- PENGERTIAN FIQH
Fiqh (الفقه) adalah bahasa Arab dalam bentuk mashdar (kata
dasar) yang fi’il-nya (kata kerjanya) adalah فقه
يفقه فقها. Kata fiqh semula
berarti العلم (pengetahuan)
dan الفهم
(pemahaman). Al-fiqh,
al-‘ilm dan al-fahm merupakan
kata-kata yang sinonim. Dalam bahasa Arab dikatakan:
فلان
يفقه الخير و الشر
“Si
fulan mengetahui dan memahami kebaikan dan keburukan”.
Al-Jurjani
mengatakan bahwa al-Fiqh menurut bahasa berarti:
فهم غرض المتكلم عن كلامه
“Memahami
maksud pembicara dari perkataannya”.
Imam muhammad Abu Zahrah sedikit
membedakan antara lafadz “al-Fiqh” dengan “al-Fahm”.
Beliau mengatakan bahwa al-Fiqh berarti:
الفهم
العميق النافذ الذي يتعرف عليك الأقوال والأفعال
“Pemahaman yang mendalam lagi tuntas
yang dapat menunjukkan tujuan dari perkataan-perkataan dan
perbuatan-perbuatan”.
Dalam al-Qur’an banyak digunakan
kata al-Fiqh dengan arti mengetahui dan memahami secara umum,
sebagaimana tersebut di atas dengan berbagai perubahan bentuknya, di antaranya
adalah:
فما ل
هؤلاء القوم لا يكادون يفقهون حديثا
“Mengapa kaum munafiq itu hampir tidak
dapat memahami hakikat kebenaran…”. (QS. Al-Nisa`: 78)
قالوا
يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول
“…Mereka berkata: Hai Syu’aib, kami
tidak begitu mengerti tentang apa yang engkau bicarakan…”. (QS. Hud: 91)
وطبع
علي قلوبهم فهم لا يفقهون
“…Karena
itu Tuhan menutup hatinya, sehingga mereka tidak mengerti”. (QS. Al-Taubah: 87)
فلولا
نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين
“…Mengapa tidak berangkat pula dari
tiap-tiap golongan itu satu rombongan lain untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama…” (QS. Al-Taubah: 122)
Demikian pula sabda Rasulullah SAW:
من
يرد الله خيرا يفقهه في الدين
“Barang siapa dikehendaki Allah mendapat
kebaikan, niscaya Allah akan berikan kepadanya mengerti tentang agama”.
Jelaslah
bahwa kata al-Fiqh menurut bahasa, dari semua ayat dan hadits
di atas, berarti pengetahuan, pemahaman dan pengertian terhadap sesuatu secara
mendalam. Pengertian secara bahasa ini sangat luas
karena meliputi aqidah, ‘ibadah, mu’amalah dan akhlak.
Secara
istilah (terminologi), fiqh didefinisikan secara eksklusif yang terbatas pada
hukum-kuhum yang praktis (‘amali) yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci (tafsili). Definisi tersebut bisa dilihat berikit ini:
Imam
Abu Zahrah mengatakan bahwa al-Fiqh adalah:
العلم
بالأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية
“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum
syara’ yang praktis (‘amali)yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci (tafsili)”.
Abdul Wahab Khalaf mengemukakan
bahwa al-Fiqh adalah:
العلم
بالأحكام الشرعية العملية المكتسبة من أدلتها
التفصيلية
“Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum
syara’ yang praktis (‘amali) yang diusahakan dari dalil-dalil yang
terperinci (tafsili)”.
Imam Abu Hamid
al-Ghazali (wafat tahun 5O5 H) mendefinisikan al-Fiqh sebagai
ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang ditetapkan secara khusus bagi
perbuatan-perbuatan para manusia (mukallaf) seperti wajib, haram, mubah,
sunnah, makruh, perjanjian/aqad yang sahih (sah),
perjanjian/aqad yang fasid(rusak) dan yang
batal, serta menerangkan tentang ibadah yang dilaksanakan secara qada’(pelaksanaannya
di luar ketentuan waktunya) dan hal-hal lain semacamnya.
