Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi). Zakat profesi
dikenal juga dengan istilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai)
atau zakah kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurrah (zakat hasil pekerjaan dan
profesi swasta). (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, I/497; Wahbah az-Zuhaili,
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865; Ali as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya
al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 522; Al-Yazid Ar-Radhi, Zakah Rawatib
Al-Muwazhaffin, hal. 17).
Zakat profesi menurut
para penggagasnya didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan pada tiap
pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri
maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang
memenuhi nishab. Misal profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek,
dan sebagainya. (Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq,
Sedekah, hal. 103; Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 95).
Syarat Zakat
Syarat Zakat
Ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat tersebut berkaitan dengan muzakki
(orang yang mengeluarkan zakat) dan berkaitan dengan harta.
Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki: (1) islam, dan
(2) merdeka.
Adapun anak kecil dan orang gila -jika memiliki harta dan
memenuhi syarat-syaratnya- masih tetap dikenai zakat yang nanti akan
dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dan dipilih oleh
mayoritas ulama.
Syarat kedua, berkaitan
dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta tersebut dimiliki secara sempurna, (2)
harta tersebut adalah harta yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai
nishob, (4) telah mencapai haul (harta tersebut bertahan selama setahun), (5)
harta tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok
Pendapat Ulama tentang Hukum Zakat Profesi
1.
Pendapat yang
mewajibkan zakat profesi
Pertama, menurut Al-Qaradhawi, landasan zakat
profesi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk al-maal
al-mustafaad (harta perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru
yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang
disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya.
Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu
Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang
mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa
mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah).
Bahkan al-Qaradhawi
melemahkan hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat, yaitu hadis Ali bin Abi
Thalib RA, bahwa Nabi SAW bersabda”Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu
atasnya haul.” (HR Abu Dawud). Alasan Yusuf Qaradhawi menganggap lemah
(dhaif) hadis tersebut, karena ada seorang periwayat hadis bernama Jarir bin
Hazim yang dianggap periwayat yang lemah. (Yusuf Al-Qaradhawi, ibid.,
I/491-502; Wahbah az-Zuhaili, ibid., II/866).
Kedua, ulama lain
menambahkan dalil lain dari yang telah dikemukakan Qaradhawi di atas, yaitu
keumuman ayat ke-267 dari surat Al Baqarah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا
مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…” (QS Al Baqarah
[2]:267)
Ada pula ulama yang menambah dalil lain lagi,
yaitu surat Adz Dzariyat ayat ke-19 sebagai berikut :
وَفِى أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّآئِلِ
وَالْمَحْرُوْمِ
“Dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk
orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menahan diri (daripada
meminta).” (QS Adz Dzariyat [51]:19)
Diantara Ulama Yang
Mendukung Zakat Profesi antara lain :
a. Dr. Yusuf
Al-Qaradawi
Tidak bisa
dipungkiri bahwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi adalah salah satu icon yang paling
mempopulerkan zakat profesi. Beliau membahas masalah ini dalam buku beliau Fiqh
Zakat yang merupakan disertasi beliau di Universitas Al-Azhar, dalam bab زكاة كسب العمل و المـهن الحرة (zakat hasil
pekerjaan dan profesi) .Sesungguhnya
beliau bukan orang yang pertama kali membahas masalah ini. Jauh sebelumnya
sudah ada tokoh-tokoh ulama seperti Abdurrahman Hasan, Syeikh Muhammad Abu
Zahrah, dan juga ulama besar lainnya seperti Abdulwahhab Khalaf.Namun karena
kitab Fiqhuz-Zakah itulah maka sosok Al-Qaradawi lebih dikenal sebagai rujukan
utama dalam masalah zakat profesi. Inti pemikiran
beliau, bahwa penghasilan atau profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat
diterima, jika sampai pada nishab setelah dikurangi hutang. Dan zakat profesi
bisa dikeluarkan harian, mingguan, atau bulanan.
