Rabu, 12 Juni 2013

Pengertian, nama, dan manfaat ilmu tauhid


1.      pengertian tauhid menurut lughah dan istilah
Tauhid, secara bahasa berasal dari kata "wahhada - yuwahhidu" yang artinya menjadikan sesuatu satu/tunggal/esa (menganggap sesuatu esa). التوحيد لغة جعل الشيئ واحد
Secara istilah syar'i, tauhid berarti mengesakan Allah dalam hal Mencipta, Menguasai, Mengatur dan mengikhlaskan (memurnikan) peribadahan hanya kepada-Nya, meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya serta menetapkan Asma dan Shifat Al-Ulya (sifat-sifat yang Tinggi) bagi-Nya dan mensucikan-Nya dari kekurangan dan cacat.
Tujuan mempelajari ilmu tauhid adalah mengenal Allah dan rasul-Nya dengan dalil dalil yang pasti dan menetapkan sesuatu yang wajib bagi Allah dari sifat sifat yang sempurna dan mensucikan Allah dari tanda tanda kekurangan dan membenarkan semua rasul rasul Nya.
           Objek Pembahasan Ilmu Tauhid. Adapun hal yang dibicarakan dalam ilmu tauhid adalah dzat Allah dan dzat para rasul Nya   dilihat dari segi apa yang wajib (harus) untuk Allah dan Rasul Nya, apa yang mungkin dan apa yang Jaiz (bisa atau tidak bisa)
           PENDIRI ILMU TAUHID
Orang yang pertama tama mendirikan atau menyusun ilmu tauhid ialah Abu Hasan Al-Asyari dan Abu Manshur al-Maturidi dan pengikut pengikut mereka. Tentu kita jangan hanya mengetahui nama nama mereka sebagai pendiri pendiri ilmu Tauhid tapi sekurang kurangnya harus mengetahui siapa mereka itu? Di bawah ini terlampir ringkasan sejarah mereka: 
1- ABU AL-HASAN AL-ASY’ARI
Nama lengkapnya Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Bisyr Ishaq al-Asy’ari al-Yamani al-Bashri. Al-Asy’ari kabilah yang berasal dari Yaman, tapi beliau lahir dan besar di Bashrah – Iraq.
Abu al-Hasan Al-Asy’ari lahir di Basra tahun 260 H, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad sampai beliau wafat tahun 324H. Beliau adalah seorang pemikir muslim pendiri paham Asy’ari. Sebelum mendirikan faham Asy’ari, beliau sempat berguru pada seorang Mu’tazilah terkenal, yaitu Abi Ali al-Jubba’i, namun pada tahun 299 H dia mengumumkan keluar dari faham Mu’tazilah, dan mendirikan faham baru yaitu faham atau thariqah Ahli Sunnah Wal Jamaah yang kemudian dikenal sebagai thariqah Asy’ariah. Banyak tokoh pemikir islam yang mendukung pemikiran-pemikiran beliau, salah satunya yang terkenal adalah Imam besar Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu Kalam, Tauhid dan Ushuludin.
Walaupun banyak juga ulama yang menentang pamikirannya, tetapi banyak masyarakat muslim yang mengikuti pemikirannya. Orang-orang yang mengikuti dan mendukung pendapat dan faham beliau dinamakan pengikut “Asy’ariyyah”, bahkan tidak sedikit nama nama mereka dinisbatkan kepada nama imamnya (Al-Asy’ari). Diantaranya pengarang kitab ini ”Al’Aqaid Ad-Diniyyah”, Habib Abdurahman bin Saggaf Assagaf sangat menyenangi jika namanya dinisbatkan kepada nama Abu Hasan Al-Asy’ari 
Di Asia mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti faham imam Abu Hasan Al-Asy’ari, yang diserasikan dengan faham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi terutama pelajaran yang menyangkut pengenalan sifat-sifat Allah yang terkenal dengan nama “sifat 20″. Pelajaran ini banyak diajarkan di pesantren-pesantren di seluruh Indoneisa, dan di sekolah-sekolah formal pada umumnya seperti Jamiat Khair (dahulu) yang dipelopori oleh Habib Utsman bin Yahya dan Habib Ali Al-Habsyi.
2- ABU MANSHUR AL-MATURIDI
Abu Manshur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi As-Samarqandi berasal diri daerah Maturid di Samarqand- Uzbekistan. Tidak diketahui dengan jelas tahun kelahiranya, tapi bisa dikatakan bahwa beliau lahir pada masa pemerintahan khalifah Al-Mutawakil Al-Abbasi, dan diperkirakan beliau lebih muda dari Abu al-Hasan Al-Asy’ari 20 tahunan  
Abu Manshur al-Maturidi sama dengan Abu al-Hasan Al-Asy’ari adalah pemikir muslim dan pendiri faham Ahli Sunnah Wal Jama’ah dengan dalil dalil yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw dan juga bersendarkan kepada dalil Aqli. sehingga dia diberi julukan “Imam Al-Huda” atau “Imam al-Mutakalimin”. Abu Mansur al-Maturidi dan Abu al-Hasan merupakan tokoh tokoh pertama yang mendirikan faham Ahli Sunnah Wal Jama’ah terutama dalam ilmu yang bersangkutan dengan Aqidah dan mengenal Allah.
Pemikiran Abu Manshur berkisar sekitar ilmu Ta’wil al-Qur’an, Usul Fiqih, Ilmu Kalam, Tauhid dll. Setelah beliau menerapkan pemikirannya kepada masyarakat, beliau mulai mencatatnya dan meluncurlah setelah itu beberapa buku beliau terutama tentang ilmu Akidah diantara kitab kitab beliau yang terkenal adalah “at-Tauhid”, “Ar-Rad ‘Ala Al-Qaramithah”, “Bayan Wahmi al-Mu’tazilah” dan masih banyak lagi kitab kitab beliau yang bertujuan untuk mempertahankan akidah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
Telah disebut dalam beberapa marja’ bahwa Abu Manshur Al-Maturidi wafat pada tahun 332H di Samarqand dan kuburannya sangat dikenal masyarakat setempat. Wallahu’alam
Pengertian Ilmu Tauhid
Husain Affandi al-Jasr mengatakan :
هو علم يبحث فيه عن إثباب العقائد الدينية المكتسب من أدلتها اليقينية.
“ Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membahas hal-hal yang menetapkan Akidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan “.
Dengan redaksi yang berbeda dan sisi pandang yang lain, ibnu Khaldun mengatakan bahawa Ilmu Tauhid adalah :
“ Ilmu yang berisi alasan-alasan dari aqidah keimanan dengan dalil-dalil Aqliyah dan berisi pula alas an-alsan bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng Aqidah Salaf dan Ahli Sunnah “.
Disamping definisi-definisi di atas masih banyak definisi yang lain yang dikemukakan oleh para Ahli. Nampaknya, belum ada kesepakatan kata dintara mereka mengenai definisi ilmu tauhid ini. Meskipun demikian, apabila disimak apa yang tersurat dan tersirat dari definisi-definisi yang diberikan mereka, masalah tauhid berkisar pada persoalan-persoalan yang berhubungan dengan Allah, Rasul, atau Nabi, dan hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan manusia yang sudah mati.
Para Ulama’ sependapat, mempelajari Tauhid hukumnya wajib bagi seorang Muslim, kewajiban itu bukan saja didasarkan pada alas an rasio bahwa Aqidah merupakan dasar pertama dan utama dalam islam, tetapi juga didasarkan pada dalil-dalil naqli, Al-Qur’an dan Hadist.
Sarjana barat menterjemahkan Ilmu Tauhid ke bahasa mereka dengan “Theologi Islam”. Secara etimologi “Theologi” itu terdiri dari dua kata yaitu “theos” berarti “Tuhan” dan “Legos” berarti ilmu. Dengan demikian dapat diartikan sebagai ILMU KETUHANAN. Sedangkan secara terminologi (istilah), theologi itu diartikan :
1. “The discipline which concert God or Devene Reality and Gods   Relation to the world”, maksudnya suatu pemikiran manusia secara sistematis yang berhubungan alam semesta.
2. “Sciense of religion, dealing therefore with God and Man in his relation to God”, maksudnya pengetahuan tantang agama yang karenanya membicarakan tentang Tuhan dan Manusia serta manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.
3. “The sciense which treats of the facts and fenomena of religion and the relationship between God and Man”, maksudnya ilmu yang membahas fakta-fakta dan gejala agama dan hubungannya antara Tuhan dan Manusia.
Dari beberapa pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa theologi itu merupakan ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran agama (wahyu) ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni.
Inilah sebabnya theologi itu bukan hanya berupa uraian bersifat pikiran tentang agama semata (the intelectual expression of religion) tetapi dapat juga bercorak agama (reaviled theologi) or (filosophical theologi). Untuk itu siapa saja bisa menyelidiki sesuatu agama dengan semangat penyelidikan bebas tanpa harus dari orang-orang yang beragama tersebut atau mempunya hubungan dengan agama yang ditelitinya.

