Kamis, 23 Januari 2014

PENDAPAT ULAMA TENTANG TAYAMUM DI PESAWAT


Latar Belakang Masalah
Terjadi perbedaan jama’ah haji dalam melakukan sholat di dalam pesawat, yaitu
1.      Melaksanakan shalat dengan cara sebisanya.
2.      Sholat dengan tayamum  
3.      Sholat dengan niat lihurmail wakti kemudian mengulanginya ketika telah mendarat.
Pertanyaan
Bagaimanakah tatacara sholat didalam pesawat menurut para ulama ?
Jawaban :
1.      Bagi orang yang dalam keadaan suci, maka dia wajib sholat dengan cara semampunya dan tidak wajib mengulang.
Ibaroh
مغني المحتاج ج 1  ص 249
 لو خاف راكب سفينة غرقا , أو دوران رأس فإنه يصلي من قعود ولا إعادة عليه ومنها ما لو كان به سلس بول لو قام سال بوله , وإن قعد لم يسل فإنه يصلي من قعود 
2.      Para imam mazhab berbeda pendapat tentang tayamum, seperti ibaroh di bawah ini
الميزان الكبرى ص 132
Bila kita memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam madhhab Syafi’i dan Hambali yakni bertayammum dengan menggunakan tanah, maka menurut mazhab ini tayammum yang dilakukan di pesawat terbang dengan menggunakan kursi sebagai alatnya dianggap tidak sah.
Dengan demikian orang yang berada dipesawat menurut Madhhab Syafi’i dan Hambali dihukumi sebagai orang yang kehilangan dua alat untuk bersuci (faqid al-tahurain). dalam hal ini ia tetap diwajibkan untuk mengerjakan shalat demi menghormati waktu Imam Baijuri berkata:
على فاقد الطهورين وهما الماء و التراب أن يصلي الفرض لحرمة الوقت ويعيده إذا وجد أحدهما
Bagi orang yang tidak suci (berhadats) dan tidak mendapatkan air dan tanah, maka ia harus melaksanakan shalat fardhu, demi menghormati waktu dan kemudian mengulanginya kembali jika telah mendapatkan salah satu dari keduanya. Tayammum di pesawat dengan menggunakan kursi sebagai alatnya tidak sah dengan memepertimbangkan tayamum didalam pesawat dianggap tidak memenuhi syarat tayammum   
موسوعة ج  14  ص 272
حكم فاقد الطهورين : 41 - فاقد الطهورين هو الذي لم يجد ماء ولا صعيدا يتيمم به , كأن حبس في مكان ليس فيه واحد منهما , أو في موضع نجس ليس فيه ما يتيمم به , وكان محتاجا للماء الذي معه لعطش , وكالمصلوب وراكب سفينة لا يصل إلى الماء , وكمن لا يستطيع الوضوء ولا التيمم لمرض ونحوه . فذهب جمهور العلماء إلى أن صلاة فاقد الطهورين واجبة لحرمة الوقت ولا تسقط عنه مع وجوب إعادتها عند الحنفية والشافعية , ولا تجب إعادتها عند الحنابلة , أما عند المالكية فإن الصلاة عنه ساقطة على المعتمد من المذهب أداء وقضاء .
موسوعة ج 21  ص 142
تراب التعريف : 1 - التراب : ما نعم من أديم الأرض . بهذا عرفه المعجم الوسيط , وهو اسم جنس. ولا يخرج المعنى الاصطلاحي عن المعنى اللغوي . ويفهم من كلام الفقهاء في باب التيمم أن الرمل ونحاتة الصخر ليسا من التراب , وإن أعطيا حكمه في بعض المذاهب ( الحكم التكليفي ) : أ - في التيمم : 3 - اتفق الفقهاء على أن التيمم يصح بكل تراب طاهر فيه غبار يعلق باليد , لقوله تعالى : { فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه }
Sementara bila mengikuti pendapat kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang membolehkan tayammum dengan menggunakan semua bagian bumi maka tayammum dipesawat dengan menggunakan kursi dibolehkan dan shalatnya dianggap sah.

Senin, 20 Januari 2014

TAYAMUM DI ATAS PESAWAT



TAYAMUM DI ATAS PESAWAT

BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada era informasi dan globalisasi dewasa ini telah memungkinkan manusia menempuh perjalanan di udara dengan pesawat terbang selama berpuluh-puluh jam tanpa berhenti di daratan. Umat Islam yang menempuh perjalanan selama berpuluh-puluh jam seperti ketika menempuh perjalanan dari Indonesia ke Arab Saudi untuk melaksankan ibadah haji, dapat dipastikan akan melewati beberapa waktu shalat sehingga tidak mungkin dilaksanakan secara jama’ sesudah mendarat di daratan.
Menghadapi realitas tersebut, umat Islam yang menempuh perjalanan panjang dengan pesawat terbang menjadi bertanya-tanya, apakah kewajiban shalat mereka menjadi gugur atau harus melaksanakan shalat secara qadha sesudah mendarat atau boleh melakukan shalat di dalam pesawat dengan segala keterbatasannya baik dalam bersuci maupun dalam tata cara shalatnya.