Jadi, hukum-hukum syara’ yang praktis
yang lahir sebagai hasil dari dalil-dalil yang terperinci itu dinamakanal-Fiqh,
baik ia dihasilkan dengan melalui ijtihad ataupun secara langsung hasil
pemahaman terhadap teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Jelaslah bahwa hukum-hukum
yang berkaitan dengan aqidah dan akhlak tidak termasuk dalam pembahasan ilmu
fiqih.
Pada zaman Rasulullah S.A.W.,
hukum-hukum diambil dari wahyu (al-Quran) dan penjelasan oleh Rasulullah (as-Sunnah). Segala masalah yang timbul
akan dirujuk kepada Rasulullah S.A.W. dan beliau
akan menjawab secara terus berdasarkan ayat al-Quran yang diturunkan atau
penjelasan nabi sendiri. Namun, terdapat sebagian Sahabat yang
tidak dapat merujuk kepada Nabi lantaran berada di tempat yang jauh, misalnya
Muaz bin Jabal yang diutuskan ke Yaman. Nabi SAW membenarkan
Muaz berijtihad dalam perkara yang tidak ditemui ketentuan di dalam al-Quran
dan as-Sunnah.
Setelah
Rasulullah S.A.W. wafat, masalah yang timbul dirujuk kepada para Sahabat. Mereka mampu
mengistinbat hukum dari al-Quran dan as-Sunnah kerena:
a. Penguasaan
bahasa Arab yang baik;
b. Mempunyai
pengetahuan mengenai sabab an-nuzul sesuatu ayat atau sabab wurud al-hadis;
c. Mereka
merupakan para Perawi Hadis.
Hal ini menjadikan para Sahabat
mempunyai kepakaran yang cukup untuk mengistinbatkan hukum-hukum. Mereka
menetapkan hukum dengan merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah. Sekiranya mereka
tidak menemui ketetapan hukum tentang sesuatu masalah, mereka akan berijtihad
dengan menggunakan kaidah qias. Inilah cara yang
dilakukan oleh para mujtahid dalam kalangan para Sahabat seperti Saidina Abu
Bakar as-Siddiq, Saidina Umar bin al-Khattab, Saidina Uthman bin Affan dan
Saidina Ali bin Abu Talib. Sekiranya mereka mencapai kata sepakat dalam sesuatu
hukum maka berlakulah ijma’.
Pada zaman ini, pengambilan
hukum tidak jauh berbeda dengan zaman Sahabat kerana jarak masa mereka dengan
kewafatan Rasulullah S.A.W. tidak terlalu jauh. Yang membedakannya ialah
sekiranya sesuatu hukum tidak terdapat dalam al-Quran, as-Sunnah dan al-Ijma’,
mereka akan merujuk kepada pandangan para Sahabat sebelum
berijtihad. Oleh sebab itu ide untuk menyusun ilmu Usul al-Fiqh belum lagi
muncul ketika itu. Inilah cara yang digunakan oleh para mujtahid dalam kalangan
tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib, ‘Urwah bin az-Zubair, Al-Qadi Syarih dan
Ibrahim an-Nakha’i.
Pada akhir Kurun Kedua Hijrah, keadaan
umat Islam semakin berubah. Bilangan umat Islam bertambah ramai sehingga
menyebabkan berlakunya percampuran antara orang Arab dan bukan Arab. Kesannya,
penguasaan bahasa Arab dalam kalangan orang-orang Arab sendiri menjadi lemah.
Ketika itu timbul banyak masalah baru yang tiada ketentuan hukumnya dalam
al-Quran dan as-Sunnah secara jelas. Hal ini menyebabkan para ulama’ mulai
menyusun kaedah-kaedah tertentu yang dinamakan ilmu Usul al-Fiqh untuk
dijadikan landasan kepada ijtihad mereka.
Ilmu Usul al-Fiqh disusun sebagai satu
ilmu yang tersendiri di dalam sebuah kitab berjudul ar-Risalah karangan al-Imam
Muhammad bin Idris as-Syafie. Kitab ini membincangkan tentang al-Quran dan
as-Sunnah dari segi kehujahan serta kedudukan kedua-duanya sebagai sumber
penentuan hukum.