Nama lain dari Ilmu Tauhid
A.                Ilmu Kalam
          Disebut Ilmu Kalam karena :
1.      Pembicaraan pokok yang dipersoalkan pada permulaan Islam adalah firman (kalam) Allah yaitu Al-Quran, apakah ia makhluk diciptakan (non azali) atau tidak diciptakan (azali).
2.      Dasar pembicaraan Ilmu Kalam adalah dalil-dalil akal pikiran sehingga kelihatan mereka ahli bicara. Dalil naqli baru digunakan sesudah ditetapkan kebenaran persoalan dari segi akal pikiran.
3.      Pembuktian kepercayaan agama sangat mirip dengan falsafah logika, maka untuk membedakannya disebut dengan Ilmu Kalam.
B.     Usuhuluddin
Disebut Ilmu Ushuluddin (ilmu aqaid) karena pokok pembicaraannya adalah dasar-dasar kepercayaan agama yang menjadi pondasi agama Islam.
Ilmu Kalam menjadi ilmu yang berdiri sendiri, mulai masa pemerintahan Daulah Abbasyiah (Khalifah Al-Makmun) ketika Mazhab Mu’tazilah menjadi Mazhab negara. Mazhab ini telah mempelajari filsafat dan memadukan metodanya dengan metoda Ilmu Kalam. Sebelumnya ilmu yang membicarakan kepercayaan masih disebut dengan “al-fiqhu fi ad-din”, sebagai imbangan ilmu fiqh yang dinamakan dengan “al-fiqhu al-ilmi”. Imam Hanafi sendiri menamakan bukunya tentang kepercayaan itu dengan “al-fiqhu al-akbar”.
Pemakaian theologi Islam untuk Ilmu Kalam masih dapat dibenarkan karena pengertiannya tidak berbeda, sebab Ilmu Kalam membicarakan Wujud Tuhan, Sifat-Sifat Wajib, Sifat Jaiz (boleh) dan Sifat Mustahil pada Tuhan. Membicarakan Wujud Rasul, dengan Sifat-Sifatnya baik Wajib, Jaiz dan Mustahil pada mereka.
Juga dibicarakan tujuan ke-utus-an mereka, pertanggungan jawab manusia di akhirat, balasan dan siksaan, semua itu bisa dicapai dengan dalil pikiran yang yakin dan intuitif. Di samping itu juga Ilmu Kalam memberi alasan akan kebenaran kepercayaan tersebut serta membantah orang yang mengingkarinya dan yang menyeleweng daripadanya.
Jadi pengertian Theologi Islam dan Ilmu Kalam memiliki kesesuaian makna. Adanya kepercayaan kepada Tuhan dan segala sesuatu yang bertalian dengannya, hubungan Tuhan dengan alam semesta dan manusia, disamping kepercayaan kepada soal-soal gaib lainnya yang kadang-kadang akal manusia itu tidak mampu lagi menjangkaunya.
C. Aqidah
Secara bahasa:
Diambil dari kata dasar “al-‘aqdu” yaitu ikatan. Secara istilah syar’i : Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.
3. manfaat mempelajari ilmu tauhid
Manfaat, Tujuan, dan Sumber ilmu Tauhid
Tauhid tidak hanya sekedar diketahui dan dimiliki oleh Seseorang, tetapi lebih dari itu, ia harus dihayati dengan baik dan benar, kesadaran seseorang akan tugas dan kewajiban sebagai hamba Allah akan muncul dengan sendirinya. Hal ini nampak dalam hal pelaksanaan ibadat, tingkah laku, sikap, perbuatan, dan perkataannya sehari-hari.
Maksud dan tujuan tauhid bukanlah sekedar mengakui bertauhid saja tetapi lebih jauh dari itu, sebab tauhid mengandung sifat-sifat :
1.      Sebagai sumber dan motifator perbuatan kebajikan dan keutamaan.
2.      Membimbing manusia ke jalan yang benar, sekaligus mendorong mereka untuk mengerjakan ibadah dengan penuh keikhlasan.
3.      Mengeluarkan jiwa manusia dari kegelapan, kekacauan dan kegoncangan hidup yang dapat menyesatkan.
4.   Mengantarkan manusia kepada kesempurnaan lahir dan batin.

     Dari empat poin yang diatas dapat dipahami bahwa tauhid selain bermanfaat untuk hal-hal batin, juga bermanfaat untuk hal-hal lahir. Sehingga dari poin tersebut sangat jelas manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Sementara dalam sumber lain, ada yang menspesifikasikan fungsi atau manfaat ilmu tauhid bagi kehidupan manusia adalah sebagai pendoman hidup yang dengannya manusia bisa terbimbing ke jalan yang diridhai Allah, dan dengan tauhid manusia bisa menjalani hidup sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Allah SWT. Dengan tauhid manusia tidak hanya bebas dan merdeka, melainkan juga akan sadar bahwa kedudukannya sama dengan manusia lain manapun. Tidak ada manusia yang superior atau inferior terhadap manusia lainnya.
Suatu hal yang tidak bisa dilupakan adalah bahwa komitmen manusia-tauhid tidak saja terbatas pada hubungan vertikalnya dengan tuhan, melainkan juga mencakup hubungan Horizontal dengan sesama manusia dan seluruh makhluk, dan hubungan-hubungan ini harus sesuai dengan kehendak Allah. Sampai dengan misi ini tauhid dapat mewujudkan sesuatu bentuk kehidupan social yang adil dan etis. 6
Dalam kontek pengembangan umat, tauhid berfungsi antara lain mentranformasikan setiap individu yang meyakininya menjadi manusia yang memiliki sifat-sifat mulia yang membebaskan dirinya dari setiap belenggu sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dengan demikian, akan muncul manusia-manusia tauhid yang memiliki cirri-ciri positif yaitu:
1.                  Memiliki komitmen utuh pada tuhannya.
2.                  Menolak pedoman hidup yang datang bukan dari Allah.
3.                  Bersikap progresif dengan selalu melakukan penilaian terhadap terhadap kualitas  kehidupannya, adat-istiadatnya, tradisi dan faham hidupnya.
4.                  Tujuan hidupnya jelas. Ibadatnya, kerja kerasnya, hidup dan matinya hanyalah untuk Allah semata.
5.                  Meimiliki visi jelas tentang kehidupan yang harus dibangunnya bersama manusia lain; suatu kehidupan yang harmunis antara manusia dengan Tuhannya, dengan lingkungan hidupnya, dengan sesama manusia dan dengan dirinya sendiri.
Oleh karena itu, Nampak jelas bahwa tauhid memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia. Bila setiap individu memiliki kometmen tauhid yang kokoh dan utuh, maka akan menjadi suatu kekuatan yang besar untuk mambangaun dunia yang lebih adil

Karena ilmu tauhid merupakan hasil kajian para Ulama’ terhadap al-Qur’an dan Hadist, maka jelas, sumber ilmu tauhid adalah alQur’an dan Hadist. Namun dalam pengembangannya, kedua sumber di hidup suburkan oleh rasio dan dalil-dalil aqli.

