Kamis, 09 Januari 2014

MEMBINGKAI PERBEDAAN DENGAN DAKWAH:
Refleksi Konsep Taswiyah al-Manhaj dan Tansiq al-Harakah[1]
Oleh: DR. KH. Ma’ruf Amin[2]
                                                
Perbedaan merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan dalam kehidupan ini. Perbedaan selain bisa menimbulkan dampak negative tidak jarang juga memberikan dampak positif karena bisa memberikan warna dalam banyak hal, bisa menambal dan menutup kekurangan masing-masing, dan bisa saling melengkapi antara satu dan lainnya. Perbedaan akan memberikan dampak positif, karena merupakan manifestasi dari beragamnya pemikiran, baik yang disebabkan oleh adanya perbedaan dalam metodologi, perbedaan dalam perspektif berfikir dan sudut pandang, ataupun perbedaan dalam penafsiran terhadap adillah. Namun demikian perbedaan tersebut akan membawa dampak negative jika tidak disertai dengan adanya etika perbedaan.
Islam tidaklah melarang adanya perbedaan di antara umatnya. Bahkan dalam sejarah Islam, perbedaan di antara umat Islam telah terjadi mulai dari generasi awal. Kita bisa melihat perbedaan yang terjadi di antara para Imam Mazhab besar semisal Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, imam Al-Auza’i, dsb. Di antara mereka kita tidak pernah mendengar adanya pernyataan yang menyatakan bahwa pendapat dari selainnya adalah salah. Mereka menyatakan, Mazhabi shawabun yahtamilu al-khatha’, wamazhabu ghairina khathaun yahtamilu as-shawab. Artinya: pendapat dalam mazhabku benar (menurutku) dan mungkin ada kesalahannya, sedangkan mazhab lainnya salah (menurutku) namun mungkin mengandung kebenaran.
Bahkan dalam sejarah Islam perbedaan yang terjadi di antara umat Islam sudah muncul pada era Tabi’in, bahkan pada era Sahabat di masa nabi SAW masih hidup. Hal itu sama sekali tidak dilarang oleh nabi SAW.
Di sisi lain, Indonesia dikenal sebagai sebuah negara muslim. Alasannya, Indonesia merupakan negara besar dengan jumlah penduduk mayoritas beragama Islam. Indonesia bahkan dikenal sebagai negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Karena begitu besarnya jumlah umat Islam di Indonesia, merupakan hal yang tidak terelakkan jika umat Islam di Indonesia juga sangat beragam, baik dari sisi faham keagamaannya, tingkat pendidikan dan kesejahteraannya, dan juga aspirasi politiknya. Di satu sisi keberagaman tersebut membawa dampak positif karena berpotensi menjadi pilar penyangga upaya pembangunan strategi kebudayaan umat. Namun di sisi lain kondisi tersebut juga bisa memperlemah gerakan umat, jika tidak ditata sedemikian rupa.
Umat Islam di Indonesia yang berjumlah besar jika tidak dibarengi dengan adanya pengkoordinasian secara benar, berpotensi memunculkan superioritas semu; merasa besar tapi sejatinya keropos. Merasa superior karena jumlahnya memang besar, namun pada kenyataannya “tidak berdaya”, baik di bidang ekonomi, politik, dan juga pendidikan. Salah satu penyebabnya karena umat Islam di Indonesia terkelompokkan dalam organisasi keagamaan ataupun organisasi politik yang bergerak sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi. Sehingga gerakan yang dilakukan tidak efektif menyentuh kondisi umat. Tidak heran jika umat Islam di Indonesia dikatakan besar dalam jumlah tapi minim prestasi (katsir fil-jumlah qalil fid-daurah).
Tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan dakwah di Indonesia saat ini dilakukan secara sporadis dan tidak terkoordinasi. Lembaga dakwah yang ada saat ini melakukan aktifitas dakwahnya sesuai dengan kepentingan masing-masing kelompoknya. Akibatnya, aktifitas dakwah yang ada terkesan tidak sistematis dan tidak efektif, sehingga ada bidang-bidang dakwah yang tak ter"jamah" oleh aktifitas dakwah.
Menyadari hal tersebut, tepatlah kiranya mengangkat kembali konsep Penyamaan Pola Pikir dalam Masalah Keagamaan (taswiyah al-manhaj) dan Koordinasi Langkah Strategis dalam Masalah Keagamaan (tansiq al-harakah) yang diputuskan dalam Forum Ijtima Ulama Se Indonesia II tahun 2006.