Dalam makalah ini penulis akan coba membahas tentang tata cara bersuci di atas pesawat bagaimana, dan apa yang harus dilakukan oleh seseorang ketika berhadapan dengan masalah seperti yang telah disebutkan. Dalam makalah ini penulis juga hanya akan membahas dan membatasi permasalahan seputar tayammum di dalam pesawat, mengingat tata cara shalat di dalam pesawat akan dibahas oleh pemakalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembacanya.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Tayammum
Tayammum secara etimologi adalah: القصد yang berarti maksud atau tujuan. Dikatakan dalam bahasa Arab: تيممت فلانا وتأممته أي قصدته . Makna yang sama juga terdapat dalam firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Secara terminologi, ulama fiqih memiliki beberapa definisi mengenai Tayammum diantaranya :
Muhammad al-Sharbini al-Khatib dari kalangan Shafi’iyah mendefinisikan tayammum sebagai berikut:
إيصال التراب الى الوجه و اليدين بدلا عن الوضوء و الغسل أو عضو منهما بشرائط مخصوصة
Menyapu wajah dan kedua tangan dengan debu sebagai pengganti wudhu dan mandi (wajib) atau juga sebagai pengganti dari anggota tubuh (yang wajib dibasuh) pada keduanya dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
l-Buhuti dari golongan Hanafiyah mendefinisikan tayammum sebagai berikut: مسح الوجه واليدين عن صعيدمطهرMenyapu wajah dan kedua tangan dengan sa’id yang suci*
Menurut Malikiyah tayammum adalah:
طهارة ترابية تشتمل على مسح الوجه واليدين بنية
Menyapu wajah dan kedua tangan yang dibarengi niat dengan menggunakan tanah yang suci.
Ulama Hanabilah mendefinisikan tayammum sebagai berikut:
مسح الوجه واليدين بتراب طهور على وجه مخصوص.
Menyapu wajah dan kedua tangan dengan debu yang suci dan dengan cara yang sudah ditentukan.
B. Dalil/Dasar Hukum Tayammum
1. Al-Qur’an
a. QS. Al-Maidah (5) : 6
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
b. QS. Al-Nisa (4) : 43
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
2. Sunnah Nabi
a. Rasulullah Saw bersabda:
أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي نصرت بالرعب مسيرة شهر وجعلت لي الأ رض مسجدا وطهورا فأيما رجل أدركته الصلاة فاليصل وأحلت لى الغناءم ولم تحل لاحد قبلى و أعطيت الشفاعة وكان النبي يبعث فى قومه خاصة و بعثت الى الناس عامة.
Saya diberi Allah lima perkara yang tidak diberikan kepada seorangpun sebelumku: saya ditolong Allah dengan memasukan rasa takut (ke dalam hati musuh) sepanjang satu bulan perjalanan, dijadikan bumi bagiku sebagai mesjid dan alat untuk bersuci, maka siapa saja dari umatku menemui waktu shalat hendaklah ia shalat, dihalalkan bagiku harta rampasan perang sedang bagi orang-orang sebelumku tidak dihalalkan, saya diberi hak untuk membaeri syafaat, dan yang kelima, jika Nabi-nabi sebelumnya hanya diutus kepada kaumnya semata, maka saya diutus kepada seluruh manusia. (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
b. Hadis yang diriwayatkan oleh ‘Amr Ibn Syuaib:
وعن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: جعلت لنا الأرض كلها مسجداً وتربتها طهوراً
Dari Amr Ibn Shu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: Rasulullah Saw bersabda: seluruh bumi dijadikan allah untuk kita sebagai tempat peribadatan dan tanah sebagai alat untuk bersuci.
c. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Dhar al-Gifari dari Rasullah Saw:
التراب طهور المسلم، ولو إلى عشر حجج، مالم يجد الماء
tanah merupakan alat bersucinya seorang muslim selagi ia belum mendapatkan air (untuk bersuci) meskipun hal itu berlangsung selama sepuluh tahun.
C. Sebab-Sebab Disyariatkan Tayammum
Tayammum merupakan salah satu bentuk ibadah yang hanya diberikan Allah kepada umat Muhammad Saw. Tayammum disyariatkan pada tahun ke 6 H. Peristiwa itu terjadi ketika perang bani Musthaliq. Sebab musababnya dituturkan oleh Saiyidah Aisyah berikut ini:
خرجنا سلم في بعض أسفاره حتي إذا كنا با البيداء انقطع عقد لي فأقام النبي صلى الله عليه وسلم على إلتماسه واقام الناس حوله وليسوا علي ماء وليس معهم ماء فأتى الناس إلى أبي بكر فقالوا ألا تري الي ما صنعت عائشة؟ فجاء أبو بكر والنبي قد نام وقال ماشاء الله ان يقول وجعل يطعن بيده خاصرتي فما يمنعني من التحرك ال مكان النبي صلي الله عليه وسلم على فخذى فنام حتى أصبح على غير ماء فأنزل الله أية التيمم (فتيمموا) قال أسيد بن حضير ما هي أول بركتم يا ال أبي بكر!! فقالت فبعثنا البعير الذي كنت عليه فوجدنا العقد تحته.
Kami pergi dengan Nabi Saw. Dalam suatu perjalanan hingga sesampai di Baida rantaiku telah terputus. Nabi pun mencarinya begitupun orang-orang turut mencarinya. Kebetulan tempat itu tidak berair, mereka juga pada waktu itu tidak membawa air. Orang-orang pun mendatangi Abu Bakar dan berkata: tidakkah anda mengetahui apa yang telah diperbuat Aisyah? Maka datanglah Abu Bakar dan Nabi sedang berada di atas pahaku sedang tertidur. Maka ia pun mencelaku dan mengeluarkan kata-kata sesuka hatinya, bahkan menusuk pinggangku dengan tangannya. Aku menahan diri untuk tidak bergerak karena mengingat Nabi sedang berada di atas pahaku. Demikianlah ia tidur sampai pagi tanpa air. Maka Allah pun menurunkan ayat tayammum yakni “bertayammumlah kamu”. Berkatalah Usaid Ibn Hudair ini bukan berkah yang pertama kali yang datang kepada kamu hai keluarga Abu Bakar!! Selanjutnya Aisyah berkata: kemudian orang-orang pun menghalau unta yang kukendarai, maka kami pun mendapatkan rantai tersebut di bawahnya. (HR. Jammaah kecuali Turmuzi).