Kamis, 06 Juni 2013

Tentang Uzair dan Almasih putera Maryam

Al-Qur'an Surat At-Taubah ayat 30-31
30. orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al masih itu putera Allah". Demikianlah itu Ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru Perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?
31. mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.

[639] Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.

  * تفسير روح المعاني/ الالوسي (ت 1270 هـ) مصنف و مدقق  At-Taubah ayat 30
{ وَقَالَتِ ٱلْيَهُودُ } استئناف سيق لتقرير ما مر من عدم إيمان أهل الكتابين بالله سبحانه وانتظامهم بذلك في المشركين، والقائل { عُزَيْرٌ ٱبْنُ ٱللَّهِ } متقدمو اليهود ونسبة الشيء القبيح إذا صدر من بعض القوم إلى الكل مما شاع، وسبب ذلك على ما أخرج ابن أبـي حاتم عن ابن عباس رضي الله تعالى عنهما أن عزيراً كان في أهل الكتاب وكانت التوراة عندهم يعملون بها ما شاء الله تعالى أن يعملوا ثم أضاعوها وعملوا بغير الحق وكان التابوت عندهم فلما رأى الله سبحانه وتعالى أنهم قد أضاعوا التوراة وعملوا بالأهواء رفع عنهم التابوت وأنساهم التوراة ونسخها من صدورهم فدعا عزير ربه عز وجل / وابتهل أن يرد إليه ما نسخ من صدره، فبينما هو يصلي مبتهلاً إلى الله عز وجل نزل نور من الله تعالى فدخل جوفه فعاد الذي كان ذهب من جوفه من التوراة فأذن في قومه فقال: يا قوم قد آتاني الله تعالى التوراة وردها إلي فطفق يعلمهم فمكثوا ما شاء الله تعالى أن يمكثوا وهو يعلمهم. ثم إن التابوت نزل عليهم بعد ذهابه منهم فعرضوا ما كان فيه على الذي كان عزير يعلمهم فوجدوه مثله فقالوا: والله ما أوتي عزير هذا إلا لأنه ابن الله سبحانه.

وقال الكلبـي في سبب ذلك: إن بختنصر غزا بيت المقدس وظهر على بني إسرائيل وقتل من قرأ التوراة وكان عزير إذ ذاك صغيراً فلم يقتله لصغره فلما رجع بنو إسرائيل إلى بيت المقدس وليس فيهم من يقرأ التوراة بعث الله تعالى عزيراً ليجدد لهم التوراة وليكون آية لهم بعد ما أماته الله تعالى مائة سنة فأتاه ملك بإناء فيه ماء فشرب منه فمثلت له التوراة في صدره فلما أتاهم قال: أنا عزير فكذبوه وقالوا: إن كنت كما تزعم فأمل علينا التوراة فكتبها لهم من صدره. فقال رجل منهم: إن أبـي حدثني عن جدي أنه وضعت التوراة في خابية ودفنت في كرم فانطلقوا معه حتى أخرجوها فعارضوها بما كتب لهم عزير فلم يجدوه غادر حرفاً فقالوا: إن الله تعالى لم يقذف التوراة في قلب عزير إلا لأنه ابنه تعالى الله عن ذلك علواً كبيراً. وروي غير ذلك ومرجع الروايات إلى أن السبب حفظه عليه السلام للتوراة، وقيل: قائل ذلك جماعة من يهود المدينة منهم سلام بن مشكم ونعمان بن أبـي أوفى وشاس بن قيس ومالك بن الصيف أخرج ابن أبـي حاتم وأبو الشيخ وابن مردويه عن ابن عباس رضي الله تعالى عنهما أنهم أتوا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا: كيف نتبعك وقد تركت قبلتنا وأنت لا تزعم أن عزيراً ابن الله؟.
وأخرج ابن المنذر عن ابن جريج أن قائل ذلك فنحاص بن عازوراء وهو على ما جاء في بعض الروايات القائل:
{ إِنَّ ٱللَّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاء }
[آل عمران: 181]. وبالجملة أن هذا القول كان شائعاً فيهم ولا عبرة بإنكارهم له أصلاً ولا بقول بعضهم: إن الواقع قولنا عزير أبان الله أي أوضح أحكامه وبين دينه أو نحو ذلك بعد أن أخبر الله سبحانه وتعالى بما أخبر.

