Kamis, 09 Januari 2014

IDENTIFIKASI GENEALOGI ALIRAN MENYIMPANG[1]* Oleh: DR. KH. Ma’ruf Amin**


Pendahuluan
Umat Islam di Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah besar dengan munculnya kelompok-kelompok yang melakukan distorsi dalam memahami ajaran agama. Setidaknya ada empat kelompok yang melakukan distorsi tersebut, yakni kelompok radikalisme agama, kelompok tekstualisme, dan kelompok liberalisme agama, serta sesatisme agama. Fenomena munculnya kelompok-kelompok tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para ulama di Indonesia, termasuk para da’i.  Bukan hanya karena faham kelompok tersebut terbukti membawa dampak buruk bagi umat Islam secara umum, namun lebih jauh dari itu karena pemahaman keagamaannya telah menyimpang terlalu jauh dari prinsip-prinsip ajaran agama.
Radikalisme agama dalam banyak kesempatan telah terbukti berdampak pada munculnya sikap ekstrimisme, di mana sikap tersebut sangat berpotensi memunculkan tindakan terorisme. Dalam konteks ini, fakta yang terjadi menunjukkan bahwa akibat ulah segelintir orang Islam yang melakukan aktifitas kekerasan dengan mempergunakan simbol Islam pada kenyataannya menimbulkan kerugian bagi umat Islam pada umumnya. Dampaknya, umat Islam terstigma negative akibat ulah segelintir orang tersebut. Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan segelintir orang telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain untuk memojokkan umat Islam secara umum. Padahal hakekatnya, agama Islam sama sekali tidak ada kaitannya dengan gerakan radikal apalagi terorisme, tidak ada satupun pesan moral Islam yang menunjukkan adanya ajaran radikalisme dan terorisme.
Tekstualisme agama juga menimbulkan dampak buruk bagi umat Islam. Kelompok ini terlalu rigid dan kaku dalam memahami teks ajaran agama (nash), sehingga menimbulkan sikap tidak toleran terhadap pemahaman ajaran agama yang berbeda dari pemahaman kelompoknya. Tekstualisme agama membawa dampak buruk pada citra umat Islam yang dipersepsikan ekslusif, kaku dan tertutup tidak bisa menerima hal-hal baru. Kelompok ini juga cenderung secara frontal menyalahkan kelompok lain yang tidak sefaham dengan kelompoknya, sehingga sering menimbulkan benturan, dan tidak jarang menimbulkan konflik di antara umat Islam.
Liberalisme agama juga tidak kalah seriusnya berakibat buruk bagi umat Islam. Berbeda dengan kelompok tekstualisme agama yang kaku dalam menafsirkan nash, kelompok liberalisme agama menuntut kebebasan tanpa batas dalam memahami nash. Menurut kelompok ini, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menafsirkan teks-teks dalam al-quran dan as-sunnah tanpa harus mempedulikan perangkat metodologis dalam melakukan penafsiran (al-manhaj fi istinbath al-hukm). Akibatnya, tatanan metodologi dalam memahami nash yang telah dirumuskan oleh para ulama dibongkar total, sehingga tidak ada lagi aturan baku dalam memahami nash. Lanjutan dari paham liberalisme agama ini adalah munculnya sekularisme dan pluralisme agama.
Sedangkan sesatisme agama juga mempunyai daya rusak yang tinggi terhadap ajaran Islam. Kelompok sesat ini datang dengan mengacak-acak pokok-pokok ajaran agama, sehingga umat Islam yang tidak mempunyai pemahaman yang memadai terhadap ajaran Islam akan dengan mudah terjerembab menjadi pengikut kelompok sesat ini.

Radikalisme Agama
Radikalisme agama yang kemudian melahirkan aktifitas kekerasan dan terorisme pada umumnya merupakan respons dalam bentuk perlawanan terhadap kebijakan Amerika dan sekutunya yang dianggap merugikan kelompoknya.
Pasca runtuhnya gedung WTC pada 11 September 2001, Amerika memberlakukan kebijakan baru yang dinamakan “perang melawan terorisme” yang diberlakukan secara global. Ada garis tegas yang diberlakukan oleh Amerika: siapa yang mendukung kebijakan tersebut merupakan sekutu bagi Amerika, sedangkan yang menolaknya dianggap sebagai musuh. Dengan dalih perang melawan terorisme tersebut Amerika dan sekutunya memburu para aktivis muslim yang dicurigai sebagai kelompok teroris di berbagai negara, terutama negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Pelan namun pasti kebijakan Amerika dan sekutunya tersebut menimbulkan stigma negatif terhadap Islam dan umat Islam, terutama bagi masyarakat barat yang tidak mengenal Islam secara benar. Tertanam dalam pandangan sebagian besar masyarakat barat bahwa Islam identik dengan terorisme.
Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan “mengerasnya” sikap sekelompok umat Islam, yang kemudian mendorong mereka melakukan serangkaian pembalasan penyerangan terhadap kepentingan Amerika dan sekutunya di manapun berada, termasuk di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim sekalipun. Bagi kelompok ini, kebijakan Amerika dan sekutunya yang mengobarkan perang global melawan terorisme, dipahami sebagai perang melawan umat Islam secara global. Kelompok ini membalas kebijakan Amerika dan sekutunya tersebut dengan mengobarkan perang melawan Amerika dan sekutunya dengan mengincar kepentingan-kepentingan mereka. Bagi kelompok ini, saat ini di manapun di belahan bumi ini merupakan medan perang melawan kebijakan Amerika dan sekutunya. Kelompok ini menjustifikasi aktifitasnya dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah jihad melawan pihak-pihak yang memerangi umat Islam. Mereka membolehkan melakukan serangkaian pengeboman pada objek-objek yang mereka anggap sebagai perpanjangan kepentingan Amerika dan sekutunya, di manapun objek tersebut berada, bahkan di negara berpenduduk mayoritas muslim sekalipun.
Justifikasi terhadap apa yang kelompok ini lakukan, yaitu dengan mengatasnamakan jihad, tidak disetujui oleh para ulama. Kelompok radikalisme agama ini memahami jihad hanya dengan arti perang (qital). Padahal, menurut para ulama, jihad juga mempunyai makna lain, misalnya upaya sungguh-sungguh dalam melakukan perbaikan. Menurut para ulama, jihad selain mempunyai makna qital (perang), juga mempunyai makna ishlah (perbaikan).
Penolakan terhadap aplikasi kebijakan Amerika dan sekutunya yang dianggap zhalim tidak dengan serta-merta membolehkan untuk melakukan pembalasan dengan jalan kekerasan yang mengarah pada terorisme. Menurut para ulama, apa yang kelompok ini lakukan tidaklah bisa dianggap sebagai jihad, karena jihad dengan pengertian perang (qital) ada syarat-syaratnya. Klaim yang disampaikan oleh para pelaku teror bahwa apa yang mereka lakukan tidak lain merupakan Jihad sangatlah tidak sesuai dengan ajaran Islam dan merupakan penyimpangan dari makna jihad.
Melakukan jihad ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya harus dilakukan di wilayah perang (daar al-harb). Padahal dalam konteks Indonesia, sejak merdeka pada tahun 1945, para ulama yang merupakan bagian penting dari pendiri negara Indonesia, telah sepakat bahwa Indonesia bukanlah wilayah perang (daar al-harb) melainkan merupakan wilayah damai (daar as-shulh), wilayah aman (daar as-salam) dan wilayah dakwah (daar ad-da’wah). Bom bunuh diri yang dilakukan dalam rangka pengeboman terhadap objek yang dipahami sebagai perpanjangan kepentingan Amerika dan sekutunya di Indonesia bukanlah merupakan tindakan mencari kesyahidan (‘amaliyah al-istisyhad), karena dilakukan bukan di daerah perang. Tindakan mencari kesyahidan (‘amaliyah al-istisyhad) dibolehkan hanya di daerah perang (dar al-harb) atau dalam keadaan perang.
Sebagian ulama juga menyatakan bahwa kewajiban jihad dalam arti qital bukanlah tujuan utama melainkan sebagai perantara (washilah). Karena itu, jika ada cara lain yang lebih memungkinkan menuju jalan hidayah maka cara itu lebih utama daripada cara jihad dengan arti perang (qital). Sebagaimana diungkapkan dalam kitab “I’anatul Thalibin” juz IV halaman 180-181:
ووجوب الجهاد وجوب الوسائل لا المقاصد إذ المقصود بالقتال إنما هو الهداية وما سواها من الشهادة. وأما قتل الكفار فليس بمقصود حتى لو أمكن الهداية بإقامة الدليل بغير جهاد كان أولى من الجهاد...