- Sejarah perkembangan Fiqh
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di
kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir)
membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa,
periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sebenarya bisa
dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri
tersendiri. Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
- Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan
Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini
kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber
hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada
masa itu identik dengan syariat, karena
penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah
SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi
menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi
SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada
periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian
mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat
jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah,
ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan
hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun
muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh
sebagai periode revolusi sosial dan politik.
- Periode al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi
Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam
pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan
sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat.
Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak
dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin
al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang
luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah
masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan
semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya
masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali
para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan
dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang
ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi,
situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk
memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an.
Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari
jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak
dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
- Periode awal pertumbuhan fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad
ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal
pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan
bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur
Rasyidin (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644
M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah
dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah
tersebut.
Di Irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai
fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam
hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz
atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di Irak telah terjadi pembauran
etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat
homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud mengikuti pola
yang telah di tempuh Umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada
kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah
teks-teks suci. Sikap ini diambil Umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas'ud karena
situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci
diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih
dominan. dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra'yu (akal)
(Ahlulhadits dan Ahlurra'yi). Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya
lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin
Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum
yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab
berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat
lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan
Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Hal ini
dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW
diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak
hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai
persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak.
Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal
bagi munculnya alirah ahlulhadits. Ibnu Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak
sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di
daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais
an-Nakha'i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah;
al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir
bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan
Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id
bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya
Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w.
126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di
Yaman. Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi
thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di
zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh
mengikuti nama para thabi'in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh
an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.
- Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2
sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode
ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode
sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad
yang tinggi di kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu
pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu
agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656
H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah
memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah
terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti
Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari
formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks.
Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika
Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar
kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid
juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah
administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi
permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika
Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775) menjadi khalifah, ia juga meminta
Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi
pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya
yang berjudul al-Muwaththa' (Yang disepakati).
Pada awal periode keemasan ini,
pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga
menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha
melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab
fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Upaya ijtihad tidak
hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas
persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh
taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru
mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi,
mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk
meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat
menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu
sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan
ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik
di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu
kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani
di Irak. Di samping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat
mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh
kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu. Periode keemasan ini juga
ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab
fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam
Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh
Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah
ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab
pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
- Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan
abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir,
takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab
dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode
ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama
fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam
mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri)
tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak
terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut
hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad
berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh
yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub
al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama
berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa
dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong
munculnya pernyataan tersebut.
- Dorongan para
penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan
dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
- Munculnya sikap
at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir)
dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam
mazhab.
- Munculnya
gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk
memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi
masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak
perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka,
tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada
kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu
yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram
melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab semakin
tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah
dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap
yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang
tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun
mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu,
namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab
masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku
yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang
ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.
- Periode kemunduran fiqh.
Masa ini
dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam
al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan
fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin
menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh
dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.Pada masa ini, ulama
fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang
telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk
mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab
atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di
kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan
takrir tersebut.
Setiap ulama berusaha untuk
menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada
semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi
perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari
gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai
persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan
bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
1. Munculnya upaya
pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat
fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai
mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian
dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh
ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu
yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.
2. Muncul beberapa
produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti
diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu,
fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik
dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan
terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai
dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh
bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan
diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk
transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara',
tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut
dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan
pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak
dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut,
karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang
tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada
masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574]
dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
3. Di akhir
periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi
pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani,
seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata
yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi
- MASALAH THAHARAH
- Pengertian Thaharah
Taharah
menurut bahasa berasal dari kata طهور (Thohur), artinya bersuci atau
bersih.Menurut istilah adalah bersuci dari hadas, baik hadas besar
maupun hadas kecil dan bersuci dari najis yang meliputi badan, pakaian, tempat,
dan benda-benda yang terbawa di badan.Taharah merupakan anak kunci dan syarat
sah salat. Dalam kesempatan lain Nabi SAW juga bersabda:
قال عليه الصلاة والسلام: مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ
أَلطَّهَارَةُ، وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ، وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ
“Nabi
Bersabda: Kuncinya shalat adalah suci, penghormatannya adalah takbir dan
perhiasannya adalah salam.”