وقرأ عاصم والكسائي ويعقوب وسهل { عزير } بالتنوين والباقون بتركه. أما التنوين فعلى أنه اسم عربـي مخبر عنه بابن. وقال أبو عبيدة: إنه أعجمي لكنه صرف لخفته بالتصغير كنوح ولوط وإلى هذا ذهب الصغاني. وهو مصغر عزار تصغير ترخيم، والقول بأنه أعجمي جاء على هيئة المصغر وليس به فيه نظر. وأما حذف التنوين فقيل لالتقاء الساكنين فإن نون التنوين ساكنة والباء في ابن ساكنة أيضاً فالتقى الساكنان فحذفت النون له كما يحذف حروف العلة لذلك، وهو مبني على تشبيه النون بحرف اللين وإلا فكان القياس تحريكها، وهو مبتدأ وابن خبره أيضاً ولذا رسم في جميع المصاحف بالألف؛ وقيل: لأنه ممنوع من الصرف للعلمية والعجمة، وقيل: ((لأن الابن وصف والخبر محذوف مثل معبودنا. وتعقب بأنه تمحل عنه مندوحة ورده الشيخ في «دلائل الإعجاز» بأن الاسم إذا وصف بصفة ثم أخبر عنه فمن كذبه انصرف تكذيبه إلى الخبر وصار ذلك الوصف مسلماً، فلو كان المقصود بالإنكار قولهم عزير ابن الله معبودنا لتوجه الإنكار إلى كونه معبوداً لهم وحصل تسليم كونه ابناً لله سبحانه وذلك كفر. واعترض عليه الإمام قائلاً: إن قوله يتوجه الإنكار إلى الخبر مسلم لكن قوله: يكون ذلك تسليماً للوصف ممنوع لأنه لا يلزم من كونه مكذباً لذلك الخبر كونه مصدقاً لذلك / الوصف إلا أن يقال: ذلك بالخبر يدل على أن ما سواه لا يكذبه وهو مبني على دليل الخطاب وهو ضعيف)). وأجاب بعضهم بأن الوصف للعلية فإنكار الحكم يتضمن إنكار علته. وفيه أن إنكار الحكم قد يحتمل أن يكون بواسطة عدم الإفضاء لا لأن الوصف كالأبنية مثلاً منتف. وفي «الإيضاح» أن القول بمعنى الوصف وأراد أنه لا يحتاج إلى تقدير الخبر كما أن أحداً إذا قال مقالة ينكر منها البعض فحكيت منها المنكر فقط، وهو كما في «الكشف» وجه حسن في رفع التمحل لكنه خلاف الظاهر كما يشهد له آخر الآية. وقال بعض المحققين: إنه يحتمل أن يكون { عُزَيْرٌ ٱبْنُ ٱللَّهِ } خبر مبتدأ محذوف أي صاحبنا عزير ابن الله مثلاً، والخبر إذا وصف توجه الإنكار إلى وصفه نحو هذا الرجل العاقل وهذا موافق للبلاغة وجار على وفق العربية من غير تكلف ولا غبار، ولم يظهر لي وجه تركه مع ظهوره، والظاهر أن التركيب خبر ولا حذف هناك، واختلف في عزير هل هو نبـي أم لا والأكثرون على الثاني. 
{ وَقَالَتِ ٱلنَّصَـٰرَى ٱلْمَسِيحُ ٱبْنُ ٱللَّهِ } هو أيضاً قول بعضهم، ولعلهم إنما قالوه لاستحالة أن يكون ولد من غير أب أو لأنهم رأوا من أفعاله ما رأوا. ويحتمل ـ وهو الظاهر عندي ـ أنهم وجدوا إطلاق الابن عليه عليه السلام وكذا إطلاق الأب على الله تعالى فيما عندهم من الإنجيل فقالوا ما قالوا وأخطأوا في فهم المراد من ذلك. وقد قدمنا من الكلام ما فيه كفاية في هذا المقام. ومن الغريب ـ ولا يكاد يصح ـ ما قيل: إن السبب في قولهم هذا أنهم كانوا على الدين الحق بعد رفع عيسى عليه السلام إحدى وثمانين سنة يصلون ويصومون ويوحدون حتى وقع بينهم وبين اليهود حرب وكان في اليهود رجل شجاع يقال له بولص قتل جماعة منهم ثم قال لليهود: إن كان الحق مع عيسى عليه السلام فقد كفرنا والنار مصيرنا ونحن مغبونون إن دخلنا النار ودخلوا الجنة وإني سأحتال عليهم وأضلهم حتى يدخلوا النار معنا ثم إنه عمد إلى فرس يقاتل عليه فعقره وأظهر الندامة والتوبة ووضع التراب على رأسه وأتى النصارى فقالوا له من أنت فقال: عدوكم بولص قد نوديت من السماء أنه ليست لك توبة حتى تتنصر وقد تبت وأتيتكم فأدخلوه الكنيسة ونصروه ودخل بيتاً فيها فلم يخرج منه سنة حتى تعلم الإنجيل ثم خرج وقال: قد نوديت إن الله تعالى قد قبل توبتك فصدقوه وأحبوه وعلا شأنه فيهم، ثم إنه عمد إلى ثلاثة رجال منهم نسطور ويعقوب وملكا فعلم نسطور أن الإله ثلاثة الله وعيسى ومريم تعالى الله عن ذلك، وعلم يعقوب أن عيسى ليس بإنسان ولكنه ابن الله سبحانه، وعلم ملكاً أن عيسى هو الله تعالى لم يزل ولا يزال فلما استمكن ذلك منهم دعا كل واحد منهم في الخلوة وقال له: أنت خالصتي فادع الناس إلى ما علمتك وأمره أن يذهب إلى ناحية من البلاد، ثم قال لهم: إني رأيت عيسى عليه السلام في المنام، وقد رضي عني وأنا ذابح نفسي تقرباً إليه ثم ذهب إلى المذبح فذبح نفسه، وتفرق أولئك الثلاثة فذهب واحد منهم إلى الروم وواحد إلى بيت المقدس والآخر إلى ناحية أخرى وأظهر كل مقالته ودعا الناس إليها فتبعه من تبعه وكان ما كان من الاختلال والضلال