b. Dr. Abdul
Wahhab Khalaf dan Syeikh Abu Zahrah
Dalam kitab
Fiqhuzzakah, Al-Qaradawi tegas menyebutkan bahwa pendapatnya yang mendukung
zakat profesi bukan pendapat yang pertama. Sebelumnya sudah ada tokoh ulama
Mesir yang mendukung zakat profesi, yaitu Abdul Wahhab Khalaf dan Abu Zahrah.Abdul Wahab
adalah seorang ulama besar di Mesir (1888-1906), dikenal sebagai ahli hadits,
ahli ushul fiqih dan juga ahli fiqih. Salah satu karya utama beliau adalah
kitab Ushul Fiqih, Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah, Al-Waqfu wa Al-Mawarits,
As-Siyasah Asy-Syar'iyah, dan juga dalam masalah tafsir, Nur min Al-Islam. Tokoh ulama
lain yang disebut oleh Al-Qaradawi adalah guru beliau sendiri, yaitu Syeikh
Muhammad Abu Zahrah (1898- 1974). Beliau adalah
sosok ulama yang terkenal dengan pemikirannya yang luas dan merdeka, serta
banyak melakukan perjalanan ke luar negeri melihat realitas kehidupan manusia. Tulisan beliau
tidak kurang dari 30 judul buku, salah satunya yang terbesar adalah Mukjizat
al-Kubra al-Quran”. Buku ini merupakan mukadimah dalam beliau mengarang tafsir
al-Quran. Namun tafsir
ini tidak sempat disempurnakan kerana beliau meninggal dunia terlebih dahulu.
Buku lainnya adalah Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, Al-'Uqubah fi Al-Fiqh
Al-Islami, Al-Jarimah fi Al-Fiqh Al-Islami,
c. Majelis
Tarjih Muhammadiyah
Musyawarah
Nasional Tarjih XXV yang berlangsung pada tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H
bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta
Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat. Lembaga ini
pada intinya berpendapat bahwa Zakat Profesi hukumnya wajib. Sedangkan nisabnya
setara dengan 85 gram emas 24 karat. Ada pun kadarnya sebesar 2,5 %
d. Majelis
Ulama Indonesia (MUI)
MUI memandang
bahwa setiap pendapatan wajib dikeluarkan zakatnya, seperti gaji, honorarium,
upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal. Baik pendapatan itu
bersifat rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak
rutin seperti dokter, pengacara,konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan
yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Bila syarat
terpenuhi yaitu telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85
gram, maka zakat wajib dikeluarkan. Kadar zakat penghasilan menurut MUI adalah
adalah 2,5%.
e. Dr. Didin
Hafidhudin
Di Indonesia,
salah satu icon zakat profesi yang cukup terkenal adalah Dr. Didin Hafidhuddin,
sebagamana naskah disertasi doktor yang diajukannya. Guru Besar IPB
dan Ketua Umum BAZNAS ini mencoba mendefinisikan profesi ialah setiap keahlian
atau pekerjaan apapun yang halal, baik yang dilakukan sendiri maupun yang
terkait dengan pihak lain, seperti seorang pegawai atau karyawan. Didin
memberikan mekanisme pengambilan hukum zakat profesi dengan menggali pada teks
al-Quran, dan dengan menggunakan metode qiyas.
f. Dr. Quraisy
Syihab
Quraish Shihab
juga termasuk yang menudukung wajibnya zakat profesi. Hal itu bisa kita baca
dari tulisannya antara lain : Menjawab pertanyaan 100 tentang keIslaman yang
patut anda ketahui.
2. Pendapat yang menolak zakat profesi
2. Pendapat yang menolak zakat profesi
1. Bahwa profesi-profesi
pekerjaan yang dilakukan seseorang telah ada sejak jaman Nabi Muhammad, para
sahabat dan Tabi’in, seperti penjahit, tukang sepatu dan sebagainya, namun
tidak didapati penjelasan baik dari Nabi, sahabat dan Tabiin yang yang
menyatakan mereka mewajibkan untuk mengeluarkan zakat profesi. Mereka hanya
mewajibkan zakat maal pada harta yang telah disebutkan di dalam al Qur’an dan
hadits atau harta selainnya jika memang diperdagangkan.
2. Firman Allah (surat
al Baqarah: 267) tidak pernah dipahami oleh para ulama terdahulu seperti yang
dipahami oleh penganjur pendapat ini. Para ulama terdahulu memahami dari ayat
tersebut kewajiban zakat tijarah dan hasil tanaman makanan pokok, tanaman
buah-buahan tertentu saja, selainnya tidak.