Akar Perbedaan Umat Islam
Perbedaan hasil ijtihad yang dilakukan oleh para ulama merupakan rahmat bagi umat. Dalam sebuah kesempatan khalifah Umar bin Abdul Aziz radhiallahu ‘anhu mengatakan:
"ما يسرني أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يختلفوا، لأنهم لو لم يختلفوا لم يكن لنا رخصة".
“yang tidak membahagiakan saya adalah jika tidak ada perbedaan di antara para sahabat, sebab jika demikian tidaklah ada rukhshah bagi kita”
Sungguhpun para sahabat dan para ulama sesudahnya sangat terbuka adanya perbedaan dari hasil ijtihad mereka, namun hal itu sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mengedepankan persatuan umat (tauhid al-ummah) dan ukhuwah Islamiyah. Perbedaan tersebut memberikan kesempatan kepada kita untuk memilih di antara pendapat mereka. Namun demikian kita juga harus meniru akhlak mereka, karena walaupun ada perbedaan di antara mereka sama sekali tidak menghalangi untuk membangun adanya ikatan ukhuwah Islamiyah.
Apabila dicermati lebih dalam, perbedaan yang terjadi di antara umat Islam disebabkan oleh banyak hal, antara lain:
1.   Karakter Agama Islam (Thabi’atu ad-Din).
Allah SWT telah menetapkan bahwa dalam agama Islam ada hukum-hukum terhadap sesuatu yang telah ditetapkan (al-manshush), namun banyak juga yang belum ditetapkan (maskut ‘anhu). Terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan (al-manshush) ada yang ketetapan hukumnya jelas (muhkamat) ada juga yang tidak jelas (mutasyabihat), ada yang pasti (qath’iyat) ada pula yang tidak pasti (zhanniyat), ada gamblang (sharikh) dan ada pula yang perlu penjelasan lebih lanjut (muawwal). Semua ini dimaksudkan agar umat Islam berusaha untuk senantiasa menggalinya (melalui pranata ijtihad) agar sesuai dengan tuntutan zaman.
Kalau saja perbedaan ini tidak merupakan sunatullah, bisa saja Allah SWT menjadikan umat Islam satu warna yang tidak ada perbedaan di antaranya. Misalnya dengan menurunkan kitabNya dengan lengkap memuat nash-nash yang jelas dan pasti (qath’i ad-dilalah) yang tidak ada kemungkinan untuk memahami dan menafsirinya selain dari yang dikehendaki olehNya. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Allah mensyari’atkan adanya ijtihad di antara umat Islam. Di mana hasil ijtihad bisa berbeda disebabkan adanya ‘illah yang berbeda.

2.   Karakter Bahasa (Thabi’atu al-Lughah).
Perbedaan di antara umat Islam juga dikarenakan adanya perbedaan dalam menafsiri arti dan susunan nash dalam al-Quran dan as-Sunnah, karena adanya nash yang bisa ditafsiri lebih dari satu arti (al-musytarak). Nash dalam al-Quran dan as-Sunnah ada yang bernada langsung sehingga mudah bisa difahami (al-haqiqah) dan ada yang bernada tidak langsung sehingga membutuhkan penelusuran lebih lanjut (al-majaz). Ada yang kalimatnya umum (al-‘am) dan ada yang spesifik (al-khash). Ada yang muthlaq dan ada yang muqoyyad. Semua ini menyebabkan perbedaan penafsiran dan pemahaman di antara umat Islam, sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan dalam penyimpulan hukum.

3.   Karakter Manusia (Thabi’atu al-Basyar)
Setiap manusia dijadikan oleh Allah dalam keadaan yang berbeda antara satu dan lainnya. Setiap manusia adalah unik baik karakter, kebribadian, cara berfikir, kecenderungan, dsb. Karenanya tidak mungkin menjadikan manusia ini sama dan menghapus perbedaan yang terjadi di antara mereka. Upaya menyamakan manusia dan menghapus perbedaan yang terjadi di antara mereka sama saja dengan menyalahi fitrah manusia yang telah digariskan oleh Allah SWT.