Rabu, 05 Juni 2013

Iman kepada kitab-kitab Allah


Iman kepada kitab yang Allah yang di turunkan merupakan salah satu ushul (landasan) iman dan merupakan rukun iman yang ke-3. Iman yang dimaksud adalah pembenaran yang disertai keyakinan bahwa kitab-kitab Allah benar. Kitab-kitab tersebut merupakan kalam Allah ‘Azza wa jalla yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya kepada umat yang turun kepadanya kitab tersebut.
Diturunkanya kitab merupakan di antara bentuk kasih sayang Allah  kepada hambanya karena besarnya kebutuhan hamba terhadap kitab Allah. Akal manusia terbatas, tidak bisa meliputi rincian hal-hal yang dapat memberikan manfaat dan menimbulkan madharat bagi dirinya. Dan beriman kepada kitab-kitab Allah merupakan salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap orang-orang muslim.
Iman kepada kitab Allah harus mencakup empat perkara :
Pertama     :   Mengimani bahwa turunnya kitab-kitab Allah benar-benar dari sisi Allah Ta’ala.
Kedua        :   Mengimani nama-nama kitab yang kita ketahui namanya seeprti Al Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salaam, Injil yang diturunkan kepada Nabi  ‘Isa ‘alaihis salaam, dan Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud ‘alaihis salaam. Sedangkan yang tidak kita ketahui namanya, kita mengimaninya secara global
Ketiga        :   Membenarkan berita-beritanya yang benar, seperti berita mengenai Al Quran, dan berita- berita  lain yang tidak diganti atau diubah dari iktab-kitab terdahulu sebelum Al Quran.
Keempat   : Mengamalkan hukum-hukumnya yang tidak dihapus, serta ridho dan tunduk  menerimanya,  baik kita mengetahui hikmahnya maupun tidak.  (Syarh Ushuulil Iman)
PENGERTIAN IMAN KEPADA KITAB ALLAH SWT.
1. Pengertian kitab-kitab Allah SWT
Rukun iman yang ketiga adalah iman kepada kitab Allah SWT. Arti kata kitab adalah tulisan atau yang ditulis, berasal dari kata “kataba” yang berarti menulis. Dalam bahasa Indonesia kitab diartikan buku. Adapun yang dimaksud kitab di sini adalah kitab suci.
Ada dua jenis kitab suci:
a. Kitab suci samawi, yakni kitab suci yang bersumber dari wahyu Allah SWT. dan biasa disebut Kitabullah (Kitab Allah SWT.). Ada yang berwujud Kitab dan ada yang berwujud Shahifah atau Shuhuf
b. Kitab suci ardhi, yakni kitab suci yang tidak bersumber dari wahyu Allah SWT. melainkan bersumber dari hasil perenungan dan budi daya akal manusia sendiri.
Adapun pengertian Kitabullah adalah kalam atau firman Allah SWT.  yang diwahyukan melalui malaikat Jibril kepada Nabi dan Rasul-Nya yang mengandung perintah dan larangan sebagai pedoman hidup bagi ummat manusia.
2. Pengertian iman kepada kitab-kitab Allah,
            Yang dimaksud dengan iman kepada kitab-kitab Allah SWT. yaitu meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT. telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada paraNabi dan Rasul yang berisi wahyu Allah SWT. berupa perintah dan larangan untuk disampaiakan kepada umat manusia agar diunakan sebagai pedoman hidup di dunia.
3.         Dalil naqli dan aqli terkait dengan iman  kepada kitab-kitab Allah SWT.
a.         Dalil Naqli       :
Al-Qur’an
Artinya:
“Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”. (QS. Al-Baqarah:4).
Hadits Nabi SAW.:
Artinya:
“ Beritahukan aku tentang Iman “. Lalu beliau bersabda: “ Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk “, (HR. Muslim). (dikutip dari himpunan hadits Arba’in karya Imam An-Nawawi)
b.         Dalil Aqli        :
Allah SWT Maha ‘Alimun (=Tahu) bahwa manusia adalah makhluk yang dha’if (=lemah). Sedangkan Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Rahman (=Pengasih) dan Maha Rahim (=Penyayang). Atas hal itulah Allah SWT berkehendak memberikan bimbingan kepada manusia agar tetap menjadi makhluk paling mulia di sisi-Nya dengan memberikan pedoman berupa kitab suci lengkap dengan uswah hasanah (contoh tauladan) yang berupa seorang Nabi dan Rasul.
4.         Nama-nama kitab Allah SWT. beserta para Nabi dan Rasul yang menerimanya:
         Kitab Taurat   
Ada yang menyebutnya Thoret atau Thora. Diturunkan kepada  Nabi Musa AS (=Moses) abad ke 15 SM untuk Bani Israil dan berbahasa Ibrani.
Kandungan kitab Taurat:
a.         Perintah mengesakan Allah SWT.
b.         Larangan membuat dan menyembah patung berhala.
c.         Larangan menyebut Nama Allah SWT. Dengan sia-sia.
d.         Perintah mensucikan hari Sabtu.
e.         Perintah menghormati ayah dan ibu.
f.          Larangan membunuh sesama manusia.
g.         Larangan berbuat zina.
h.         Larangan mencuri.
i.          Larangan menjadi saksi palsu.
j.          Larangan mengambil istri orang lain.
         Kitab Zabur    
Juga ada yang menyebut Mazmur maupun Paska. Diturunkan kepada  Nabi Dawud AS (=David) pada abad ke 10 SM untuk Bani Israil dan berbahasa Qibthi.
Kandungan kitab Zabur:
a.         Do’a
b.         Dzikir
c.         Nasihat
d.         Hikmah
e.         Menyeru kepada ketauhidan
f.   Tidak berisi syari’at.
         Kitab Injil       
Ada yang menamakan Bibel maupun Alkitab. Diturunkan kepada  Nabi Isa AS (=Yesus Kristus) pada awal abad ke 1 M untuk Bani Israil dan berbahasa Suryani.
Kandungan kitab Injil:
a.         Seruan tauhid kepada Allah SWT.
b.         Ajaran hidup zuhud dan menjauhi kerusakan terhadap dunia.
c.         Merevisi sebagian hukum Taurat yang sudah tidak sesuai.
d.         Berita tentang akan datangnya Nabi akhir zaman bernama Ahmad atau Muhammad.
         Al-Qur’an       
Nama lainnya adalah Adz-Dzikru, Al-Furqon, Al-Bayan, Al-Huda, dsb. Diturunkan kepada  Nabi Muhammad SAW (=Ahmad) pada abad 7 M mulai 6 Agustus 610 M untuk pedoman seluruh manusia dan berbahasa Arab.
Artinya:
“Kami menceriterakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur'an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui”. (QS. Yusuf: 3)
Dan Rasulullah pula bersabda seperti apa yang di firmankan oleh Allah SWT.
  Artinya: “atas engkau membaca al-Quran adalah cahaya bagimu dibumi dan  simpananmu   dilangit.”(HR. Ibn Majah)
•           Menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kehidupan sehari-hari banyak problem kehidupan yang tidak dapat diatasi oleh manusia.sepertinya:
- Berbagai macam jenis penyakit timbul tanpa diketahui cara pengobatannya,
- terjadinya bencana yang tidak disangka-sangka,
- terjadinya gejolak sosial,dsb.
Semuanya itu merupakan dampak sikap sikap manusia yang meninggalkan
al-Quran. Padahal Rasulullah saw. Telah berpesan dalam sabdanya yang berbunyi:

Artinya: “kutinggalkan untukmu dua perkara (pusaka), kalian tidak akan tersesat
selama berpegang kepada keduanya, yaitu (al-Quran) dan sunnnah rasulNya.”(al-Hakim)
5.         Shuhuf-shuhuf yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul.
Disamping menurunkan kitab suci, Allah SWT. juga telah menurunkan petunjuk-Nya dalam bentuk lembaran-lembaran yang disebut Shahifah atau Shuhuf.
            Artinya:
            “Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) Kitab-kitab Ibrahim dan Musa”.   (QS. Al-A’la: 18-19)
            Shuhuf adalah wahyu yang diturunkan dari Allah SWT. kepada para utusan-Nya dalam bentuk lembaran (shahifah). Menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Abu Dzar R.A., bahwa shuhuf itu hanya bersisi tentang AMTSAL (=perumpamaan).
            Diantara para Rasul yang telah menerima shuhuf dari Allah SWT. adalah:
            a. Nabi Adam AS.      :           10 shuhuf.
            b. Nabi Syits AS        :            50 shuhuf.
            c. Nabi Idris AS.         :           30 shuhuf.
            d. Nabi Musa AS.       :           10 shuhuf.
            e. Nabi Ibrahim AS.    :           10 shuhuf.
6.         Isi pokok dari kitab-kitab Allah
Pada dasarnya kitab-kitab suci memuat tentang beberapa hal, yakni:
a.         Hukum I’tiqodiyah; hukum tentang keyakinan, seperti iman kepada Allah SWT.,
Malaikat, Kitab, Rasul, Hari akhir dan Taqdir.
b.         Hukum Khuluqiyah; hukum tentang akhlaq, yakni kewajiban para mukallaf untuk memperhias diri dengan perilaku utama (akhlaqul karimah) dan menghindarkan diri dari perilaku tercela (akhlaqul madzmumah).
c.         Hukum ‘Amaliyah; hukum tentang amal perbuatan, yakni segala perkataan, perbuatan dan tindakan manusia.
7.         Fungsi kitab suci bagi kehidupan sehari-hari:
a.         Menenteramkan hati.
b.         Mempertebal keyakinan.
c.         Menambah ilmu pengetehuan.
d.         Mengetahui riwayat (sejarah) umat masa lampau.
e.         Memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
f.          Menanamkan sikap toleransi terhadap pemeluk agama lain.
8.         Faedah Iman Kepada Kitab Allah
Iman kepada kitab-kitab Allah akan membuahkan faedah yang agung, di antaranya :
Pertama :    Mengetahui perhatian Allah terhadap para hambanya dengan  menurunkan kitab kepada setiap kaum sebagai petunjuk bagi mereka.
   Kedua   :     Mengetahui hikmah Allah Ta’ala mengenai syariat-syariat- Nya, di mana Allah telah   menurunkan syariat untuk setiap kaum yang sesuai dengan kondisi mereka, sebagaimana yang   Allah firmankan.
Ketiga: Mensyukuri nikmat Allah berupa diturunkanya kitab-kitab(sebagai                         pedoman dan petunjuk)
9.         Fungsi beriman kepada kitab-kitab Allah SWT diantaranya, yaitu :
1.         Mempertebal keimanan kepada Allah SWT. Karena banyak hal-hal kehidupan manusia yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan dan akal manusia, maka kitab-kitab Allah manusia menjawab permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan manusia, baik yang tampak maupun yang gaib.
2.         Memperkuat keyakinan seseorang terhadap tugas Nabi Muhammad saw. Karena dengan meyakini kitab-kitab Allah, maka akan percaya terhadap kebenaran Al-Qur’an dan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
3.         Menambah ilmu pengetahuan. Karena dalam kitab-kitab Allah, disamping berisi tentang perintah dan larangan Allah, juga menjelaskan tentang pokok-pokok ilmu pengetahuan untuk mendorong manusia mengembangkan dan memperluas wawasan sesuai dengan perkembangan zaman.
4.         Menanamkan sikap toleransi terhadap pengikut agama lain. Karena dengan beriman kepada kitab-kitab Allah, maka umat islam akan selalu menghormati dan menghargai orang lain.hal ini sesuai apa yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
 Sumber : Copy Faste dari tulisan di situs internet dengan alamat Tablodbloger.googlecode.com