“Kewajiban jihad merupakan washilah (perantara) bukan tujuan. Karena tujuan peperangan itu hanyalah dalam rangka memberikan hidayah (petunjuk). Dan memerangi orang kafir juga bukan tujuan sehingga apabila hidayah itu dimungkinkan dilakukan dengan pendekatan dalil tanpa melalui peperangan maka itu lebih utama.”
Dengan pengertian seperti itulah Majelis Ulama Indonesia menolak adanya upaya dari pihak-pihak tertentu yang mengidentikkan jihad dengan teror. Majelis Ulama Indonesia juga menolak adanya pemahaman bahwa perang terhadap kepentingan Amerika dan sekutunya dengan mengebomnya merupakan tindakan jihad. Majelis Ulama Indonesia melalui forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun 2003 menetapkan fatwa tentang Terorisme, yang antara lain menyatakan: Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskrimatif). Sedangkan jihad mengandung dua pengertian :
1.      Segala usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan untuk menanggung kesulitan di dalam memerangi dan menahan agresi musuh dalam segala bentuknya. Jihad dalam pengertian ini juga disebut al-qital atau al-harb.
2.      Segala upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (li i’laai kalimatillah).
Dengan fatwa tersebut MUI ingin membedakan antara pengertian teror dan jihad. Terorisme sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis/chaos (faudha). Tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak lain serta dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Sedangkan jihad sifatnya melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan. Tujuannya menegakkan agama Allah dan/atau membela hak-hak pihak yang terzholimi. Dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas.

Tekstualisme Agama
Kelompok tekstualisme agama ditengarai dari pemahamannya terhadap ajaran agama (nash) yang cenderung harfiyyah. Kelompok ini lebih menekankan pemahaman nash secara dhahir (manthuq an-nash) dan mengabaikan pemahaman nash secara lebih substansial (mafhum an-nash). Secara apriori kelompok ini menolak penafsiran dan pentakwilan nash yang berbeda dari pengertian zhahirnya (manthuq). Penafsiran dan pentakwilan nash yang tidak didukung secara jelas (sharikh) oleh nash lain dianggap sebagai mengada-ada (bid’ah dhalalah). Dengan pemahaman seperti itu kelompok ini banyak berseberangan dengan pemahaman umat Islam lainnya dalam memahami nash yang bukan hanya memahaminya dari sisi manthuq an-nash saja tapi juga dari sisi mafhum an-nash.
Pemahaman agama yang hanya didasarkan pada manthuq an-nash saja akan menimbulkan kekakuan dalam beragama. Karena agama Islam diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai agama terakhir, sehingga apapun peristiwa dan permasalahan yang muncul seiring dengan perkembangan zaman dapat dicarikan jawabannya dalam agama. Nash keagamaan (nushush syar’iyah) terbatas pada ayat quraniyah dan sunnah nabawiyah sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul seiring dengan perkembangan zaman. Sehingga apabila pemahaman agama didasarkan hanya pada munthuq an-nash saja maka boleh jadi agama tidak akan bisa menjawab permasalahan yang muncul, karena tidak semuanya termaktub secara jelas di dalam nash. Suatu hal yang tidak mungkin menjawab semua persoalan yang muncul hanya terpaku dengan manthuq an-nash, karena nash sifatnya sangat terbatas sedangkan persoalan yang terjadi terus berkembang. Sebagaimana ungkapan para ulama:
لأن النصوص محدودة ولكن الحوادث والنوازل غير محدودة أو لأن النصوص تتناهى ولكن الحوادث والنوازل لا تتناهى.
“sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang muncul tidaklah terbatas. Atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti”

Ajaran agama yang tidak disebutkan dalilnya secara eksplisit di dalam al-Quran dan Hadis dengan begitu lebih banyak dan lebih besar. Ajaran agama yang seperti itu biasanya dirumuskan melalui tata cara ijtihad. Imam al-Haramain, seorang ulama besar mazhab Syafi’iyah menyatakan:
فإنّ معظم الشريعة صدر من الإجتهاد
“Sesungguhnya sebagian besar dari ajaran agama (syari’ah) berasal dari hasil ijtihad”
Secara faktual kelompok seperti ini, yaitu kelompok yang memahami nash hanya dengan pendekatan tekstual (literer/harfiyyah) dan kelompok yang memahami nash hanya didasarkan pada pendapat ulama terdahulu, banyak berkembang di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Kelompok seperti ini menjadi berbahaya kalau sudah mulai menyalahkan umat Islam lainnya yang pemahaman keagamaannya berbeda dengan pemahaman kelompoknya. Tidak jarang dalam menyalahkan umat Islam lainnya, kelompok ini menggunakan cap bid’ah, sehingga memunculkan konflik di antara umat Islam sendiri. Padahal tidak jarang permasalahan yang diperselisihkan merupakan permasalahan furu’iyah, yang merupakan wilayah ijtihadiyah, yang sebenarnya tidak perlu diperselisihkan.