D. Sebab-Sebab Yang membolehkan Tayammum
Sayyid Sabiq, ahli hukum Islam kontemporer asal Mesir berpendapat bahwa tayammum boleh dilakukan oleh orang yang musafir maupun yang mukim apabila mendapatkan sebab-sebab berikut ini:
1. Apabila ia tidak mendapatkan air atau memperolehnya tetapi tidak cukup digunakan untuk bersuci, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim:
كنا مع رسو ل الله صلى الله عليه وسلم في سفر فصلى با الناس فإذا هو برجل معتزل فقال ما منعك أن تصلى؟ قال أصابتنى جنابة قال عليك با لصعيد فإنه يكفيك.
Ketika kami berada dalam perjalanan bersama Rasulullah Saw. Ia pun shalat bersama orang-orang. Ketika itu beliau melihat seorang lelaki mengasingkan diri, beliau pun bertanya kepadanya: apa yang menghalangimu untuk tidak melaksanakan shalat? Lelaki itu menjawab aku sedang junub dan tidak ada air. Nabi bersabda: hendaknya engkau menggunakan tanah karena itu cukup bagimu.
Namun sebelum bertayammum seseorang wajib terlebih dahulu mencari air. Apabila telah yakin bahwa air tidak ada atau ada tetapi jauh, ia tidak wajib mencarinya.
2. Apabila ia mempunyai luka atau sakit dan khawatir jika menggunakan air penyakitnya akan bertambah atau kesembuhannya akan terhambat, baik hal itu diketahui melalui pengalaman ataupun petunjuk dokter yang dipercaya. Dasar hukum tayammum ini adalah hadis Jabir yang diriwayatkan Abu daud berikut ini:
خرجنا في سفر فأصاب رجلا منا حجر فشجه في رأسه ثم إحتلم فسأل أصحابه : هل تجدون لي رخصة في التيمم؟ فقالوا ما نجد لك رخصة وأنت تقدر علي الماء فاغتسل فمات فلما قدمنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم أخبر بذالك فقال قتلوه قتلهم الله ألا سألوا إذا لم يعلموا؟ إنما يكفيه ان يتيمم أو يعصر او يعصب على جرحه خرقة ثم يمسح عليه و يغسل سائر جسده
Kami pernah melakukan suatu perjalanan, lalu salah seorang dari kami tertkena batu yang menyebabkan kepalanya robek. Orang ini bermimpi junub lalu bertanya kepada teman-temannya; apakah kalian mendapatkan keringanan bagiku untuk bertayammum? Mereka menjawab ; kami tidak mendapatkan keringanan bagimu karena kamu mampu menggunakan air. Atas jawaban teman-temannya itu orang ini mandi dan kemudian meninggal dunia. Kejadian itu terdengar oleh Nabi Saw. Lalu beliau bersabda: mereka telah membunuhnya maka Allah memurkai mereka. Mengapa mereka tidak bertanya jika memang mereka tidak tahu? Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya. Sesungguhnya orang itu cukup bertayammum atau membalut lukanya dengan kain lalu mengusapnya.
3. Apabila air sangat dingin, sedangkan ia tidak mampu menghangatkannya dan menduga jika ia menggunakannya maka akan terkena bahaya.
4. Apabila ia dekat dengan air, tetapi jika ia takut jika diri, kehormatan, harta, atau perbekalannya terancam, dihadang oleh musuh, dipenjara, atau tidak mampu mengeluarkannya karena tidak ada alat untuk mengeluarkannya.
5. Bila seseorang membutuhkan air untuk dirinya atau anjing peliharaannya, atau air itu digunakan untuk masak atau menghilangkan najis.
6. Apabila ia mampu untuk menggunakan air tetapi khawatir akan kehabisan waktu shalat jika ia menggunakannya untuk berwudhu atau mandi. Dalam kondisi seperti itu ia boleh bertayammum dan melaksanakan shalat.
E. Syarat dan Rukun Tayammum
Syarat-syarat tayammum yang disepakati oleh fuqaha sebagai berikut:
1. Adanya halangan yang membolehkan untuk melakukan tayammum.
2. Telah tiba waktu shalat.
3. Mencari air lebih dulu bagi orang yang tayamummnya disebabkan tidak ada air.
4. Menggunakan debu yang suci.
Adapun rukun tayammum menurut kesepakatan fuqaha ialah sebagai berikut:
1. Niat.
2. Mengusap muka.
3. Mengusap kedua tangan

F. Benda-Benda yang Digunakan Untuk Tayammum
Para fuqaha secara sepakat membolehkan bertayammum dengan tanah galian dan berbeda pendapat tentang kebolehan bertayammum dengan selainnya, berikut penjelasan masing-masing madhhab:
1. Syafi’iyah berpendapat bahwa tayammum hanya dibolehkan bila menggunakan tanah atau pasir yang mengandung debu. Apabila tanah dan pasir tersebut tidak mengandung debu maka tayamummnya dianggap tidak sah.
2. Hanafiyah dan Malikiyah membolehkan tayammum dengan segala sesuatu yang berada di atas permukaan bumi. Namun Madhhab Hanafi mengecualikan barang-barang tambang seperti kapur, garam, surfur dan lain-lain. Kesemuanya itu tidak dapat dijadikan bahan untuk bertayammum.