3. Pendapat tentang
zakat profesi ini rancu dan terkesan asal-asalan dalam penentuan nishab, kadar
zakat dan waktu pengeluarannya. Dalam sisi nishab mereka menyamakan nishab
penghasilan dengan nishab emas dan perak. Demikian pula kadar zakatnya. Namun
dalam waktu pengeluarannya mereka menyamakannya dengan zakat makanan pokok
seperti padi atau semacamnya. Dalam penegasan awal mereka mensyaratkan haul,
namun kemudian ketika menjelaskan waktu pengeluaran yang pertama yaitu ketika
penghasilan yang sekali diterima telah mencapai nishab, haul tidak lagi mereka
berlakukan. Jadi pendapat ini rancu dalam sisi persyaratan haul-nya. Ini adalah
salah satu bukti bahwa pendapat ini rancu dari sisi istinbath dan dalilnya.
Bahkan yang sangat menggelikan, para pengikut pendapat ini mewajibkan zakat
penghasilan setiap bulan tanpa melihat nishabnya sama sekali, dengan mengambil
2,5 % dari penghasilan, berapapun jumlah penghasilan tersebut, dan ini berulang
secara rutin setiap bulannya.
4. Bukankah sangat
mungkin bahwa penghasilan-penghasilan tersebut akan habis untuk keperluan hidup
sehari-hari atau untuk keperluan tidak terduga seperti karena sakit parah dan
semacamnya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:
” ليس على المسلم في عبده ولا فرسه صدقة
” رواه مسلم
Maknanya: “Tidak ada
zakat atas orang muslim terhadap hamba sahaya dan kudanya” (H.R. Muslim)
Imam an-Nawawi
mengomentari hadits ini:
هذا الحديث أصل في أن أموال القنية لا
زكاة فيها
“Hadits ini
adalah dalil bahwa harta qinyah (harta yang digunakan untuk keperluan
pemakaian, bukan untuk dikembangkan) tidak dikenakan zakat“. (lihat: Syarh
Shahih Muslim, Jilid III, Juz VII, h. 61)
5. Biasanya para
pengikut pendapat ini mengatakan: “Jika zakat penghasilan ditiadakan, enak
sekali para professional tersebut. Sementara petani yang tidak seberapa
penghasilan sawahnya dikenakan kewajiban zakat sedangkan mereka yang berdasi
dan berjuta-juta penghasilannya tidak dikenai kewajiban zakat ?!!”.
Jawabannya adalah:
Pertama: Ini adalah
logika yang salah. Dikatakan kepada mereka: Sebagaimana dalam zakat maal, hanya
ternak khusus, emas dan perak, tanaman makanan pokok, tanaman buah-buahan kurma
dan anggur kering saja yang wajib dizakati, padahal ada ternak yang lain yang
lebih menghasilkan, ada logam mulia dan batu permata lain yang lebih mahal, ada
tanaman makanan yang lebih besar penghasilannya, ada tanaman buah-buahan selain
kurma dan zabib yang lebih memiliki harga jual, namun zakat hanya diwajibkan pada
jenis-jenis harta tertentu yang sudah disebutkan, demikian juga halnya, hanya
penghasilan dari tijarah yang ada zakatnya. Jadi ukurannya bukan besar
penghasilannya, tetapi ada sisi ta’abbudi-nya.
Kedua: Dikatakan kepada
pengikut pendapat ini: Jika ukurannya adalah besarnya pendapatan, apakah mereka
juga akan mewajibkan zakat pada hadiah yang diperoleh oleh seseorang atau harta
warisan yang diwarisi oleh seseorang karena jumlah atau nominalnya lebih besar
dari penghasilan petani atau bahkan dokter atau pejabat sekalipun ?!!. Padahal
para ulama telah menegaskan bahwa dalam zakat tijarah selain ada niat tijarah,
modal atau harta pokok yang dimiliki haruslah yang berasal dari mu’awadlah
mahdlah atau ghairu mahdlah, dan karenanya harta warisan atau hibah jika dijadikan
modal tijarah tidak wajib dizakati karena modalnya diperoleh bukan dengan jalur
mu’awadlah (lihat Bughyah ath-Thalib, h. 367-368). Ini berkait dengan tijarah
yang sudah jelas wajib dizakati.