Untuk mengantisipasi akibat buruk dari hal tersebut Majelis Ulama Indonesia menetapkan fatwa tentang Penyamaan Pola Pikir dalam Masalah Keagamaan (taswiyah al-manhaj). Fatwa ini penting untuk mempersatukan persepsi umat Islam di Indonesia tentang mana saja dalam ajaran agama yang merupakan perkara yang tidak bisa diperdebatkan (معلوم من الدين بالضرورة), sehingga apabila ada pihak yang menyimpang dari ketentuan tersebut dengan pasti dapat dikatakan sebagai sesat, dan mana saja perkara yang termasuk ijtihadi sehingga terbuka untuk adanya perbedaan pendapat (مجال الإختلاف).
Dalam menyikapi masalah-masalah perbedaan yang masuk dalam majal al-ikhtilaf Majelis Ulama Indonesia menyatakan sebaiknya diupayakan mencari titik temu untuk keluar dari perbedaan (al-khuruj min al-khilaf) dan semaksimal mungkin menemukan persamaan. Sehingga dengan begitu bisa terhindar dari sikap saling permusuhan (al-’adawah), pertentangan (al-tanazu’), dan perpecahan (al-insyiqaq).

Liberalisme Agama
Kelompok liberalisme agama ditengarai dengan prinsip dasar yang mereka anut dalam memahami nash. Berbeda dengan kelompok tekstualisme agama yang terlalu kaku dalam memahami nash, kelompok liberalisme agama terlalu kebablasan dalam menafsiri nash. Kelompok ini meyakini bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk menafsiri nash. Mereka juga berkeyakinan bahwa nash merupakan teks terbuka yang bisa didekati dengan cara dan metode apapun, tidak harus dengan cara dan metode tertentu (al-manhaj fi fahmi an-nushus) sebagaimana yang telah diformulasikan oleh para ulama.
Kelompok ini juga meyakini bahwa dalam memahami nash harus diselaraskan dengan kemaslahatan umum (al-mashlahah), bahwa mereka meyakini bahwa nash bisa dihapus oleh kemaslahatan (نقض النص بالمصلحة), sehingga apabila nash tidak sesuai dengan al-mashlahah maka pemahaman terhadap nash harus diubah disesuaikan dengan kepentingan maslahah (إذا تعارض النص والمصلحة قدم المصلحة). Padahal seharusnya tidaklah demikian, apabila nash bertentangan dengan kemaslahatan umum (al-mashlahah) maka nash harus dimenangkan dan didahulukan (إذا تعارض النص والمصلحة قدم النص). Karena, jika ada kemaslahatan yang tidak sesuai dengan kehendak nash maka maslahah tersebut adalah bersifat asumtif dan semu (مصلحة موهومة), sedangkan kemaslahatan yang terkandung dalam nash adalah kemaslahatan yang pasti (مصلحة حقيقية).
Kelompok liberalisme agama yang membebaskan penafsiran/pentakwilan nash dengan tanpa memperhatikan sistem dan metodologi (بدون منهج ولا ضوابط) sangatlah berbahaya, karena bisa menerjang makna terdalam nash (mafhum an-nash). Pemahaman terhadap nash yang seperti itu walaupun sesuai dengan kehendak nash tetaplah dianggap salah dan tercela, sebagai sabda rasulullah SAW:
"مَن فسَّر القرآن برأيه فأصاب الحق فقد أخطأ"
Barangsiapa menafsiri nash al-Quran dengan akal pikirannya kemudian sesuai dengan kebenaran, maka tetap saja salah”.
Di hadis lain rasulullah SAW bersabda:
"مَن فسَّر القرآن برأيه فليتبوأ مقعدة من النار"
Barangsiapa menafsiri nash al-Quran dengan akal pikirannya maka telah tersedia baginya tempat di neraka”.