3. Hanabilah membolehkan tayammum dengan menggunakan segala benda yang mengandung debu seperti batu, tembok, pelana, pakaian, bulu atau rambut yang mengandung debu dan sebagainya. Tetapi apabila benda-benda tersebut tidak mengandung debu maka tayammum dengan benda-benda tersebut tidak dibenarkan.
Yang menjadi perbedaan pendapat diantara mereka menurut Ibn Rusd mengacu kepada dua masalah berikut:
1. Kata Sa’id yang tertera pada ayat di atas dalam bahasa Arab merupakan kata-kata yang mushtarak. Terkadang kata tersebut berarti debu murni dan terkadang berarti seluruh bagian yang berada di atas permukaan bumi. Tampaknya dari kedua makna sa’id di atas, Syafi’iyah mengartikannya sebagai tanah murni. Sementara Malikiyah mengartikannya segala sesuatu yang berada di atas permukaan bumi.
2. Dalam salah satu riwayat disebutkan kata-kata bumi secara mutlaq untuk pelaksanaan tayammum dan dalam riwayat lain disebutkan secara muqayyad. Contoh dari hadis Nabi yang mutlaq:
جعلت لي الأرض مسجدا وطهورا
Dijadikan bumi untukku sebagai masjid dan penyuci.
Dalam riwayat lain disebutkan:
جعلت لي الأرض مسجدا وتربتها طهورا
Dijadikan bumi untukku sebagai masjid dan dijadikan debu untukku sebagai penyuci.
Kedua hadis di atas menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama kaitannya dengan hukum mutlaq dan muqayyad. Yakni apakah perkataan mutlaq di sini digunakan untuk menghukumi perkataan muqayyad, atau justru sebaliknya, perkataan muqayyad digunakan untuk menghukumi perkataan mutlaq.
Pendapat yang masyhur mengatakan bahwa perkataan muqayyad harus digunakan untuk menghukumi perkataan mutlaq. Sementara Ibn Hazm mengatakan bahwa yang mutlaqlah seharusnya yang menghukumi muqayyad.
Bagi fuqaha yang lebih cenderung memilih penggunaan muqayyad atas pengertian mutlaq dan mengartikan kata sa’id sebagai debu berkesimpulan tidak boleh melakukan tayammum kecuali hanya dengan menggunakan debu.
Kebalikannya fuqaha yang memilih penggunaan pengertian mutlaq atas muqayyad dan mengartikan kata sa’idan tayyiban sebagai apa saja yang berada di atas bumi, maka mereka ini membolehkan menggunakan pasir atau kerikil.
G. Hal-Hal Yang Membatalkan Tayammum
Para fuqaha sepakat bahwa hal-hal yang membatalkan tayammum sama dengan yang membatalkan asal bersuci yang digantikannya, yaitu wudhu. Hanya dua masalah yang masih mereka perselisihkan. Pertama, apakah tayammum itu menjadi batal karena hendak melakukan shalat wajib lain bukan shalat wajib yang menggunakan bersuci tayammum? Kedua apakah dengan adanya air otomatis tayammum batal atau tidak?
Untuk masalah pertama, Imam Malik berpendapat bahwa hendak melakukan shalat yang kedua itu membatalkan tayammum. Menurut madhhab lain tidak demikian. Inti perbedaan pendapat itu berkisar pada pertanyaan, apakah firman Allah yang berbunyi:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu hendak melaksanakan shalat” itu ada kata-kata yang dibuang atau memang asalnya tidak ada yang dibuang? Kata-kata yang dibuang itu jika diperjelas menjadi, “jika kamu bangun tidur atau kamu bangun dalam keadaan hadas”.
Ulama yang berpendirian bahwa dalam ayat itu tidak ada kata-kata yang dibuang menyatakan bahwa zhahir ayat itu menunjukan setiap akan melaksanakan shalat wajib berwudhu atau tayammum terlebih dahulu. Tapi untuk wudhu, hadis mentakhsiskan ketentuan di atas.
Dengan demikian, ketentuan tersebut hanya berlaku untuk tayammum. Tetapi alur pikir ini tidak dapat dijadikan terhadap pendapat Imam Malik. Sebab, dalam kitab Muwatta riwayat Zaid Ibn Aslam, Malik berpendapat bahwa dalam ayat tersebut ada kata-kata yang dibuang.
Sebab kedua perbedaan pendapat itu adalah tuntutan untuk melaksanakan tayammum berulang-ulang setiap masuk waktu shalat.Imam Malik konsisten dengan ketentuan ini sekaligus menjadi argumentasinya. Sementara ulama yang berpendirian bahwa tuntutan itu tidak bermaksud untuk dilaksanakan secara berulang-ulang dan dalam ayat itu ada kata-kata yang dibuang berpendapat bahwa hendak melaksanakan shalat yang kedua itu tidak termasuk yang membatalkan tayammum
Sedangkan untuk masalah yang kedua, menurut jumhur ulama “didapatkan air” itu membatalkan tayammum. Menurut sebagian ulama yang membatalkan tayammum tersebut adalah hadas. Inti perbedaan pendapat ini bertolak dari pertanyaan apakah dengan di temukannya air itu menghilangkan keterkaitan bersuci dengan debu atau menghilangkan kebolehan memulai bersuci dengan debu.