4.   Karakter Dunia dan Kehidupan (Thabi’atu al-Kaun wa al-Hayah)
Dunia dan kehidupan ini dijadikan oleh Allah SWT dalam keadaan yang berbeda, berwarna dan beraneka ragam. Hal ini tidak menimbulkan perbedaan yang saling bertentangan, tapi malah saling melengkapi dan mewarnai antara satu dan lainnya. Dalam kehidupan ini yang niscaya adalah perubahan yang terjadi karena berbagai hal. Sehingga perbedaan adalah sunatullah, hukum alam, yang telah dirancang oleh Pencipta alam seisinya ini. Allah SWT berfirman
{ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً } [هود : 118] .
“Seandainya Tuhanmu menginginkan maka ia menjadikan manusia menjadi umat yang satu (yang tidak ada perbedaan)”
Dalam sebuah atsar disebutkan:
"لا يزال الناس بخير ما تباينوا فإذا تساووا هلكوا".
“manusia selalu dalam keadaan baik selagi saling menjelaskan (antara satu dan lainnya karena perbedaannya), jika mereka dipaksakan untuk sama maka mereka akan hancur”

Taswiyatul Manhaj Sebagai Cara Mengatasi Perbedaan
Kondisi faktual umat Islam Indonesia menunjukkan adanya keberagaman, baik dari segi kultur, budaya, ataupun pemahaman keagamaan yang dianutnya. Keberagaman tersebut di satu sisi menjadi suatu kekuatan yang berpotensi untuk mendorong kemajuan umat Islam, akan tetapi di sisi lain, keberagaman ini juga berpotensi menjadi titik kelemahan umat dalam membangun kehidupannya yang lebih maju. Kondisi faktual umat Islam saat ini menunjukkan bahwa dalam banyak hal, segi yang kedua ini yang menonjol, sehingga keberagaman yang ada belum bisa dioptimalkan untuk menjadi faktor pendorong kemajuan umat.
Salah satu bukti nyata bahwa keberagaman umat Islam Indonesia lebih banyak menjadi faktor penghambat kemajuan adalah bahwa pada kenyataannya umat Islam saat ini masih banyak dipusingkan oleh berbagai macam kasus yang muncul di permukaan yang disebabkan oleh adanya keberagaman tersebut, terutama keberagaman dalam pemahaman ajaran keagamaan. Ketika umat Islam Indonesia sudah mulai menenggang perbedaan pemahaman ajaran keagamaan yang bersifat furu'iyah, misalnya perbedaan rekaat tarawih, perbedaan penggunaan qunut, perbedaan adzan di shalat jum'at, dsb, saat ini muncul kasus-kasus ajaran keagamaan yang mengarah pada perbedaan ushuliyah.
Memang harus dibedakan antara perbedaan yang bersifat furu'iyah dan yang bersifat ushuliyah. Saya sendiri cenderung untuk mempergunakan istilah keberagaman terhadap perbedaan pemahaman keagamaan yang bersifat furu'iyah. Sedangkan yang bersifat ushuliyah, saya cenderung menganggapnya sebagai penyimpangan. Konsekwensinya, setiap keberagaman yang terjadi karena perbedaan pemahaman keagamaan yang bersifat furu'iyah, menurut saya harus dihormati, karena perbedaan yang terjadi pada domain ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dari disyari'atkannya pranata "ijtihad", dan perbedaan di ranah ini apabila dipahami dengan benar merupakan rahmat dari Allah SWT. Sebaliknya, apabila perbedaan tersebut terjadi di ranah ushuliyah, misalnya perbedaan yang terjadi pada pokok-pokok ajaran agama, ma'lum min ad-din bi ad-dharurah, maka perbedaan tersebut merupakan penyimpangan yang harus segera dihentikan.
Majelis Ulama Indonesia menyadari kondisi faktual umat Islam Indonesia ini, oleh karenanya pada tahun 2006, MUI menyelenggarakan Ijtima' Ulama se-Indonesia ke-II, yang salah satu agendanya adalah membahas masalah Penyamaan Pola Pikir dalam Masalah Keagamaan (taswiyah al-manhaj).  
Ijtima' Ulama se-Indonesia ke II yang diikuti oleh lebih dari 1000 ulama se-Indonesia tersebut merupakan forum yang sengaja diadakan oleh MUI untuk membahas permasalahan-permasalahan strategis yang membutuhkan masukan dan partisipasi dari ulama dari berbagai lapisan masyarakat. Masalah taswiyah al-manhaj dan tansiq al-harakah dinilai mempunyai urgensi yang sangat tinggi untuk dibahas di forum tersebut.
