafiking. Saat ini sudah terbentuk Gugus Tugas Trafiking di 28 Provinsi dan 90 Kabupaten/Kota. Kebijakan dan wadah yang ada tersebut tidak lain untuk memberikan perlindungan yang lebih konkrit bagi perempuan dan anak korban kekerasan.  Selanjutnya dari sisi perlindunga,n kami aktif melakukan koordinasi dan kerjasama dengan provinsi dalam pengumpulan data, analisis data terpilah, sosialisasi peraturan perundang-undang terkait dengan KDRT, trafiking, perlindungan anak dan strategi PUG. Namun kami menyadari tidak mungkin KPP & PA melakukan semua hal tersebut.

Untuk memperkuat komitmen K/L dan Daerah, sejak tahun 2010 kami telah melakukan MoU dengan 30 K/L termasuk lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Mahkamah Agung, Komnas Perempuan, Kejaksaaan Agung dan Peradi serta Kementerian Hukum dan HAM, Kemendagri dan 33 Gubernur. Dengan adanya MoU ini, harapannya tentu saja masing-masing K/L dan Daerah dapat melaksanakan sendiri sosialisasi dan advokasi peraturan perundangan dan kebijakan yang ada di wilayah masing-masing. Kementerian kami secara reguler melakukan pemantauan, evaluasi dan memberikan penghargaan bagi pemangku kepentingan yang dinilai baik di dalam mengeksekusi kebijakan yang kami keluarkan.

Namun demikian, tantangan yang dihadapi di dalam melaksanakan mandat kami tidak mudah. Keterbatasan wewenang, sumberdaya manusia termasuk dana salah satunya. Untuk itu kami memperluas jejaring kerjasama dengan berbagai pihak seperti tokoh-tokoh agama dan masyarakat serta melakukan penyebarluasan informasi terkait gender, perempuan dan anak melalui media yang ada. Hasilnya tentu belum optimal namun kami gembira bahwa kata “gender”, isu KDRT, masalah perempuan dan anak saat ini sudah semakin dikenal luas terbuki dengan  dimunculkannya istilah-istilah tersebut di forum publik, baik langsung maupun tidak langsung melalui media.

Kedepan perlu adanya peningkatan dan penguatan  jejaring kerjasama, koordinasi dan sinergi dengan berbagai pihak termasuk dengan Majelis Ulama Indonesia yang mempunyai kedudukan sangat strategis didalam memberikan masukan kepada berbagai pihak. Strategi dan metode penguatan akhlak dan karakter bangsa untuk perlindungan perempuan dan anak perlu mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
a)    Peningkatan pemahaman mengenai perspektif hak asasi manusia, isu dan konsep gender, terkait dengan langkah-langkah perlindungan anak dan perempuan;
b)    Peningkatan peran para orang tua, guru, pendidik agama/moral, tokoh agama, tokoh masyarakat dalam melakukan perlindungan di wilayah masing-masing dengan tetap peduli dan waspada terhadap timbulnya segala bentuk kekerasan;
c)    Peningkatan sinergi kebijakan dan program dalam rangka terus mengupayakan perlindungan anak dan perempuan dari tindak kekerasan;
d)    Penguatan lembaga-lembaga terkait penyelenggaraan perlindungan anak dan perempuan, termasuk Pusat Dakwah dan Pendidikan Akhlak Bangsa - Majelis Ulama Indonesia;
e)    Peningkatan kapasitas aparatur dan/atau aparat penegak hukum atau petugas terkait penyelenggaraan perlindungan anak dan perempuan;
f)     Pendekatan budaya dan/atau menghilangkan asumsi-asumsi dalam masyarakat yang berdampak pada kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Khusus bagi calon-calon Dai, kami mengharapkan agar kiranya dapat ikut mensosialisasikan prinsip-prinsip kesetaraan gender, perlindungan perempuan dan anak didalam lingkungan tugas masing-masing sehingga nilai-nilai karakter bangsa yang “anti diskriminasi”  dan anti kekerasan serta penghargaan kepada hak-hak azasi manusia akan semakin dipahami dan diterapkan didalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demikian hal-hal yang dapat saya sampaikan.
Terima kasih.

Wabillaahi taufikwalhidayah
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh


Linda Amalia Sari Gumelar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.