Ulama yang berpendirian bahwa ditemukannya air menghilangkan kebolehan memulai bersuci dengan debu berpendapat bahwa ditemukannya air itu tidak membatalkan tayammum. Yang membatalkannya hanyalah hadas. Sedang ulama yang berpendirian bahwa ditemukannya air itu menghilangkan keterkaitan bersuci dengan debu berpendapat bahwa itu membatalkan tayammum, bahwa batas yang membatalkan adalah keterkaitan bersuci dengan debu.
Jumhur ulama memperkuat pendapat mereka dengan hadis sahih:
جعلت لي الأرض مسجدا وطهورا ما لم يجد الماء
Tanah ini diciptakan untukku sebagai masjid dan penyuci selama seseorang tidak menemukan air’.
Hadis ini masih mengandung dua pemahaman. Sebab sabda Nabi “selama seseorang tidak mendapatkan air” bisa dipahami “ jika ia telah mendapatkan air, maka tayammum itu putus dan hilang”. Hadis terkuat yang menjadi landasan jumhur adalah:
اذا وجدت الماء فأمسه جلدك
Jika kamu telah mendapatkan air, maka sentuhkanlah kulitmu dengan air itu.
Bentuk “ perintah” (amr) dalam hadis, menurut mayoritas ulama ushul fiqh mangandung maksud “segera” (al-faur).
Syafi’i memberi kontribusi pemahaman dengan menyatakan bahwa” didapatkannya air dapat menghilangkan cara bersuci model tayammum, sebab tayammum tidak dapat menghilangkan hadas”. Maksudnya, orang yang telah bertayammum bukan berarti ia telah menghilangkan hadas. Pada masalah yang kedua ini penulis lebih condong untuk mengikuti pendapat Imam Syafi’i bahwa tayammum tidak mengangkat hadas tetapi hanya sekedar membolehkan seseorang untuk melakukan ibadah, seperti shalat, thawaf, dan membaca al-Qur’an bagi orang yang junub.
H. Tayammum di Atas Pesawat
Bila kita memperhatikan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam madhhab Syafi’i yakni bertayammum dengan menggunakan tanah, maka menurut madhhab ini tayammum yang dilakukan di pesawat terbang dengan menggunakan kursi sebagai alatnya dianggap tidak sah.
Dengan demikian orang yang berada dipesawat menurut Madhhab Syafi’i dihukumi sebagai orang yang kehilangan dua alat untuk bersuci (faqid al-tahurain). dalam hal ini ia tetap diwajibkan untuk mengerjakan shalat demi menghormati waktu. Imam Baijuri berkata:
على فاقد الطهورين وهما الماء و التراب أن يصلي الفرض لحرمة الوقت ويعيده إذا وجد أحدهما
Bagi orang yang tidak mendapatkan air dan tanah, maka ia harus melaksanakan shalat fardhu, demi menghormati waktu dan kemudian mengulanginya kembali jika telah mendapatkan salah satu dari keduanya.
Pendapat di atas, juga merupakan hasil keputusan muktamar Nahdatul Ulama di Yogyakarta pada tanggal 25-28. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa tayammum di pesawat dengan menggunakan kursi sebagai alatnya tidak sah. Sedangkan shalatnya dilakukan semata-mata hanya untuk menghormati waktu yang ada.


BAB III

PENUTUP
Dari pemaparan makalah di atas penulis dapat menyimpulkan beberapa poin di antaranya:
1. Tayammum merupakan salah satu rukhsah yang Allah anugerahkan kepada umat Islam sebagai pengganti dari air.
2. Seseorang dibolehkan melakukan tayammum apabila telah mendapatkan salah satu sebab yang sudah disebutkan sebelumnya.
3. Ulama sepakat bahwa tayammum dengan menggunakan tanah murni dibolehkan sedangkan tayammum dengan menggunakan benda selain tanah masih menjadi perdebatan di antara mereka dan masing-masing mempunyai argumentasi yang kuat.
4. Tayammum di atas pesawat kalau menurut maddhab Syafi’i tidak dibenarkan karena tidak menggunakan tanah. 
Sumber : http://penamaskediri.blogspot.com/

AURAT WANITA

AURAT WANITA*
                                              ________________
                                     Oleh : Hj. Ida Sajida, Lc. M. Si**

Definisi Aurat
Menurut pengertian bahasa (literal), aurat adalah al-nuqshaan wa al-syai’ al-mustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang mendatangkan celaan). Diantara bentuk pecahan katanya adalah ‘awara`, yang bermakna qabiih (tercela); yakni aurat manusia dan semua yang bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena tercela bila terlihat (ditampakkan).
Imam al-Raziy, dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, “‘al-aurat: sau`atu al-insaan wa kullu maa yustahyaa minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan malu.”
Dalam Syarah Sunan Ibnu Majah juz 1/276, disebutkan, bahwa aurat adalah kullu maa yastahyii minhu wa yasuu`u shahibahu in yura minhu (setiap yang menyebabkan malu, dan membawa aib bagi pemiliknya jika terlihat)”.
Imam Syarbiniy dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, berkata,” Secara literal, aurat bermakna al-nuqshaan (kekurangan) wa al-syai`u al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan celaan).Disebut seperti itu, karena ia akan menyebabkan celaan jika terlihat.
Dalam kamus Lisaan al-’Arab juz 4/616, disebutkan, “Kullu ‘aib wa khalal fi syai’ fahuwa ‘aurat (setiap aib dan cacat cela pada sesuatu disebut dengan aurat). Wa syai` mu’wirun au ‘awirun: laa haafidza lahu (sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan)).”