Di dalam al-Quran diisyaratkan kelompok seperti ini tidak beruntung:
ولا تقولوا لما تصف ألسنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا على الله الكذب، إن الذين يفترون على الله الكذب لا يفلحون {النحل: 116}
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” Q.S. An-Nahl [16] : 116
Pemahaman liberalisme agama ini bisa memunculkan pemahaman menyimpang lainnya, misalnya sekularisme dan pluralisme agama. Oleh karenanya, Majelis Ulama Indonesia menetapkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama. Fatwa MUI tersebut menjadi panduan bagi umat Islam di Indonesia dalam menyikapi berkembangnya faham-faham tersebut. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga diharapkan bisa menjadi penghambat berkembangnya faham-faham tersebut di Indonesia. Oleh karenanya, kelompok pengusung dan penyebarnya sangat menentang fatwa MUI tersebut. Dengan berbagai dalih dan argumentasi kelompok tersebut melakukan delegitimasi fatwa MUI.
Para ulama di Indonesia memandang serius gerakan liberalism, sekularisme dan pluralisme agama, karena gerakan tersebut bertujuan merobohkan pilar-pilar epistimologis ajaran Islam dengan menggunakan frasa, istilah dan argumentasi keagamaan yang disimpangkan. Faham tersebut oleh ulama di Indonesia dipandang telah membelokkan ajaran Islam sedemikian rupa sehingga menimbulkan keraguan umat terhadap akidah dan syariat Islam (تشكيك الأمة من العقيدة المستقيمة) serta menjerumuskan umat ke dalam kesesatan (تضليل الأمة إلى الأفكار الباطلة).
Perlu digaris bawahi bahwa fatwa MUI membedakan antara pluralisme dan pluralitas agama. Dalam fatwa MUI yang dimaksud dengan Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga, karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Sedangkan pengertian pluralitas agama yang dimaksud oleh fatwa adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Adapun pengertian Liberalisme agama dalam fatwa MUI adalah memahami nash-nash agama (Al-Quran & As-Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
Fatwa MUI menyatakan bahwa Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud dalam pengertian di atas adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, karenanya umat Islam haram mengikuti paham tersebut. Fatwa MUI juga menyebutkan bahwa dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampur-adukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
Point terakhir, fatwa MUI menyebutkan bahwa bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam harus bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan agama. 

Sesatisme Agama
Menentukan sesat-tidaknya sebuah aliran paham keagamaan harus dilakukan dengan hati-hati. Selain mendasarkan diri pada dalil-dalil keagamaan (an-nushus as-yar'iyah), juga perlu meneliti latar belakang hingga muncul pemahaman yang menyimpang tersebut.
Suatu paham dikatakan sesat jika bertentangan dengan akidah dan hukum-hukum syariah yang qath‘i. Suatu paham yang menyimpang dari rukun iman, rukun Islam, dan atau tidak mengimani kandungan al-Quran dan as-Sunnah dapat dikategorikan sesat. Rasulullah saw. bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما إن تمسكتم بهما: كتاب الله وسنة رسوله
“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal, yang mana kalian tidak akas sesat selama berpegang teguh pada keduanya: kitabullah dan sunnah Rasul-Nya”
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) tahun 2007 menetapkan kriteria sebuah aliran keagamaan dianggap sesat. Kriteria tersebut selengkapnya adalah sbb:
1.            Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6 (enam), yakni beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada Rasul-Rasul-Nya, kepada hari akhirat, kepada Qadha dan Qadar, dan rukus Islam yang 5 (lima), yakni mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji.
2.            Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar'i (al-Quran dan as-Sunnah);
3.            Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran;
4.            Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran;
5.            Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir;
6.            Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajara Islam;
7.            Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul;
8.            Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir;
9.            Merubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardhu tidak lima waktu;
10.       Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i, seperti mengkafirkan muslim hanya bukan kelompoknya.
Kriteria tersebut apabila dilanggar satu point saja maka sudah dianggap sesat, apalagi kalau yang dilangar point-poin dalam kriteria tersebut. Kriteria yang disampaikan oleh MUI tersebut dapat dijadikan pedoman (guidance) bagi aparat pemerintahan yang mempunyai kewenangan untuk memutus apakah sebuah aliran dianggap menyimpang sehingga harus dilarang atau tidak. Kriteria tersebut juga dapat dijadikan pedoman masyarakat luas dalam menghadapi ajakan dari berbagai aliran agar tidak terjerumus masuk dalam kelompok aliran menyimpang tersebut.