Hukum
taharah ialah Wajib atas tiap-tiap
mukallaf lelaki dan perempuan. Dalam hal ini banyak ayat Al qur`an dan hadist
Nabi Muhammad saw, menganjurkan agar kita senantiasa menjaga kebersihan lahir
dan batin. Firman Allah Swt :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (٢٢٢)
Artinya:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai
orang-orang yang suci lagi bersih”. (QS Al Baqarh:222)
Selain ayat
al qur`an tersebut, Nabi Muhammad SAW bersabda.
النظافة من الايمان (رواه مسلم)
Artinya :
“Kebersihan itu adalah sebagian dari iman.”(HR.Muslim)
B. Syarat wajib Thaharah
Setiap
mukmin mempunyai syarat wajib untuk melakukan thaharah. Ada hal-hal yang harus
diperhatikan sebagai syarat sah-nya berthaharah sebelum melakukan perintah
Allah SWT. Syarat wajib tersebut ialah :
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Masuk waktu ( Untuk mendirikan solat
fardhu ).
5. Tidak lupa
6. Tidak dipaksa
7. Berhenti darah haid dan nifas
8. Ada air atau debu tanah yang suci.
9. Berdaya melakukannya mengikut kemampuan.
C. Sarana Melakukan Thaharah
Firman
Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي
سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ
جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu solat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri
masjid) sedang kamu dalam keadaan berjunub), terkecuali sekadar berlalu sahaja,
hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau dalam bermusafir atau kembali dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. ”
(Surah Al-Nisa’, 4:43)
Berdasarkan
firman Allah diatas dapat disimpulkan bahwa sarana yang dapat digunakan untuk
bersuci adalah sebagai berikut :
1.
Air
Dapat
digunakan untuk mandi, wudu, dan membersihkan benda-benda yang terkena najis. Sedangkan air untuk bersuci sendiri di
bagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya, yaitu :
a. Air suci dan mensucikan
Adalah air
yang dapat digunakan untuk bersuci, baik menghilangkan hadas maupun najis, dan
airnya tidak berubah warna maupun zatnya. Misal air hujan, air sungai, air
sumur, air laut, air salju, air embun dan air sumber lain yang keluar dari mata
air.
b. Air suci tetapi tidak mensucikan
Air ini
halal diminum, tetapi tidak dapat mensucikan hadas dan najis.
Yang
termasuk air suci tetapi tidak mensucikan adalah:
1) Air yang berubah salah satu sifatnya,
seperti: air teh, air kopi, air susu, dsb
2) Air yang kurang dari 2 kullah(jika
persegi panjang maka ukurannya adalah1 ¼ hasta/±216 liter)
3) Air buah-buahan, seperti: air kelapa,
perasan anggur dsb
c. Air suci tetapi makhruh hukumnya
Yaitu air
yang terjemur sinar matahari dalam wadah selain emas dan perak
d. Air mutanajis
Adalah air
yang terkena najis. Apabila airnya kurang dari 2 kullah, terkena najis, maka
hukumnya menjadi najis. Akan tetapi jika airnya lebih dari 2 kullah, maka
hukumnya tidak najis dan bisa digunakan untuk bersuci selama tidak berubah
warna, bau, maupun rasanya.
2. Tanah, boleh menyucikan jika tidak digunakan
untuk sesuatu fardhu dan tidak bercampur dengan sesuatu.
3. Debu, dapat digunakan untuk tayamum sebagai
pengganti wudu atau mandi.
4. Batu bata, tisu atau benda atau benda yang
dapat untuk menyerap bisa digunakan untuk istinjak.
D. Bentuk Thaharah
Taharah
terbagi menjadi dua bagian yaitu lahir dan batin. Taharah lahir adalah taharah
/ suci dari najis dan hadas yang dapat hilang dicuci dengan air mutlak (suci
menyucikan) dengan wudu, mandi, dan tayamun. Taharah batin adalah membersihkan
jiwa dari pengaruh-pengaruh dosa dan maksiat, seperti dengki, iri, penipu,
sombong, ujub, dan ria.