Imam Syaukani, di dalam kitab Fath al-Qadiir, menyatakan;
Makna asal dari aurat adalah al-khalal (aib, cela, cacat). Setelah itu, makna aurat lebih lebih banyak digunakan untuk mengungkapkan aib yang terjadi pada sesuatu yang seharusnya dijaga dan ditutup, yakni tiga waktu ketika penutup dibuka. Al-A’masy membacanya dengan huruf wawu difathah; ‘awaraat. Bacaan seperti ini berasal dari bahasa suku Hudzail dan Tamim.”
Batasan Aurat bagi Wanita
Batasan Aurat Menurut Madzhab Syafi’iy
Di dalam kitab al-Muhadzdzab juz 1/64, Imam al-Syiraaziy berkata;
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khuduriy, bahwasanya Nabi saw bersabda, “Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Mohammad bin Ahmad al-Syasyiy, dalam kitab Haliyat al-’Ulama berkata;
“.. Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Haitsamiy, dalam kitab Manhaj al-Qawiim juz 1/232, berkata;
“..Sedangkan aurat wanita merdeka, masih kecil maupun dewasa, baik ketika sholat, berhadapan dengan laki-laki asing (non mahram) walaupun di luarnya, adalah seluruh badan kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Dalam kitab al-Umm juz 1/89 dinyatakan;
” ….Aurat perempuan adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Dimyathiy, dalam kitab I’aanat al-Thaalibiin, menyatakan;
“..aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan”.
Di dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, juz 1/185, Imam Syarbiniy menyatakan;
” …Sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanbaliy
Di dalam kitab al-Mubadda’, Abu Ishaq menyatakan;
Aurat laki-laki dan budak perempuan adalah antara pusat dan lutut. Hanya saja, jika warna kulitnya yang putih dan merah masih kelihatan, maka ia tidak disebut menutup aurat. Namun, jika warna kulitnya tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih kelihatan, maka sholatnya sah. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, hingga kukunya. Ibnu Hubairah menyatakan, bahwa inilah pendapat yang masyhur. Al-Qadliy berkata, ini adalah pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda Rasulullah, “Seluruh badan wanita adalah aurat” [HR. Turmudziy, hasan shahih]….Dalam madzhab ini tidak ada perselisihan bolehnya wanita membuka wajahnya di dalam sholat, seperti yang telah disebutkan. di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-lainnya.”[1]
Di dalam kitab al-Mughniy, juz 1/349, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa
 Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan mereka juga sepakat; seorang wanita mesti mengenakan kerudung yang menutupi kepalanya. Jika seorang wanita sholat, sedangkan kepalanya terbuka, ia wajib mengulangi sholatnya….Abu Hanifah berpendapat, bahwa kedua mata kaki bukanlah termasuk aurat..Imam Malik, Auza’iy, dan Syafi’iy berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Selain keduanya (muka dan telapak tangan) wajib untuk ditutup ketika hendak mengerjakan sholat…”
Di dalam kitab al-Furuu juz 1/285′, karya salah seorang ulama Hanbaliy, dituturkan sebagai berikut;
“Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka, dan kedua telapak tangan –ini dipilih oleh mayoritas ulama…..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Malikiy
Dalam kitab Kifayaat al-Thaalib juz 1/215, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan, ““Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan..”.
Dalam Hasyiyah Dasuqiy juz 1/215, dinyatakaN, “Walhasil, aurat haram untuk dilihat meskipun tidak dinikmati. Ini jika aurat tersebut tidak tertutup. Adapun jika aurat tersebut tertutup, maka boleh melihatnya. Ini berbeda dengan menyentuh di atas kain penutup; hal ini (menyentuh aurat yang tertutup) tidak boleh jika kain itu bersambung (melekat) dengan auratnya, namun jika kain itu terpisah dari auratnya, …sedangkan aurat wanita muslimah adalah selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Dalam kitab Syarah al-Zarqaaniy, disebutkan, “Yang demikian itu diperbolehkan.Sebab, aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan…”
Mohammad bin Yusuf, dalam kitab al-Taaj wa al-Ikliil, berkata, “….Aurat budak perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan dan tempat kerudung (kepala)…Untuk seorang wanita, boleh ia menampakkan kepada wanita lain sebagaimana ia boleh menampakkannya kepada laki-laki –menurut Ibnu Rusyd, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini-, wajah dan kedua telapak tangan..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanafiy
Abu al-Husain, dalam kitab al-Hidayah Syarh al-Bidaayah mengatakan;
Adapun aurat laki-laki adalah antara pusat dan lututnya…ada pula yang meriwayatkan bahwa selain pusat hingga mencapai lututnya. Dengan demikian, pusat bukanlah termasuk aurat.Berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Syafi’iy ra, lutut termasuk aurat. Sedangkan seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan…”[2]
Dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’ disebutkan;
Oleh karena itu, menurut madzhab kami, lutut termasuk aurat, sedangkan pusat tidak termasuk aurat. Ini berbeda dengan pendapat Imam Syafi’iy. Yang benar adalah pendapat kami, berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Apa yang ada di bawah pusat dan lutut adalah aurat.” Ini menunjukkan bahwa lutut termasuk aurat.”[3]
Aurat Wanita; Seluruh Tubuh Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan
Jumhur ‘ulama bersepakat; aurat wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[al-Nuur:31]
Menurut Imam Thabariy dalam Tafsir al-Thabariy, juz 18/118, makna yang lebih tepat untuk “perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki asing, kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling seraya berkata;
يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.”[HR. Muslim]
Imam Qurthubiy Tafsir Qurthubiy, juz 12/229; Imam Al-Suyuthiy, Durr al-Mantsuur, juz 6/178-182; Zaad al-Masiir, juz 6/30-32; menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan perintah dari Allah swt kepada wanita Mukminat agar tidak menampakkan perhiasannya kepada para laki-laki penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan bagi para laki-laki penglihat. Selanjutnya, Allah swt mengecualikan perhiasan-perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki penglihat, pada frase selanjutnya. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan perhiasan yang boleh ditampakkan oleh wanita. Ibnu Mas’ud mengatakan, bahwa maksud frase “illa ma dzahara minha” adalah dzaahir al-ziinah” (perhiasan dzahir), yakni baju. Sedangkan menurut Ibnu Jabir adalah baju dan wajah. Sa’id bin Jabiir, ‘Atha’ dan Auza’iy berpendapat; muka, kedua telapak tangan, dan baju.