Upaya Pengembalian Pemahaman
Keempat kelompok tersebut, yakni radikalisme agama, tekstualisme agama, liberalisme agama dan kelompok sesat telah menyimpang dari jalur pemahaman agama secara benar. Oleh karenanya perlu dilakukan langkah dan upaya untuk mengembalikan pemahaman mereka ke jalur yang sesuai dengan paham Ahlussunnah Wal-jama’ah. Di antara upaya yang bisa dilakukan adalah :
1.      mengembalikan cara memahami nash sebagaimana yang diajarkan oleh para as-salaf as-sholih, yakni dengan tetap berpegang pada metodologi pengambilan hukum (manhajiyyan), tetap dinamis (tathawwuriyyan), tetap mengedepankan faham moderat dalam memahami ajaran agama (tasamuhiyyan), dan menjauhkan dari pemahaman agama yang akstrim (tawasshuthiyyan).
Pengertian as-salaf as-sholih di sini bukan seperti pengertian sebuah kelompok yang menamakan diri kelompok salafi, tapi merupakan fase generasi awal dalam sejarah Islam yang paling valid paradigma berfikirnya dalam memahami dalil-dali keagamaan (manhaj al-fikr fi fahmi an-nushus as-syar’iyah), sebagaimana sabda rasulullah SAW :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“manusia terbaik adalah generasiku (generasi para sahabat), kemudian generasi sesudahnya (generasi para tabi’in), kemudian generasi sesudahnya (generasi tabi’ut tabi’in)”
Hadis di atas menunjukkan periodisasi generasi awal dalam sejarah Islam. Generasi pertama adalah generasi di mana Rasulullah masih hidup, yakni generasi para sahabat. Generasi ini dianggap paling valid metode pemahamannya terhadap nash karena para sahabat adalah generasi di mana al-Quran diturunkan, menerima dan memahami aqidah, syariah dan akhlak langsung dari rasulullah SAW. Apa yang belum jelas pada mereka langsung bisa ditanyakan kepada Rasulullah SAW. Sehingga keyakinan mereka kokoh tak tergoyahkan dan pemahaman mereka terhadap nushus syar’iyah otentik karena berasal langsung dari Rasulullah SAW, namun pemahaman mereka belum tersistematisasikan dan belum terbukukan.
Sedangkan generasi terbaik kedua menurut hadis di atas adalah generasi para tabi’in, di mana generasi ini belajar dari para sahabat bagaimana cara memahami nash yang benar sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada mereka. Pada periode ini pemahamannya juga belum tersistematisasikan dan belum terbukukan.
Sedangkan generasi terbaik ketiga adalah generasi tabiut tabi’in, di mana pada generasi inilah cara memahami nash (al-manhaj fi fahmi an-nushus) sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabat dan kemudian diajarkan kepada para tabi’in diformulasikan dengan lebih sistematis dalam berbagai buku. Ketiga generasi ini dalam khazanah Islam sering disebut dengan “as-Salaf as-Shalih”.
Dengan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan mengikuti “as-Salaf as-Shaleh” di sini bukan semata-mata karena mereka hidup di zaman-zaman generasi awal Islam, akan tetapi karena mereka adalah generasi yang paling memahami bagaimana cara memahami nash (al-manhaj fi fahmi an-nushus) secara benar sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah kepada mereka.
Cara memahami nash tersebut telah tersistematisasikan sedemikian rupa oleh para ulama di masa tabi’ at-tabi’in. Para ulama era tersebut yang telah melakukan langkah besar mensistematisasi al-manhaj fi fahmi an-nushus. Yang paling menonjol dari generasi ini adalah empat imam mazhab, yakni: imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan imam Ahmad Ibnu Hanbal. Keempat imam mazhab ini yang paling monumental karya-karyanya sehingga mempunyai banyak pengikut di masa setelahnya.