Sedangkan
berdasarkan cara melakukan thaharah, ada beberapa macam bentuk yaitu : wudhu,
tayamum, mandi wajib dan istinjak
1. Wudhu
Wudu menurut
bahasa berarti bersih. Menurut istilah syara’ berarti membasuh anggota badan
tertentu dengan air suci yang menyucikan (air mutlak) dengan tujuan
menghilangkan hadas kecil sesuai syarat dan rukunnya. Firman Allah SWT dalam
surat Al Maidah ayat 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ
وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٦)
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan solat, maka
basuhlah mukamu, kedua tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah
kakimu sampai mata kaki.”(QS Al maidah :6)
Syarat Wudu :
Wudu
seseorang dianggap sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut.
a. Beragama Islam
b. Sudah mumayiz
c. Tidak berhadas besar dan kecil
d. Memakai air suci lagi mensucikan
e. Tidak ada sesuatu yang menghalangi sampainya
air ke anggota wudu, seperti cat, getah dsb.
Rukun Wudu
Hal-hal yang
wajib dikerjakan dalam wudu adalah sebagai berikut.
a. Niat
berwudu di dalam hati bersamaan ketika membasuh muka. Lafal niat:
نويت الوضوء لرفع الحدث الاصغر لله تعالى
Artinya:”Saya
berniat wudu untuk menghilangkan hadas kecil karena Allah SWT.”
b. Membasuh seluruh muka
c. Membasuh kedua tangan sampai siku
d. Mengusap atau menyapu sebagian kepala.
e. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki, dan
f. Tertib (berurutan dari pertama sampai
terakhir
Sunah Wudu
Untuk
menambah pahala dan menyempurnakan wudu, perlu diperhatikan hal-hal yang
disunahkan dalam melakukan wudu, antara lain sebagai berikut.
a. Membaca dua kalimah syahadat ketika
hendak berwudu
b. Membaca ta’awuz dan basmalah
c. Berkumur-kumur bagi seseorang yang
sedang tidak berpuasa
d. Membasuh dan membersihkan lubang hidung
e. Menyapu seluruh kepala
f. Membasuh sela-sela jari tangan dan kaki
g. Mendhulukan anggota wudu yang kanan dari yang
kiri.
h. Membasuh anggota wudu tiga kali.
i. Mengusap kedua telinga bagian luar dan dalam
j. Membaca do’a sesudah wudu.
Do’a sesudah
wudu.
اشهد ان لا الٰه الاّ الله وحده لا شريك له. و اشهد انّ
محمّدا عبده ورسوله. اللهمّ اجعلني من التّوّابين واجعلني منالمتطهّرين
Artinya :
“Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, yang tida
sekutu bagi-Nya, Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan
utusan-Nya. Ya Allah jadikanlah aku termasuk dalam golongan orang-orang yang
bertobat, dan jadikanlah aku termasuk dalam golongan orang-orang yang bersuci.”
Hal yang membatalkan wudu.
Wudu
seseorang dikatakan batal apabila yang bersangkutan telah melakukan hal-hal
seperti berikut.
a. Keluar sesuatu dari kubul (kemaluan tempat
keluarnya air seni) atau dubur(anus), baik berupa angin maupun cairan(kentut,kencing, tinja,
darah, nanah, mazi, mani dan sebagainya)
Firman Allah
SWT dalam Al Qur’an Surah An Nisa’:43.
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
Artinya :
“atau kembali dari tempat buang air ....” (QS.An-Nisa :43)
b. Bersentuhaan kulit laki-laki dan perempuan
tanpa pembatas.
Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah An
Nisa :43.
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
Artinya : “atau kamu telah menyentuh
perempuan.”
- Menyentuh kubul atau dubur dengan tapak tangan tanpa pembatas.
Sabda Nabi Muhammad SAW.
عن امّ حبيبة قالت سمعت رسول الله صلّى الله عليه و سلّم
يقول من مسّ فرجه فليتوضّاء (رواه ماجه وصصحه احمد
Artinya :
“Dari Umi Habibah ia berkata saya telah mendengar Rosulullah SAW bersabda
:”Barang siapa menyentuh kemaluannya hendaklah berwudu.”(HR Ibnu Majjah dan
disahkan oleh Ahmad)
d. Tidur
dengan nyenyak
e. Hilang
akal.
2.