Keputusan Ijtima' Ulama se-Indonesia ke-II tentang Penyamaan Pola Pikir dalam Masalah Keagamaan (taswiyah al-manhaj) selengkapnya adalah sbb:
1.      Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam merupakan suatu yang wajar, sebagai konsekwensi dari pranata “ijtihad” yang memungkinkan terjadinya perbedaan.
2.      Sikap yang merasa hanya pendapatnya sendiri yang paling benar serta cenderung menyalahkan pendapat lain dan menolak dialog, merupakan sikap yang bertentangan dengan prinsip toleransi (al-tasamuh) dan sikap tersebut merupakan ananiyyah (egoisme) dan ‘ashabiyyah hizbiyyah (fanatisme kelompok) yang berpotensi mengakibatkan saling permusuhan (al-’adawah), pertentangan (al-tanazu’), dan perpecahan (al-insyiqaq).
3.      Dimungkinkannya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam harus tidak diartikan sebagai kebebasan tanpa batas (bila hudud wa bila dlawabith).
4.      Perbedaan yang dapat ditoleransi adalah perbedaan yang berada di dalam majal al-ikhtilaf (wilayah perbedaan). Sedangkan perbedaan yang berada di luar majal al-ikhtilaf tidak dikategorikan sebagai perbedaan, melainkan sebagai penyimpangan; seperti munculnya perbedaan terhadap masalah yang sudah jelas pasti (ma’lum min al-din bi al-dlarurah).
5.      Dalam menyikapi masalah-masalah perbedaan yang masuk dalam majal al-ikhtilaf sebaiknya diupayakan dengan jalan mencari titik temu untuk keluar dari perbedaan (al-khuruj min al-khilaf) dan semaksimal mungkin menemukan persamaan.
6.      Majal al-ikhtilaf adalah suatu wilayah pemikiran yang masih berada dalam koridor ma ana alaihi wa ashhaby, yaitu faham keagamaan ahlus-sunnah wal jamaah dalam pengertian yang luas.
Dari keputusan Ijtima Ulama se-Indonesia ke II tahun 2006 tentang taswiyah al-manhaj sebagaimana di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pemahaman keagamaan yang bisa ditoleransi adalah perbedaan yang masuk wilayah perbedaan (majal al-ikhtilaf), sedangkan yang di luar itu dianggap sebagai penyimpangan.
Salah satu contoh penyimpangan yang terjadi adalah yang ramai diberitakan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, terkait munculnya beberapa aliran yang mempunyai pemahaman keagamaan menyimpang, misalnya Ahmadiyah dan al-Qiyadah al-Islamiyah.
Aliran Ahmadiyah mengimani adanya nabi lain setelah nabi Muhammad SAW, yakni Mirza Ghulam Ahmad, sedangkan aliran al-Qiyadah al-Islamiyah meyakini adanya nabi baru dari Betawi yang bernama Ahmad Mushadeq. Al-hamdulillah, aliran yang disebut terakhir ini, sebagaimana diberitakan oleh media massa, telah menyatakan taubat.
Pemahaman yang dikembangkan oleh kedua aliran tersebut tidak bisa dikatakan sebagai perbedaan, karena pemahaman yang dikembangkan menyentuh masalah pokok dari ajaran Islam yang telah jelas dan disepakati oleh umat Islam sepanjang masa (ma'lum min ad-din bi ad-dharurah). Oleh karenanya, pemahaman seperti ini dikatakan sebagai penyipangan yang harus segera diamputasi. Harus dibedakan antara perbedaan dan penyimpangan. Dianggap perbedaan apabila masih dalam lingkup majal al-ikhtilaf, dan dianggap penyimpangan apabila di luar majal al-ikhtilaf. Sedangkan ukuran majal al-ikhtilaf itu sendiri adalah apabila masih dalam lingkup ma ana 'alaihi wa ashhabi.
Landasan teologis (dalil) dari konsep ma ana 'alaihi wa ashhabi ini adalah hadis nabi sbb:
"...وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي"
“… sesungguhnya bani Israel terpecah dalam 72 golongan, dan umatku terpecah dalam 73 golongan; semuanya masuk neraka kecuali satu golongan. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, siapa kelompok tersebut?”. Rasul menjawab “ma ana alaihi wa ashhabi (yang mengikuti aku dan sahabatku)”
             Kalimat “ma ana ‘alaihi wa ashhabi” sebagaimana disebut hadis di atas mempunyai maksud "mengikuti apa-apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw. dan memahaminya sebagimana yang dilakukan oleh para sahabat".