Menurut Imam al-Nasafiy, yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) adalah semua yang digunakan oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya.Sedangkan yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) di sini adalah “mawaadli’ al-ziinah” (tempat menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat di atas adalah “janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk menaruh perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan, dan dua mata kaki”[4].
Syarat-syarat Menutup Aurat
Menutup aurat harus dilakukan hingga warna kulitnya tertutup. Seseorang tidak bisa dikatakan melakukan “satru al-’aurat” (menutup aurat) jika auratnya sekedar ditutup dengan kain atau sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih tampak kehilatan. Dalil yang menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ra bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah saw. berpaling seraya bersabda, “Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.”
Dalam hadits ini, Rasulullah saw. menganggap bahwa Asma’ belum menutup auratnya, meskipun Asma telah menutup auratnya dengan kain transparan. Oleh karena itu lalu Nabi saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi .Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis. Usamah menjawab, bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka Rasulullah saw. bersabda kepadanya:
Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.”
Qabtiyah dalam lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwa­sanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis, beliau memerintahkan agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya. Beliau bersabda,”Suruhlah ister­imu melilitkan di bagian dalamnya kain tipis.” Kedua hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwasanya aurat harus ditutup dengan sesuatu, hingga warna kulitnya tidak tampak.
Khimar (Kerudung) dan Jilbab; Busana Wanita Di Luar Rumah
Selain memerintahkan wanita untuk menutup auratnya, syariat Islam juga mewajibkan wanita untuk mengenakan busana khusus ketika hendak keluar rumah. Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian tertentu yang harus dikenakan wanita ketika berada depan khalayak umum. Kewajiban wanita mengenakan busana Islamiy ketika keluar rumah merupakan kewajiban tersendiri yang terpisah dari kewajiban menutup aurat. Dengan kata lain, kewajiban menutup aurat adalah satu sisi, sedangkan kewajiban mengenakan busana Islamiy (jilbab dan khimar) adalah kewajiban di sisi yang lain. Dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukkan, sehingga muncul persepsi yang salah terhadap keduanya.
Dalam konteks “menutup aurat” (satru al-’aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu, atau bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat. Syariat hanya mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi warna kulit.Oleh karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja mengenakan pakaian dengan model apapun, semampang bisa menutupi auratnya secara sempurna. Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi dengan pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan sempurna. Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang dikenakan di atas pakaian biasanya. Sebab, syariat telah menetapkan jilbab dan khimar sebagai busana Islamiy yang wajib dikenakan seorang wanita Muslim ketika berada di luar rumah, atau berada di kehidupan umum.
Walhasil, walaupun seorang wanita telah menutup auratnya, yakni menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak tangan, ia tetap tidak boleh keluar keluar dari rumah sebelum mengenakan khimar dan jilbab.
Perintah Mengenakan Khimar
Pakaian yang telah ditetapkan oleh syariat Islam bagi wanita ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar dan jilbab. Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah firman Allah swt;
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya..”[al-Nuur:31]
Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada.
 Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-’Arab menuturkan; al-khimaar li al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala). Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur. [5]
Khimar (kerudung) adalah ghitha’ al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[6]
Dalam Kitab al-Tibyaan fi Tafsiir Ghariib al-Quran dinyatakan;
Khumurihinna, bentuk jamak (plural) dari khimaar, yang bermakna al-miqna’ (penutup kepala).Dinamakan seperti itu karena, kepala ditutup dengannya (khimar)..”[7]
Ibnu al-’Arabiy di dalam kitab Ahkaam al-Quran menyatakan, “Jaib” adalah kerah baju, dan khimar adalah penutup kepala . Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya ia berkata, “Semoga Allah mengasihi wanita-wanita Muhajir yang pertama. Ketika diturunkan firman Allah swt “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dada mereka”, mereka membelah kain selendang mereka”. Di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Mereka membelah kain mereka, lalu berkerudung dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki selendang, dia akan membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang mempunyai kain, ia akan membelah kainnya.” Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi dengan kain yang mereka miliki.”[8]
 Di dalam kitab Fath al-Baariy, al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, “Adapun yang dimaksud dengan frase “fakhtamarna bihaa” (lalu mereka berkerudung dengan kain itu), adalah para wanita itu meletakkan kerudung di atas kepalanya, kemudian menjulurkannya dari samping kanan ke pundak kiri. Itulah yang disebut dengan taqannu’ (berkerudung). Al-Farra’ berkata,”Pada masa jahiliyyah, wanita mengulurkan kerudungnya dari belakang dan membuka bagian depannya. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk menutupinya. Khimar (kerudung) bagi wanita mirip dengan ‘imamah (sorban) bagi laki-laki.” [9]
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;