Kamis, 30 Mei 2013

Pengertian Surga

Surga dalam bahasa Arab disebut jannah.  Jannah dalam bahasa Indonesia berarti taman yang di dalamnya terdapat pohon-pohon. Kata jannah diambil dari lafazd janna yang artinya menutupi. Sebabnya disebut demikian adalah karena pohon-pohon yang ada didalamnya sangat rindang dan rimbun daunnya sedang cabang-cabang dari pohon yang satu saling bertautan dengan cabang pohon yang lainnya, sehingga bagian atasnya merupakan naungan yang dapat dipergunakan untuk berteduh di bawahnya.
Adapun yang dimaksud dengan surga menurut pengertian agama Islam adalah suatu tempat kediaman yang disediakan oleh Allah swt untuk hamba-hambaNya yang bertaqwa kepadaNya sebagai balasan kepada mereka itu atas keimanannya yang benar dan amal perbuatannya yang shalih.
Dalam ajaran agama kristen surga dan neraka memiliki pengertian sebagai berikut. Surga disebut sebagai kehidupan kekal yang dijanjikan oleh Yesus kepada orang-orang yang percaya kepadaNya. Tidak ada lagi pemisahan antara Allah dan manusia . Dalam Alkitab disebutkan, orang-orang beriman akan dibangkitkan dengan tubuh yang baru dan dijanjikan hidup dalam kemuliaan, tanpa penyakit tanpa kematian dan tanpa air mata. Surga juga disebut kerajaan Allah.
Adapun konsep surga dan Neraka secara ekplisit tidak terdapat dalam keyakinan Agama Hindu. Umat Hindu pada umumnya jarang membicarakan surga dan neraka karena mereka lebih mempercayai Kharmaphala dan reinkarnasi atau kehidupan kembali setelah kematian. Menurut mereka secara harfiah surga berasal dari bahasa sansekerta. “Svar” berarti cahaya dan “ga” berarti pergi. Ktab suci Weda menyebutkan bahwa surga merupakan “dunia ketiga” yang dipenuhi cahaya. Dengan demikian svarga berarti perjalanan menuju cahaya. Oleh karena itu bagi sebagian umat Hindu meyakini bahwa surga bukanlah tempat setelah kematian, melainkan suatu kondisi atau suasana. Surga yang sesungguhnya adalah kewtika berada dalam kondisi senang atau bahagia, dan Neraka adalah apabila berada dalam kond isi sedih atau menderita.
Sedangkan menurut ajaran agama Budha surga dan Neraka dibagi berdasarkan karma yang ditanggung seseorang. Berdasarkan karma tersebut ajaran Bhuda mengenal Neraka yang dibagi menjadi 15 jenis.Tujuan akhir hidup manusia dalam ajaran Agama Bhuda bukanlah surga atau neraka melainkan untuk mencapai pencerahan sejati yang disebut kebuddhaan (anuttara samyak sambbodhi).
(Sumber penulisan diambil dari beberapa postingan di internet).

Penghuni Surga


Mengenai para penghuni surga di jelaskan di dalam Al-Qur’an sebagai berikut :
Surat Albaqarah ayat 25

وَبَشِّرِ الَّذِين آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُواْ مِنْهَا مِن ثَمَرَةٍ رِّزْقاً قَالُواْ هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِن قَبْلُ وَأُتُواْ بِهِ مُتَشَابِهاً وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
[Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang beriman dan beramal sholeh, bahwa bagi mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Setiap kali mereka diberi rezeki dari buah-buahan di dalamnya, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu (di dunia)." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan baginya di dalamnya ada pasangan yang suci, serta mereka kekal di dalamnya.]
Bahwa yang dimaksud orang beriman di sini ialah orang beriman kepada al-Qur’an; dan orang beramal sholeh yang dimaksud ialah beramal sholeh menurut tuntunan al-Qur’an. “Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka (ada) pahala yang besar.” (17:9)
Ayat ini juga menjelaskan hakikat surga. Yakni bahwa surga sebetulnya adalah perwujudan nyata dari seluruh harapan-harapan manusia di dunia, yang karena satu dan lain hal banyak yang tidak terpenuhi. Coba simak penggalan ini: كُلَّمَا رُزِقُواْ مِنْهَا مِن ثَمَرَةٍ رِّزْقاً قَالُواْ هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِن قَبْلُ (kullamā ruziquw minhā min tsamaratin rizqā qāluw hādzal-ladziy ruziqnā min qablu); artinya: Setiap kali mereka diberi rezeki dari buah-buahan di dalamnya (maksudnya di dalam surga itu), mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu (di dunia)." Ayat ini tidak bisa difahami bahwa kalau begitu surga bukanlah hal yang luar biasa karena toh apa yang ditawarkan di sana itu juga yang kita temukan di dunia. Melalui ayat ini, Allah hendak menyampaikan beberapa pesan. Pertama, yang disebut manusia bukan hanya saya, Anda, atau mereka. Yang disebut manusia ialah sejak manusia pertama hingga manusia terakhir kelak. Usia manusia mungkin puluhan ribu tahun, atau bahkan jutaan tahun; dan selama itu terjadi perubahan terus menerus mengikuti irama perkembangan budaya, peradaban, dan ilmu pengetahuan manusia. Artinya sangat banyak yang dirasakan manusia sekarang tidak dirasakan manusia sebelumnya; begitu juga sebaliknya. Kalau usia saya, Anda dan mereka, paling banter 60 atau 70 tahun saja, lalu berapa banyak yang bisa kita rasakan dibanding usia manusia yang rentangannya puluhan ribu tahun itu? “Allah bertanya (kepada mereka yang baru meninggal): ‘Berapa tahunkah lamanya kalian tinggal di bumi?’ Mereka menjawab: ‘Kami tinggal (di bumi, rasanya cuma) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung’.” (23:112-113)

Kedua, sebagai manusia materi, dalam kurun waktu sekarang pun kita dibatasi oleh ruang dan waktu. Dari jutaan jenis buah, yang bisa kita konsumsi tiap kali makan paling satu atau dua buah. Sehingga dengan usia yang ada rasa-rasanya tidak mungkin mengkonsumsi semua jenis buah tersebut sebelum kita diusung ke kuburan. Itu baru jenis buah, belum yang lain. Itu juga dengan asumsi kita memiliki kemampuan finansial untuk membelinya. Lantas bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan finansial, atau sakit sehingga dilarang memakan jenis makanan tertentu, atau memiliki kemampuan finansial tetapi tetap tidak bisa mendatangkannya dari penjuru dunia yang jauh? “…Kami berfirman: ‘Turunlah kalian (ke dunia)! sebagian kalian (kelak) menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan’.” (2:36 dan 7:24)