Tayamum
Tayamum
secara bahasa adalah berwudu dengan debu,(pasir, tanah) yang suci karena tidak
ada air atau adanya halangan memakai air.
Tayamum
menurut istilah adalah menyapakan tanah atau debu yang suci ke muka dan kedua
tangan sampai siku dengan memenuhi syarat da rukunnya sebagai pengganti dari
wudu atau mandi wajib karena tidak adanya air atau dilarang menggunakan air
disebabkan sakit.
Firman Allah
SWT dalam surat An Nisa ayat 43.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي
سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ
جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
Artinya :
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang
air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu
sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS An Nisa:43)
Tayammum
merupakan pengganti dari berwudu. Apabila seseorang telah melaksanakan salat
dengan tayamum kemudian dia menemukan air, maka tidak wajib mengulang sekalipun
waktu salat masih ada.
Adapun
syarat dan rukun, sunah serta hal-hal yang terkait dengan tayamum adalah
sebagai berikut.
Syarat Tayamum
Syarat
tayamum adalah sebagai berikut :
a. Ada sebab yang membolehkan mengganti wudu
atau mandi wajib dengan tayamum.
b. Sudah masuk waktu salat
c. Sudah berusaha mencari air tetapi tidak
menemukan
d. Menghilangkan najis yang melekat di tubuh
e. Menggunakan tanah atau debu yang suci.
Rukun Tayamum
a. Niat
b. Mengusap debu ke muka
c. Mengusap debu ke dua tangan sampai siku
d. Tertib
Sunah Tayamum
Dalam
melaksanakan tayamum, seseorang hendaknya memperhatikan sunah-sunah tayamum
sebagai berikut.
a. Berniat
b. Membaca
ta’awuz dan basmalah
c.
Menepiskan debu yang ada di telapak tangan
d.
Merenggangkan jari-jari tangan
e. Menghadap
kiblat
f.
Mendahulukan anggota tubuh yang kanan dari yang kiri
g. Membaca
do’a (seperti do’a sesudah wudu)
Hal yang membatalkan Tayamum
Tayamum
seseorang menjadi batal karena sebab berikut :
a. Semua
yang membatalkan wudu juga membatalkan tayamum
b. Keadaan
seseorang melihat air yang suci yang mensucikan (sebelum salat)
c. Murtad
(keluar dari agama Islam)
Praktik
Tayamum
Ada beberapa
hal yang perlu di ketahui dalam melakukan tayamum. Hal tersebut perlu
diperhatikan karena suatu saat seseorang
pasti akan melakukannya, seperti ketika dalam perjalanan, berada di daerah yang
tidak ada air, atau sedang sakit yang tidak memperbolehkan terkena air.
a. Carilah
tempat yang mengandung debu/tanah yang suci.
b. Letakkan
atau tempelkan kedua tangan pada tempat yang berdebu tersebut disertai niat
dalam hati. Lafal niat tayamum.
نويت التّيمّم لاستبا حة الصّلاة فرضا لله تعالى
Artinya :” Aku niat bertayamum untuk dapat
mengerjakan salat fardu karena Allah Ta’ala.”
c. Mengusap
kedua tangan sampai siku hingga merata dengan mendahulukan tangan kanan.
Usahakan mencari debu pada tempat yang berbeda.
d. Membaca do’a sesudah tayamum, seperti
do’a sesudah wudu.
3.
Mandi Wajib
Mandi wajib
disebut juga mandi besar, mandi junub, atau mandi janabat. Mandi wajib adalah
menyiram air ke seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan
disertai niat mandi wajib di dalam hati.
Firman Allah
Swt :
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya :
“.......dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS Al Maidah)
Adapun lafal
niatnya adalah sebagai berikut :
نويت الغسل لرفع الحدث اكبر فرضا لله تعا لى
Artinya :
“Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadast besar karena Allah Ta’ala.’
Rukun mandi
wajib
Ada beberapa
hal yang menjadi rukun dalam melaksanakan mandi wajib, diantaranya sebagai
berikut :
a. Niat
mandi wajib
b.
Menyiramkan air keseluruh tubuh dengan merata.
c.
Membersihkan kotoran yang melekat atau mengganggu sampainya air ke badan.