            Mengikuti apa-apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw. artinya adalah berpegang teguh kepada al-Quran dan as-Sunnah, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dan dalam hadis Rasulullah SAW sbb:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)” QS. An-Nisa [4] : 59
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ (رواه مسلم)
“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal, di mana kalian tidak akan tersesat selagi memegang teguh keduanya; yaitu kitabullah (al-Quran) dan sunnah nabi-Nya” (HR. Muslim)
            Sedangkan memahami al-Quran dan as-Sunnah sebagimana yang dilakukan oleh para sahabat artinya adalah mengikuti manhaj dalam memahami keduanya sebagai an-nushus as-syar’iyah. Perintah mengikuti manhaj dalam memahami al-Quran dan as-Sunnah (al-manhaj fi fahmi an-nushus as-syar’iyah) sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat tersebut berasal dari hadis Rasulullah SAW sbb:
عن عرباض بن سارية ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي وعضوا عليها بالنواجذ »
Sahabat Irbadh bin Sariyah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “kalian agar berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-khulafa ar-rasyidun setelahku”
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Dari Abdullah ibnu Mas’ud, Nabi SAW bersabda: “manusia terbaik adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya….”
            Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi menyatakan bahwa generasi terbaik menurut Rasulullah sebagaimana dalam hadisnya di atas adalah generasi Rasulullah, yakni generasi para sahabat. Hal ini bisa dipahami karena para sahabat adalah generasi di mana al-Quran diturunkan, menerima dan memahami aqidah, syariah dan akhlak langsung dari rasulullah SAW. Apa yang belum jelas pada mereka langsung bisa ditanyakan kepada Rasulullah SAW. Sehingga keyakinan mereka kokoh tak tergoyahkan dan pemahaman mereka terhadap nushus syar’iyah otentik karena berasal langsung dari Rasulullah SAW.
            Sedangkan generasi terbaik kedua menurut hadis di atas adalah generasi para tabi’in, di mana generasi ini belajar dari para sahabat bagaimana cara memahami nash yang benar sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada mereka.
            Sedangkan generasi terbaik ketiga adalah generasi tabiut tabi’in, di mana pada generasi inilah cara memahami nash (al-manhaj fi fahmi an-nushus) sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabat dan kemudian diajarkan kepada para tabi’in diformulasikan dengan lebih sistematis dalam berbagai buku. Ketiga generasi ini dalam khazanah Islam sering disebut dengan “as-Salaf as-Shaleh”.
            Dengan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa makna dari “ma ana ‘alaihi wa ashhabi” adalah mengikuti “as-Salaf as-Shaleh”. Yang dimaksudkan dengan mengikuti “as-Salaf as-Shaleh” di sini bukan semata-mata karena mereka hidup di zaman-zaman generasi awal Islam, akan tetapi karena mereka adalah generasi yang paling memahami bagaimana cara memahami nash (al-manhaj fi fahmi an-nushus) secara benar sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah kepada mereka.
            Cara memahami nash tersebut telah tersistematisasikan sedemikian rupa oleh para ulama di masa tabi’ at-tabi’in. Para ulama era tersebut yang telah melakukan langkah besar mensistematisasi al-manhaj fi fahmi an-nushus yang terpenting adalah empat imam mazhab, yakni: imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan imam Ahmad Ibnu Hanbal. Keempat imam mazhab ini yang paling monumental karya-karyanya sehingga mempunyai banyak pengikut di masa setelahnya.
            Walaupun demikian, bukan artinya hanya keempat imam mazhab tersebut saja yang menjaga al-manhaj fi fahmi an-nushus sebagaimana yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabat, ada banyak ulama lainnya yang juga melakukan hal yang sama, akan tetapi karena apa yang dilakukan oleh empat mazhab ini lebih sistematis dan terformulasikan secara lebih baik, maka keempat mazhab inilah yang bisa bertahan pendapatnya hingga sampai saat ini.