Ketiga, dari sisi hakikat (ontologi), semua jenis buah yang kita makan tidak lebih dari variasi bentuk-bentuk penampakan dari materi yang disimbolkan dengan tanah. Karena setiap jenis buah merupakan hasil kombinasi dari berbagai unsur yang membentuk dunia materi; misalnya: tanah, air, matahari, udara, temperature, iklim, mikroba, dan berbagai lingkungan pendukung mikro dan makro lainnya. Sehingga bisa dikatakan, semua itu bukanlah buah yang sesungguhnya. Meminjam istilah Plato, semua itu hanyalah duplikat-duplikat belaka saja. Aslinya ada di alam sana. “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, (hanyalah) perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (57:20, lihat juga 3:185)
Kesimpulannya, manusia membutuhkan dunia yang lain, dunia hakikat, dunia yang sesungguhnya, yang bisa menjadi tempat untuk memenuhi harapan-harapannya yang tidak terpenuhi di dunia materi ini. “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan permainan. Dan sungguh akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.” (29:64)
). وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ (wa lahum fiyhā azwājun muthahharah, dan bagi penghuni surga, di dalamnya, ada pasangan yang suci). Siapakah gerangan pasangan yang suci ini? Bagi mereka yang meninggal sebelum berpasangan atau yang pasangannya tidak seiman dengannya, tentu Allah akan menyiapkan pasangan-pasangan bagi mereka di surga. Tetapi bagi mereka yang tidak masuk dalam dua kategori tersebut, Allah mempertemukan kembali mereka di suatu jenis surga yang bernama Surga Adn. “(Yaitu) Surga Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari orangtua-orangtua mereka, pasangan-pasangannya dan anak-anak keturunannya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.” (13:23 dan 40:8)

4). وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (wa hum fiyhā khaliduwn, serta mereka kekal di dalamnya). Bagaimana mereka bisa kekal di dalamnya; bukankah yang kekal itu hanya Allah. Kekalnya Allah menggunakan kata baqā (kekal secara hakiki), sementara kekalnya manusia di dalam surga atau neraka menggunakan kata khaliduwn atau khuld (kekal secara majazi). Maksudnya, kekalnya Allah adalah kekal dalam artian sejati dan primer, karena Dia-lah yang Awal dan Dia pula yang Akhir (57:3). Sementara kekalnya manusia adalah sekunder, yakni sejauh Allah menghendaki kekekalannya. Jadi kekalnya Allah karena memang itu yang menjadi sifat dari Zat-Nya, sedangkan kekalnya manusia di akhirat semata karena Jalal dan Ikram-Nya. “Semua yang ada di dunia akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai Jalāl dan Ikrām.” (55:26-27) Firman-Nya lagi: “Apa yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sungguh Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (16:96)

4). وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (wa hum fiyhā khaliduwn, serta mereka kekal di dalamnya). Bagaimana mereka bisa kekal di dalamnya; bukankah yang kekal itu hanya Allah. Kekalnya Allah menggunakan kata baqā (kekal secara hakiki), sementara kekalnya manusia di dalam surga atau neraka menggunakan kata khaliduwn atau khuld (kekal secara majazi). Maksudnya, kekalnya Allah adalah kekal dalam artian sejati dan primer, karena Dia-lah yang Awal dan Dia pula yang Akhir (57:3). Sementara kekalnya manusia adalah sekunder, yakni sejauh Allah menghendaki kekekalannya. Jadi kekalnya Allah karena memang itu yang menjadi sifat dari Zat-Nya, sedangkan kekalnya manusia di akhirat semata karena Jalal dan Ikram-Nya. “Semua yang ada di dunia akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai Jalāl dan Ikrām.” (55:26-27) Firman-Nya lagi: “Apa yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sungguh Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (16:96)
Sura Albaqarah ayat 82
وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أُولَـئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
[Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.]
1). Huruf و (wawu) di awal ayat yang berfungsi sebagai ‘athaf (penyambung) menunjukkan bahwa ayat ini adalah sambungan dari ayat sebelumnya. Kalau ayat sebelumnya menegaskan siapa saja yang pantas masuk ke dalam neraka, maka ayat ini mengungkapkan sebaliknya, yakni siapa saja yang layak masuk ke dalam surga. Dan kriteria masuk surga ternyata tidak banyak. Cuma dua macam: beriman dan beramal saleh. Untuk memahami makna keberimanan di sini, mari kita kembali ke ayat yang lalu tentang orang-orang yang akan menjadi penghuni neraka. Dikatakan, seseorang akan menjadi penghuni neraka manakala kesalahannya telah meliputi dirinya: وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيـئَتُهُ (wa ahāthat bihi khathĭy’atuhu, dan dia telah diliputi oleh kesalah-kesalahannya). SALAH itu adalah hasil penilaian; dan penilaian itu berangkat dari keyakinan. Kita mengatakan sesuatu itu SALAH apabila kita yakin bahwa sesutu itu TIDAK BENAR. Kita menilai sesuatu itu BENAR jikalau kita yakin bahwa sesuatu tersebut TIDAK SALAH. Artinya, disebut SALAH manakala di dalam dirinya tidak mengandung kebenaran; dan disebut BENAR manakala di dalam dirinya tidak lagi mengandung kesalahan. Maka, orang yang telah diliputi oleh kesalahan-kesalahannya pada dasarnya telah diliputi oleh hal-hal yang tidak BENAR, yang menyebabkan dirinya pantas menjadi penghuni neraka. Sebaliknya, orang yang beriman adalah orang yang diliputi oleh hal-hal yang BENAR, yang menyebabkan dirinya pantas menjadi penghuni surga. Bisa disimpulkan, neraka ialah tempatnya orang yang SALAH, sementara surga ialah tempatnya orang yang BENAR.
Perhatikan, betapa pentingnya yang namanya “keyakinan” dalam menentukan nilai BENAR dan SALAH. Pertanyaannya, di pondasi manakah berdirinya keyakinan itu, sehingga kita memiliki keyakinan bahwa yang ini SALAH dan yang itu BENAR? Atau lebih tepatnya, apa dasar keyakinan kita itu sehingga berani mengatakan ini SALAH dan itu BENAR? Jawabannya: hukum aqal (yang berlaku universal dan karenanya sama pada semua orang). Dengan demikian, iman dikatakan benar apabila berangkat dari keyakinan yang bisa dipertanggungjawabkan secara aqliyah (rasional). Bahkan kebenaran dalil-dalil naqli (nas-nas keagamaan) pun harus bisa diverifikasi oleh hukum aqli ini. Kalau ada dalil-dalil naqli yang tidak lolos verifikasi hukum aqli, itu pasti أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong) yang dibuat-buat oleh manusia biasa, yang cepat atau lambat pasti akan mengalami kadaluarsa dan dekadensi. Iman yang benar tidak mungkin bersandar pada أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong). Karena yang BENAR sandarannya Allah, yang SALAH sandarannya Thaghut. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); (karena) sungguh telah jelas (bahwa) jalan yang benar (lebih baik) daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (penilaian yang SALAH) kepada cahaya (penilaian yang BENAR). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya (penilaian yang BENAR) kepada kegelapan (penilaian yang SALAH). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (2:256-257)
2). Kriteria kedua ialah “amal saleh”. Penempatan amal saleh selalu di belakang kata “iman” menunjukkan bahwa disebut amal saleh apabila amal tersebut refleksi dari iman yang benar. Jika imannya salah, yang muncul ke permukaan juga “amal salah”. Karen iman ialah motor penggerak perbuatan, tukang perintah pelaksanaan eksekusi, sehingga corak perbuatan sangat tergantung pada corak iman. “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kalian dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya berfirman): ‘Peganglah kuat-kuat apa yang Kami berikan kepadamu dan simaklah!’ Mereka menjawab: ‘Kami mendengarkan tetapi (kami) tidak (akan) mentaati’. Dan telah diresapkan ke dalam qalbu mereka itu (kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah: ‘Alangkah buruknya perbuatan yang diperintahkan iman-mu kepadamu jika kalian benar-benar beriman (kepada Taurat)’.” (2:93) Amal yang didorong oleh iman yang benar inilah yang menyebabkan pelakunya mengarungi bahtera kehidupannya dengan penuh kesucian, ketenangan, dan kebahagiaan. Artinya, setiap tindakannya membawanya kepada kehidupan yang suci, tenang, dan bahagia. “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang suci dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (16:97) Dan orang yang hidupnya seperti ini (suci, tenang, bahagia), kelak di saat wafatnya disambut oleh malaikat dengan ucapan “selamat” sebelum dimasukkan ke dalam surga. “Orang-orang yang diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan suci, (para malaikat tersebut) berkata (kepada mereka): ‘Salaamun ’alaikum, masuklah kalian ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kalian kerjakan (dulu di dunia)’.” (16:32)
3). Nilai iman dan amal saleh berbuntut pada nilai orang beriman dan orang saleh. Karena nilai iman di sisi Allah begitu tingginya (ingat, BENAR itu sandarannya Allah), maka nilai orang beriman juga begitu tingginya. Ini gampang difahami dengan pengertian bahwa tidak ada pembicaraan soal iman kalau tidak ada orang yang beriman. Sebagaimana tidak ada perbuatan saleh kalau tidak ada orang saleh. Maka masuk akal apabila menyakiti hati orang beriman, Allah mengihtungnya sebagai dosa besar. “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka (yang menyakiti) telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (33:58) Puncak keberimanan dan kesalehan—selain Nabi—ada pada wali-wali Allah. Maka kalau menyakiti hati orang mukmin saja begitu besar dosanya, lalau bagaimana pula jikalau menyakiti hati para wali ini. Saat menukil ayat ini di dalam Riyadhus Shalihin-nya, saat membahas dilarangnya menyakiti orang-orang saleh (para wali), Imam Nawawi menjelaskan bahwa hadits tentang masalah ini sangat banyak, diantaranya: “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Sesiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya. Seorang hamba (yang saleh) senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan yang paling Aku cintai, yaitu apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya. Juga hamba-Ku (tersebut) mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya. (Maka) jika Aku mencintainya, Aku adalah pendengarannya yang digunakan untuk mendengar, (Aku adalah) penglihatannya yang digunakan untuk melihat, (Aku adalah) tangannya yang digunakan untuk berbuat, (Aku adalah) kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, niscaya Aku memberinya. Dan jika dia berlindung kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya’.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra) Di sinilah para wali menemukan karamah dan sakralitasnya. Begitu sakralnya, sampai Nabi bersabda kepada Abu Bakar ra, “Hai Abu Bakar, jika kamu membuat mereka (para wali-Ku itu) marah berarti kamu membuat Tuhanmu (juga) marah.” (dikutip dari Riyadhus Shalihin).
Attaubah 111-112
* ¨bÎ) ©!$# 3uŽtIô©$# šÆÏB šúüÏZÏB÷sßJø9$# óOßg|¡àÿRr& Nçlm;ºuqøBr&ur  cr'Î/ ÞOßgs9 sp¨Yyfø9$# 4 šcqè=ÏG»s)ムÎû È@Î6y «!$# tbqè=çGø)uŠsù šcqè=tFø)ãƒur ( #´ôãur Ïmøn=tã $y)ym Îû Ïp1uöq­G9$# È@ÅgUM}$#ur Éb#uäöà)ø9$#ur 4 ô`tBur 4nû÷rr& ¾ÍnÏôgyèÎ/ šÆÏB «!$# 4 (#rçŽÅ³ö6tFó$$sù ãNä3Ïèøu;Î/ Ï%©!$# Läê÷ètƒ$t/ ¾ÏmÎ/ 4 šÏ9ºsŒur uqèd ãöqxÿø9$# ÞOŠÏàyèø9$# ÇÊÊÊÈ   šcqç6ͳ¯»­F9$# šcrßÎ7»yèø9$# šcrßÏJ»ptø:$# šcqßsÍ´¯»¡¡9$# šcqãèÅ2º§9$# šcrßÉf»¡¡9$# tbrãÏBFy$# Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcqèd$¨Y9$#ur Ç`tã ̍x6YßJø9$# tbqÝàÏÿ»ysø9$#ur ÏŠrßçtÎ: «!$# 3 ÎŽÅe³o0ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÊÊËÈ  
111. Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.
112. mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat[662], yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat Munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.