Beberapa
Penyebab Diwajibkan Mandi Wajib
Berikut ini
adalah hal-hal yang menjadi penyebab diwajibkannya mandi wajib:
a. Keluarnya
air mani (sperma) dengan syahwat, baik ketika sedang tidur maupun dalam keadaan
terjaga. Akan tetapi, apabila ia bermimpi tidak disertai keluarnya mani, maka
ia tidak wajib mandi.
b.
Selesainya haid bagi perempuan.
c. Selesai
melahirkan.
d. Selesai
nifas, yakni darah yang keluar sesudah melahirkan.
e.
Meninggalnya seseorang (jenazah).
· Praktek Mandi Wajib
Bagi
perempuan yang sudah beranjak dewasa (mengalami haid) dan anak laki-laki dewasa
yang sudah mengalami mimpi basah, wajib melakukan mandi waji.
Beberapa
langkah yang harus diketahui dalam melakukan mandi wajib berikut :
a. Pastikan bahwa benar-benar telah mengalami
hadas besar.
b. Lakukan sesuai dengan rukun mandi wajib
yang telah diketahui.
c. Sempurnakan dengan sunah-sunah mandi
wajib.
3. Istinja’
Pengertian istinja’ Menurut bahasa, istinja’ berarti terlepas
atau bebas. Sedangkan menurut istilah, ialah membersihkan kedua pintu alat
kelamin manusia yaitu dubur dan qubul(anus dan penis) dari kotoran dan cairan
(selain mani) yang keluar dari keduanya. Istinja’ hukumnya wajib.
a. Hal-hal yang dilarang ketika buang air
- Dilarang menjawab suara adzan
- Dilarang menjawab salam
- Bila bersin hendaknya memuji Allah dalam hati
saja, tidak boleh menjawab dengan suara keras
- Dilarang mengucapkan kalimat-kalimat dzikir
- Dilarang sambil makan, minum dan sebagainya
b. Alat-alat
yang digunakan untuk istinja’
- Air
- Batu (jika tidak ada air)
- Kertas atau tissue (jika tidak ada air)
- Daun-daunan yang tidak biasa dimakan (jika
tidak ada air)
c. Tata cara istinja’
- Membasuh tempat keluarnya najis dengan air
hingga bersih
- Jika tidak
ada air sekurang-kurangnya dengan 3 buah batu atau 3 sisi sebuah batu. Jika
tidak ada batu dapat digunakan benda-benda lain asal keset atau keras.
E. Pengertian hadas dan najis
1. Hadas
a. Pengertian Hadas
Hadas
menurut bahasa artinya berlaku atau terjadi. Menurut istilah, hadas adalah
sesuatu yang terjadi atau berlaku yang mengharuskan bersuci atau membersihkan
diri sehingga sah untuk melaksanakan ibadah. Berkaitan dengan hal ini Nabi
Muhammad saw, bersabda :
قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم لا يقبل الله صلاة احدكم اذا حدث حتّى
يتوضّاء (متفق عليه)
Artinya :
“Rasulullah saw, telah bersabda : Allah tidak akan menerima salat seseorang
dari kamu jika berhadas sehingga lebih dahulu berwudu.” (HR Mutafaq Alaih)
2. وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا (٦)
Artinya :
“Dan jika kamu junub, maka mandilah kamu.” (QS Al Maidah :6)
Ayat dan
hadist diatas menjelaskan bahwa bersuci untuk menghilangkan hadas dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu berwudu dan mandi.
b. Bermacam hadas dan cara mensucikannya
Menurut
fiqih, hadas dibagi menjadi dua yaitu :
1) Hadas
kecil
Hadas kecil
adalah adanya sesuatu yag terjadi dan mengharuskan seseorang berwudu apabila
hendak melaksanakan salat. Contoh hadas kecil adalah sebagai berikut :
- Keluarnya
sesuatu dari kubul atau dubur selain air mani, jika yang keluar air mani
maka orang tersebut bergadats besar.
- Tidur nyenyak dalam kondisi tidak
duduk.
- Menyentuh kubul atau dubur dengan
telapak tangan tanpa pembatas.
- Hilang akal karena sakit atau mabuk.