      Dalam kaitan ini syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani menyatakan:
ويجب على من لم يكن فيه أهلية الإجتهاد المطلق أن يقلد في الفروع واحدا من الأئمة الأربعة المشهورين، وهم: الإمام الشافعي، والإمام أبو حنيفة، والإمام مالك، والإمام أحمد ابن حنبل رضي الله عنهم، والدليل على ذلك قوله تعالى: فاسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون. فأوجب الله السؤال على من لم يعلم، ويلزم عليه الأخذ بقول العالم وذلك تقليد له، ولا يجوز تقليد غير هؤلاء الأربعة من باقي المجتهدين في الفروع، مثل الإمام سفيان الثوري، وسفيان بن عيينة، وعبد الرحمن بن عمر الأوزعي، ولا يجوز أيضا تقليد واحد من أكابر الصحابة لأن مذاهبهم لم تضبط ولم تدوّن.
“Wajib bagi orang yang tidak mmpunyai kompetensi menjadi mujtahid mutlak untuk mengikuti salah satu dari imam mazhab empat, yakni imam Syafi’i, imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana perintah Allah : “jika kalian tidak tahu bertanyalah kepada ahlinya”. Allah mewajibkan orang yang tidak tahu untuk bertanya, dan mengambil pendapat ulama yang lebih ‘alim (taqlid). Dalam hal ini, terutama dalam masalah furu’, tidak dibenarkan bertaqlid kepada selain keempat imam mazhab tersebut, misalnya mengikuti pendapat imam Sofyan al-Tsauri, Sofyan bin Uyainah, dan Abdurrahman bin Umar al-Auza’i, begitu juga bertaqlid kepada salah satu dari sahabat, dengan alasan karena pendapat (mazhab) mereka belum tersistematisasi dan tidak terbukukan”.
            Dengan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa “ma ana ‘alaihi wa ashabi” adalah merupakan paradigma berfikir dalam memahami dalil-dali keagamaan (manhaj al-fikr fi fahmi an-nushus as-syar’iyah) sebagaimana dikembangkan oleh para sahabat dan tersistematisasi dalam pendapat imam mazhab empat, yakni : imam as-Syafi’i, imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan imam Ahmad bin Hanbal radhiallahu ‘anhum ajma’in. Dengan begitu, memahami nash dengan tanpa metodologi sebagaimana yang dikembangkan oleh as-salaf as-shaleh maka dianggap batal dan harus ditolak.

Tansiq al-Harakah Sebagai Cara Mengefektifkan Dakwah
Selain taswiyah al-manhaj, Ijtima Ulama se-Indonesia ke II tahun 2006 juga membahas tentang Koordinasi Langkah Strategis dalam Masalah Keagamaan (tansiq al-harakah). Masalah ini dianggap penting, karena umat Islam yang merupakan bagian terbesar dari penduduk negeri ini, akan tetapi kepentingan-kepentingan umat Islam dinomor sekiankan dalam aras pengambilan keputusan di negeri ini. Jumlah umat Islam yang mayoritas tidak sebanding dengan kondisi dan perannya. Umat Islam di Indonesia tidak lebih aktsaru fi al-jumlah tapi qalil fi ad-daurah.
Bahkan saat ini kepentingan umat Islam dijadikan bulan-bulanan oleh sekelompok orang yang menginginkan adanya sekularisasi dan liberalisasi di negeri ini. Secara sistematis kelompok ini membentuk opini publik melalui propaganda di media massa mendiskreditkan organisasi keagamaan yang konsisten memperjuangkan tegaknya nilai-nilai syariat Islam di negeri ini, misalnya MUI, NU, Muhammadiyah, dsb. Dengan dalih Hak Asasi Manusia, kelompok ini menebarkan kebencian dan fitnah bahwa fatwa-fatwa MUI menjadi penyebab munculnya anarki di beberapa tempat. Kelompok ini juga tidak kenal lelah menancapkan stigma negatif, melalui jaringan medianya, terhadap MUI yang dicitrakan bertentangan dengan HAM.