[662] Maksudnya: melawat untuk mencari ilmu pengetahuan atau berjihad. ada pula yang menafsirkan dengan orang yang berpuasa.
(Sumber penulisan diambil dari beberpa postingan di internet).
Kenikmatan surga
ã@sW¨B Ïp¨Ypgø:$# ÓÉL©9$# yÏããr tbqà)­GßJø9$# ( !$pkŽÏù ֍»pk÷Xr& `ÏiB >ä!$¨B ÎŽöxî 9`Å#uä ֍»pk÷Xr&ur `ÏiB &ûtù©9 óO©9 ÷Ž¨tótGtƒ ¼çmßJ÷èsÛ Ö»pk÷Xr&ur ô`ÏiB 9÷Hs~ ;o©%©! tûüÎ/̍»¤±=Ïj9 ֍»pk÷Xr&ur ô`ÏiB 9@|¡tã y"|ÁB ( öNçlm;ur $pkŽÏù `ÏB Èe@ä. ÏNºtyJ¨V9$# ×otÏÿøótBur `ÏiB öNÍkÍh5§ ( ô`yJx. uqèd Ó$Î#»yz Îû Í$¨Z9$# (#qà)ßur ¹ä!$tB $VJŠÏHxq yì©Üs)sù óOèduä!$yèøBr& ÇÊÎÈ  
15. (apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada beubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak beubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam Jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya? ( Qs Muhammad : 15)
* ß$qäÜtƒur öNÍköŽn=tã ×bºt$ø!Ír tbrà$©#sƒC #sŒÎ) öNåktJ÷ƒr&u öNåktJö6Å¡ym #Zsä9÷sä9 #YqèVZ¨B ÇÊÒÈ   #sŒÎ)ur |M÷ƒr&u §NrO |M÷ƒr&u $\KÏètR %Z3ù=ãBur #·ŽÎ7x. ÇËÉÈ   öNåkuŽÎ=»tã Ü>$uÏO C¨ßZß ×ŽôØäz ×-uŽö9tGóÎ)ur ( (#þq=ãmur uÍr$yr& `ÏB 7pžÒÏù öNßg9s)yur öNåk5u $\/#tx© #·qßgsÛ ÇËÊÈ  
19. dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda. apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka, mutiara yang bertaburan.
20. dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.
21. mereka memakai pakaian sutera Halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih. ( Qs Alinsa 19 -21)
ß$$sÜãƒur NÍköŽn=tã 7puÏR$t«Î/ `ÏiB 7pžÒÏù 5>#uqø.r&ur ôMtR%x. O#tƒÍ#uqs% ÇÊÎÈ   (#tƒÍ#uqs% `ÏB 7pžÒÏù $ydrâ£s% #\ƒÏø)s? ÇÊÏÈ   tböqs)ó¡çur $pkŽÏù $Uù(x. tb%x. $ygã_#zÏB ¸xŠÎ6pgUy ÇÊÐÈ   $YZøŠtã $pkŽÏù 4£J|¡è@ WxÎ6|¡ù=y ÇÊÑÈ  
15. dan Diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang bening laksana kaca,
16. (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya.
17. di dalam syurga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe.
18. (yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil.

(Sumber penulisan diambil dari beberpa postingan di internet).