Khumur adalah bentuk jamak (plural) dari khimaar; yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala.Khimaar kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqaana’), Sa’id bin Jabir berkata, “wal yadlribna : walyasydadna bi khumurihinna ‘ala juyuubihinna, ya’ni ‘ala al-nahr wa al-shadr, fa laa yara syai` minhu (walyadlribna : ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka, yakni di atas leher dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apapun darinya).”[10]
Imam Syaukaniy dalam Fath al-Qadiir, berkata;
Khumur adalah bentuk plural dari khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup kepala oleh seorang wanita..al-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang bermakna al-qath’u min dur’u wa al-qamiish (kerah baju)..Para ahli tafsir mengatakan; dahulu, wanita-wanita jahiliyyah menutupkan kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah baju mereka bagian depan terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan kalung mereka terlihat. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan kain kerudung mereka di atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini tampak”.[11]
Dalam kitab Zaad al-Masiir, dituturkan;
Khumur adalah bentuk jamak dari khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu ra`sahaa (apa-apa yang digunakan wanita untuk menutupi kepalanya). Makna ayat ini (al-Nuur:31) adalah hendaknya para wanita itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna’) di atas dada mereka; yang dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting, dan leher mereka.”[12]
Perintah Mengenakan Jilbab
Adapun kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan di dalam surat al-Ahzab ayat 59. Allah swt berfirman :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.[al-Ahzab:59]
Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]
Di dalam kamus Lisaan al-’Arab dituturkan; al-jilbab ; al-qamish (baju); wa al-jilbaab tsaub awsaa’ min al-khimaar duuna ridaa’ tughthi bihi al-mar`ah ra’sahaa wa shadrahaa (baju yang lebih luas daripada khimar, namun berbeda dengan ridaa’, yang dikenakan wanita untuk menutupi kepala dan dadanya.” Ada pula yang mengatakan al-jilbaab: tsaub al-waasi’ duuna milhafah talbasuhaa al-mar`ah (pakaian luas yang berbeda dengan baju kurung, yang dikenakan wanita). Ada pula yang menyatakan; al-jilbaab : al-milhafah (baju kurung).[13]
Al-Zamakhsyariy, dalam tafsir al-Kasysyaf menyatakan, “Jilbab adalah pakaian luas, dan lebih luas daripada kerudung, namun lebih sempit daripada rida’ (juba).[14]
 Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, “Jilbaab adalah tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar daripada kerudung). Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, jilbaab adalah ridaa’ (jubah atau mantel). Ada pula yang menyatakan ia adalah al-qanaa’ (kerudung). Yang benar, jilbab adalah tsaub yasturu jamii’ al-badan (pakaian yang menutupi seluruh badan). Di dalam shahih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ummu ‘Athiyyah, bahwasanya ia berkata, “Ya Rasulullah , salah seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab. Nabi menjawab,”Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya”.[15]
 Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Imam Ibnu Katsir menyatakan, “al-jilbaab huwa al-ridaa` fauq al-khimaar (jubah yang dikenakan di atas kerudung). Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashriy, Sa’id bin Jabiir, Ibrahim al-Nakha’iy, ‘Atha’ al-Khuraasaniy, dan lain-lain, berpendapat bahwa jilbab itu kedudukannya sama dengan (al-izaar) sarung pada saat ini. Al-Jauhariy berkata, “al-Jilbaab; al-Milhafah (baju kurung).”[16]
 Imam Syaukani, dalam Tafsir Fathu al-Qadiir, mengatakan;
Al-jilbaab wa huwa al-tsaub al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar dibandingkan kerudung). Al-Jauhari berkata, “al-Jilbaab; al-milhafah (baju kurung). Ada yang menyatakan al-qanaa’ (kerudung), ada pula yang menyatakan tsaub yasturu jamii’ al-badan al-mar`ah.”[17]
Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain berkata;
” Jilbaab adalah al-mulaa`ah (kain panjang yang tak berjahit) yang digunakan selimut oleh wanita, yakni, sebagiannya diulurkan di atas wajahnya, jika seorang wanita hendak keluar untuk suatu keperluan, hingga tinggal satu mata saja yang tampak”[18]
Ancaman Bagi Orang yang Membuka Auratnya
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR. Imam Muslim].
Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian. Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut. Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa maksud dari hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah bersyukur atas karunia Allah.Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar seperti punuk onta.”
Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَا أَرَاهُمَا بَعْدُ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ عَلَى رُءُوسِهِنَّ مِثْلُ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَرَيْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِجَالٌ مَعَهُمْ أَسْوَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ
Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia “[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits di atas merupakan ancaman yang sangat keras bagi wanita yang menampakkan sebagian atau keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-lenggok.
Kesimpulan
Syariat Islam telah mewajibkan wanita untuk menutup anggota tubuhnya yang termasuk aurat. Seorang wanita diharamkan menampakkan auratnya di kehidupan umum, di hadapan laki-laki non mahram, atau ketika ia melaksanakan ibadah-ibadah tertentu yang mensyaratkan adanya satru al-’aurat (menutup aurat).
Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Seseorang baru disebut menutup aurat, jika warna kulit tubuhnya tidak lagi tampak dari luar. Dengan kata lain, penutup yang digunakan untuk menutup aurat tidak boleh transparan hingga warna kulitnya masih tampak; akan tetapi harus mampu menutup warna kulit.
Ancaman bagi yang tidak menurut aurat adalah tidak mencium bau surge alias neraka, karena tidak amanah, tidak tunduk kepada aturan sang Kholik.
_______________________________

·         Makalah Disampaikan pada pengajian bulanan MT. Syarif Hidayatullah Cakung, Hari Selasa, Tanggal 21 Januari 2014

** Dosen Pasca Sarjana Universitas Indonesia