2.      Melakukan advokasi melalui kebijakan pemerintah dan menyadarkan masyarakat. Artinya keputusan ulama yang menetapkan status hukum terhadap empat kelompok distortif sebagaimana disebut di atas harus ditindaklanjuti dengan melakukan pembubaran organisasi yang menaunginya, agar pemahaman yang distortif yang dianut oleh kelompok tersebut tidak menyebar kepada orang lain. Oleh karena kewenangan untuk melakukan pembubaran sebuah organisasi adalah pemerintah, maka harus dilakukan upaya advokasi agar keputusan ulama tersebut bisa diakomodasi dalam kebijakan pemerintah. Jangan sampai upaya pembubaran tersebut dilakukan oleh kelompok masyarakat sendiri. Upaya advokasi ini bisa disebut upaya taqninisasi. Setelah ada kebijakan dari pemerintah tentang status kelompok distortif ini maka umat Islam juga harus melakukan advokasi dijalankannya kebijakan tersebut. Jangan sampai kebijakan telah diambil oleh pemerintah tapi tumpul karena tidak dijalankan. Upaya ini bisa disebut upaya tathbiqisasi, yaitu upaya mengawal agar kebijakan pemerintah dapat dilaksanakan.
Di antara cotoh kasus dari gerakan advokasi ini adalah tentang Ahmadiyah. Pertama para ulama menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan ajaran sesat yang keluar dari Islam, karena mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Karena ditetapkan sesat maka kelompok yang meyakini ajaran Ahmadiyah ini harus dibubarkan. Mengingat kewenangan untuk membubarkan sebuah kelompok atau organisasi itu berada pada pemerintah, maka MUI melakukan upaya taqninisasi agar fatwa MUI tersebut diakomodasi oleh pemerintah dan pemerintah menetapkan kebijakan kalau ajaran Ahmadiyah merupakan aliran sesat dan terlarang. Kemudian pemerintah mengakomodasi aspirasi tersebut dengan menerbitkan SKB tentang larangan Ahmadiyah. Setelah SKB diterbitkan tentu saja umat Islam harus memastikan kalau kebijakan tersebut dapat dilaksanakan.

Khatimah
Radikalisme agama, tekstualisme agama, liberalisme agama dan ajaran sesat merupakan pemahaman terhadap ajaran agama yang menyimpang dari kaidah pemaham nash (al-manhaj fi fahmi an-nushus) sebagaimana yang telah diformulasikan oleh para ulama, oleh karenanya umat Islam agar menjauhinya.
Radikalisme agama dikategorikan menyimpang karena mengatasnamakan jihad untuk melegalkan tindakan kekerasan yang mereka lakukan. Kelompok ini memahami jihad hanya dengan pengertian perang (qital), dan menjadikan negara yang damai sebagai medan perang (dar al-harb).
Tekstualisme agama dianggap menyimpang karena dalam memahami nash hanya berpegang pada manthuq an-nash dan mengabaikan mafhum an-nash, serta menganggap bid’ah orang yang berbeda pemahaman dengan kelompoknya.
Liberalisme agama dengan pengertian membuka penafsiran nash dengan tanpa metodologi dan manhaj tertentu merupakan penyimpangan dalam memahami nash dan merupakan bentuk lain untuk menghancurkan agama Islam. Pluralisme agama dengan pengertian relatifisme agama yang memahami semua agama sama benarnya adalah faham yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar.
Sesatisme agama merupakan pemahaman agama dengan mengacak-acak pokok-pokok ajaran agama (ma’lum min ad-din bi ad-dharurah). Kelompok yang meyakini ajaran sesat ini dihukumi murtad dan keluar dari agama Islam.
Di antara upaya untuk menghilangkan pengaruh dari keempat pemahaman tersebut diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk mendakwahkan pemahaman ahlussunnah wal-jamaah kepada umat Islam, yaitu dengan mengembalikan cara memahami nash sebagaimana yang diajarkan oleh para as-salaf as-sholih, yakni dengan tetap berpegang pada metodologi pengambilan hukum (manhajiyyan), tetap dinamis (tathawwuriyyan), tetap mengedepankan faham moderat dalam memahami ajaran agama (tawasshuthiyyan), dan menjauhkan dari pemahaman agama yang akstrim (tatharrufiyyan).
Selain itu, perlu juga dilakukan advokasi agar ada fatwa hukum dari ulama, kemudian diupayakan ditaqninkan melalui kebijakan pemerintah, dan kemudian dilakukan tathbiqisasi terhadap kebijakan tersebut.

Wallahu Ta’ala A’lam




* Disampaikan sebagai bahan ToT Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa, di Jakarta, pada tanggal 4-7  Juli 2013.

** Koordinator Harian Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.