Kelompok ini cuma terdiri atas beberapa gelintir orang, akan tetapi karena memiliki pendanaan yang kuat dan menguasasi jaringan media, maka gerakan yang dilakukan oleh kelompok ini menjadi lebih sistematis dan efektif. Oleh karenanya, MUI menganggap penting adanya sebuah gerakan penyadaran di kalangan Umat Islam untuk melakukan koordinasi dalam mengagendakan setiap gerakan yang dilakukan. Gerakan yang dilakukan oleh umat saat ini lebih terkesan sporadis dan belum terkoordinasi dengan baik, sehingga gerakan yang ada tidak efektif. Sungguh benar firman Allah SWT:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” QS. Al-Anfal:46
            Oleh karenanya, MUI menganggap penting adanya upaya penyadaran di kalangan umat tentang pentingnya melakukan Koordinasi Langkah Strategis dalam Masalah Keagamaan (tansiq al-harakah), dengan mengagendakannya dalam Ijtima’ Ulama se-Indonesia ke II tahun 2006. keputusan ijtima’ tentang hal tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:
1.      Umat Islam perlu mengefektifkan gerakan, baik yang sifatnya dakwah Islamiyyah (harakah al-da’wah) maupun gerakan pembelaan bagi Islam dan umatnya (harakah al-difa’)
2.      Gerakan umat Islam yang efektif itu adalah gerakan yang bersifat ishlahiyyah, terkoordinasi, tersinergi, saling mendukung, dan tidak kontra-produktif, serta mengedepankan cara-cara (kaifiyat) yang damai, santun, dan berkeadaban, sekalipun aktifitas kegiatan tersebut beragam dan tidak satu model.
3.      Dalam melakukan aktifitas, ormas dan lembaga keagamaan hendaknya selalu mendasarkan diri di atas prinsip; niat yang baik, perencanaan yang terpadu, metode keagamaan (manhaj) yang shahih, serta prinsip kehidupan sosial yang mengedepankan semangat kekeluargaan (al-ukhuwwah), moderasi (a-tawassuth), keseimbangan (al-tawazun), dinamis, dan memanfaatkan segala potensi yang ada.
4.      Gerakan keagamaan (harakah diniyyah) harus mencakup segala bidang, seperti aqidah, syari’ah, akhlak, pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya.
5.      Untuk tercapainya gerakan yang efektif tersebut, MUI diharapkan dapat menjalankan fungsi-fungsi koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi sehingga tercapai tujuan gerakan  bersama.
Keputusan tersebut mengamanatkan kepada MUI (tentunya di semua tingkatan) untuk melakukan koordinasi dan sinergi gerakan yang dilakukan oleh umat. Di MUI pusat, terdapat sebuah forum yang bernama Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI). Forum tersebut tidak merupakan bagian struktur MUI, akan tetapi dikoordinasikan oleh komisi Ukhuwah Islamiyah MUI. Anggota forum tersebut adalah semua ormas Islam yang ada. Dan forum tersebut dipergunakan untuk merespons gerakan dan aksi umat terhadap suatu masalah yang membutuhkan adanya koordinasi secara langsung antar komponen umat Islam.
Materi-materi yang dikoordinasikan biasanya yang bersifat strategis, misalnya pengawalan Rancangan Undang-Undang yang dinilai akan merugikan kepentingan umat Islam, menyikapi kebijakan pemerintah yang dinilai mempunyai dampak negatif terhadap umat, dan melakukan koordinasi terhadap gerakan membendung gerakan sekularisasi, liberalisasi, dsb.
Konsep ini sangat strategis bagi umat Islam yang saat ini kondisinya dinilai tercerai-berai. Konsep tersebut tidak hendak menyamakan organisasi keagamaan yang ada menjadi satu warna saja. Tapi lebih pada upaya membangkitkan kesadaran setiap eksponen masing-masing organisasi keagamaan tentang pentingnya adanya pembagian peran dan tugas demi tercapainya tujuan bersama, yakni izzul Islam wal Muslimin. Konsep tersebut tetap memberikan kebebasan bagi setiap organisasi keagamaan ataupun organisasi politik keislaman untuk menjalankan visi dan misi masing-masing organisasi, namun dalam tarikan nafas yang sama juga harus dibarengi dengan membangun koordinasi dengan organisasi keagamaan atau organisasi politik keislaman lainnya. Sehingga gerakannya bisa terkoordinasi dengan baik.
Konsep koordinasi gerakan (tansiq al-harakah) tersebut saya kira juga relevan untuk dikembangkan dalam bidang dakwah. Sebab ujung tombak untuk melakukan perubahan kondisi umat menjadi lebih baik adalah melalui aktifitas dakwah. Tanpa adanya aktifitas dakwah yang terencana dan terkoordinasi secara baik maka mustahil akan bisa merubah kondisi umat menjadi umat yang berdaya.

Wallahu A’lam



[1] . Disampaikan sebagai bahan ToT Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa, di Jakarta, pada tanggal 4-7  Juli 2013.
[2] . Koordinator Harian Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Pusat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.