Ketiga: Jika Zakat yang
mereka sebut sebagai zakat penghasilan ini, sebatas seperti madzhab Imam Abu
Hanifah maka hal itu adalah hal yang bisa diterima. Yaitu bahwa uang yang
dihasilkan dari jalur manapun, jika tetap utuh satu nishab dalam hitungan satu
tahun, maka wajib dizakati.
6. Hendaklah disadari
bahwa bukan berarti demi kemaslahatan umum maka seseorang bisa mewajibkan
apapun demi kepentingan tersebut. Syari’at telah menjelaskan pintu-pintu untuk
menutupi keperluan untuk kemaslahatan umum ini. Ada pintu infak, sedekah, wakaf
dan lain sebagainya. Bahkan dalam keadaan darurat penguasa muslim boleh
mengambil paksa sebagian harta para konglomerat dan orang-orang kaya untuk
menutupi kepentingan atau kemaslahatan umum tersebut. Karenanya tidak perlu
mewajibkan sesuatu yang tidak wajib demi kemaslahatan yang bahkan kadang belum
tentu kejelasannya dengan langkah seperti mewajibkan zakat penghasilan. Atau
karena dalih ingin meringankan beban masyarakat miskin maka dianggap saja pajak
yang mereka keluarkan untuk negara sebagai zakat sehingga tidak ada beban untuk
mengeluarkan harta lagi selain pajak. Padahal sudah jelas zakat memiliki
masharif yang khusus. Zakat adalah hal yang diwajibkan oleh Allah sedangkan
pajak (al Maks) adalah hal yang diharamkan oleh Allah, bagaimana mungkin hal
yang haram mengganti posisi hal yang wajib ?!!!.
7. Hendaklah diketahui
bahwa mewajibkan sesuatu dan mengharamkannya adalah tugas seorang mujtahid
seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad –semoga Allah
meridlai mereka- dan lainnya. Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bersabda
dalam sebuah hadits yang mutawatir:
“فرب حامل فقه إلى من هو أًفقه منه” رواه
الترمذي وابن حبّان
Maknanya: “Seringkali
terjadi orang menyampaikan hadits kepada orang yang lebih memahaminya darinya”
(H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Hadits ini menjelaskan
bahwa manusia terbagi ke dalam dua tingkatan :
Pertama: orang yang
tidak mampu beristinbath (menggali hukum dari teks-teks al Qur’an dan hadits)
dan berijtihad. Kedua: mereka yang mampu berijtihad. Karenanya kita melihat
ummat Islam, ada di antara mereka yang mujtahid (ahli ijtihad) seperti Imam
asy-Syafi’i dan yang lain mengikuti (taqlid) salah seorang imam mujtahid. Jadi
tidak setiap orang yang telah menulis sebuah kitab, kecil maupun besar dapat
mengambil tugas para Imam mujtahid dari kalangan ulama’ as-Salaf ash-Shalih
tersebut, sehingga berfatwa, menghalalkan ini dan mengharamkan itu tanpa
merujuk kepada perkataan para Imam mujtahid dari kalangan salaf dan khalaf yang
telah dipercaya oleh umat karena jasa-jasa baik mereka. Dengan demikian fatwa
yang menyatakan adanya zakat penghasilan sama sekali tidak berdasar dan
menyalahi fatwa para ulama, karenanya tidak boleh diikuti sebab fatwa ini bukan
fatwa seorang mujtahid. Kita hanya akan mengikuti para ulama yang mu’tabar.
Bahkan jika penganjur fatwa
ini berdalih mereka hanya melakukan qiyas, kita katakan bahwa melakukan qiyas
sekalipun, hal itu adalah tugas khusus seorang mujtahid, yaitu mengambil hukum
bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena
ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya. Para ulama ushul seperti imam
asy-Syafi’i berkata: “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”.