2. Hadas
besar
Hadas besar adalah sesuatu yang
keluar atau terjadi sehingga mewajibkan mandi besar atau junub. Contoh-contoh terjadinya hadas
besar adalah sebagai berikut :
- Bersetubuh (hubungan suami istri)
- Keluar mani, baik karena mimpi
maupun hal lain
- Keluar darah haid
- Nifas
- Meninggal dunia
2. Najis
a.
Pengertian Najis
Najis
menurut bahasa adalah sesuatu yang kotor. Sedangkan menurut istilah adalah
sesuatu yang dipandang kotor atau menjijikkan yang harus disucikan, karena
menjadikan tidak sahnya melaksanakan suatu ibadah tertentu.
b.Macam-macam
Najis dan Cara Mensucikannya
Berdasarkan
berat dan ringannya, najis dibagi menjadi tiga macam. Najis tersebut adalah
Mukhafafah, Najis Mutawasitah, dan Najis Muqalazah.
1) Najis Mukhafafah
Najis
mukhafafah adalah najis ringan. Yang tergolong najis mukhafafah yaitu air
kencing bayi laki-laki yang berumur tidak lebih dua tahun dan belum makan
apa-apa kecuali air susu ibunya.Cara mensucikan najis mukhafafah cukup dengan
mnegusapkan/ memercikkan air pada benda yang terkena najis.
2) Najis Mutawasitah
Najis
mutawasitah adalah najis sedang. Termasuk najis mutawasitah antara lain air
kencing, darah, nanah, tina dan kotoran hewan. Najis mutawasitah terbagi
menjadi dua bagian, yaitu :
- Najis
hukmiah adalah najis yang diyakini adanya, tetapi, zat, bau, warna dan rasanya
tidak nyata. Misalnya air kencing yang telah mengering. Cara mensucikannya
cukup dengan mengalirkan air pada benda yang terkena najis tersebut.
- Najis
ainiyah adalah najis yang nyata zat, warna, rasa dan baunya. Cara mensucikannya
dengan menyirkan air hingga hilang zat, warna, rasa dan baunya.
3) Najis
Mugalazah
Najis
mugalazah adalah najis berat, seperti najisnya anjing dan babi. Adapun cara
mensucikannya ialah dengan menyiramkan air suci yang mensucikan air suci yang
mensucikan (air mutlak) atau membasuh benda atau tempat yang terkena najis
sampai tujuh kali. Kali yang pertama dicampur dengan tanah atau debu sehingga
hilang zat, warna, rasa, dan baunya. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad
saw :
قال النّبي صلّى الله عليه وسلّم طهور اناء احدكم اذا ولغ
فيه الكلب ان يغسله سبع مرّات اولا هنّ بالتّراب ( رواه مسلم
Artinya: “Nabi Muhammad saw bersabda: Sucinya tempat
(perkakas) salah seorang dari kamu apabila telah dijilat anjing, hendaklah
mensuci benda tersebut sampai tujuh kali, permulaan tujuh kali harus dengan
tanah atau debu.” (HR Muslim).
Sumber :
Al-Quranul Karim
Prof. Dr. Rachmat Syafe’I,MA. 1998.
Ilmu Ushul fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf. 1974. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta:
Pustaka Amanah.
Prof. Muhammad Abu Zahrah. 2011. Ushul fiqih. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Dr. Said bin Ali bin Wahb. 2004. Thaharah Nabi, Tuntunan Bersuci
Lengkap. Yogyakarta. Media Hidayah.
Suyono, Slamet Abidin. 1998. Fiqih Ibadah.
Bandung. Pustaka Setia.
Sulaiman, H. 2006. Fiqih Islam. Bandung. PT.
Sinar Baru Algensindo
Definisi Ushul Fiqh - IslamWiki | Tentang Islam
http://islamwiki.blogspot.com/2009/02/definisi-ushul-fiqh.html#ixzz2I7IGz1CT
Muthoharoh, Hafiz. 2009. Fungsi Thaharah dalam Kehidupan.
http://alhafizh84.wordpress.com. Thaharah. http://nyemania.blogspot.com.
Topik: Bab 1 : Taharah / Bersuci.
http://halaqah.net.
Fadholi, Arif. Ketentuan Thaharah
(bersuci).
http://ariffadholi.blogspot.com.