8. Pendapat seperti ini
biasanya muncul dari orang yang tidak mempelajari ilmu agama dengan baik dan
bukan dengan cara bertalaqqi kepada para ulama yang terpercaya. Karenanya
disarankan kepada mereka untuk terlebih dahulu belajar ilmu agama dengan baik
kepada para ulama sehingga tidak terjatuh pada perbuatan mewajibkan sesuatu,
mengharamkan atau menghalalkannya secara gegabah. Hal ni dikarenakan, para
ulama salaf maupun khalaf sepakat bahwa ilmu agama tidak bisa diperoleh hanya
dengan membaca (muthala’ah) kitab-kitab. Tetapi harus dengan belajar secara
langsung (talaqqi) kepada seorang guru atau ulama yang terpercaya
(tsiqah/kredibel) yang mata rantai keilmuannya bersambung sampai kepada sahabat
dan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, demikianlah tuntunan Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam dalam mendapatkan ilmu. Salah seorang ulama
ternama dari kalangan tabi’in, Muhammad ibn Sirin mengatakan:
“إنّ هذا العلم دين فانظروا عمّن تأخذون
دينكم” رواه مسلم في مقدمة صحيحه
“Ilmu ini
adalah (bagian) agama, maka teliti dan berhati-hatilah kepada siapa kalian
mengambil ajaran agama kalian”
Bahkan Rasulullah
sendiri juga bertalaqqi ilmu kepada malaikat Jibril. Hal ini ditegaskan di
dalam al Quran, Allah ta’ala berfirman:
علّمه شديد القوى ( (سورة النجم : 5
Maknanya : “Dia (Nabi
Muhammad) diajari oleh Malaikat yang sangat kuat (Malaikat Jibril)” (Q.S.
an-Najm : 5 )
Sedangkan para sahabat
mereka belajar ilmu agama dengan bertalaqqi secara langsung kepada Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam. Mereka yang berhalangan hadir dalam majelis
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam karena jauh tempatnya atau sibuk, selalu
menyempatkan diri bertanya kepada ulama dari kalangan sahabat seperti Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali dan lain-lain. Dikisahkan bahwa Umar bin Khattab
mempunyai seorang teman dari kaum Anshar. Bila beliau tidak bisa hadir dalam
majlis Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam sedangkan temannya itu hadir,
Umar selalu bertanya kepadanya mengenai hal-hal yang telah diajarkan dan
dilakukan oleh Rasulullah dan begitu pula sebaliknya jika temannya itu
berhalangan hadir.
9. Bahwa diantara
syarat-syarat harta yang wajib dizakati, selain zakat pertanian dan barang
tambang (rikaz), harus ada masa kepemilikan selama satu tahun, yang dikenal
dengan istilah haul. Sementara
Al-Qaradawi dan juga para pendukung zakat profesi berkeinginan agar gaji dan
pemasukan dari berbagai profesi itu wajib dibayarkan meski belum dimiliki
selama satu haul.
Di antara ulama yang
tidak setuju dengan adanya zakat profesi antara lain :
a. Dr. Wahbah Az-Zuhaili
Menurut beliau bahwa zakat itu
ibadah mahdhah, dimana pelaksanaannya membutuh dalil-dalil yang qath'i. Sehingga kita
tidak boleh mengarang sendiri masalah zakat ini. Zakat profesi
tidak pernah dikenal sebelumnya di dalam khazanah fiqih klasik, bahkan juga
tidak pernah ada di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, sampai belasan abad
kemudian.
b. Syeikh Bin
Baz,
Ulama yang
pernah menjadi mufti kerajaan Saudi Arabia ini ernah berfatwa : "Zakat
gaji yang berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu
satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila
gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia
belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati."
c. Syeikh
Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin
Pendapat serupa
juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, salah seorang
ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
“Tentang zakat
gaji bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang
setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang
tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya.
Karena di
antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul
yang harus dilewati oleh nishab harta (uang) itu. Jika seseorang
menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya
disimpan, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang
disimpannya setiap kali sempurna haulnya.” .
d. Hai'atu
Kibaril Ulama
Fatwa serupa
juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia,
berikut fatwanya: "Sebagaimana
yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah
emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan
perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut.
Mengingat hal
itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan
telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab
atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak
dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul
(berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka
tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan
itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu
satu tahun (haul)."
e. Dewan
Hisbah Persis
Dewan Hisbah
Persis tidak menerima keberadaan zakat profesi, karena zakat dalam
pandangan mereka termasuk ibadah mahdhah. Yang mereka berlakukan adalah zakat
jual-beli atau perdagangan.
f. Muktamar
Zakat di Kuwait
Dalam Muktamar
zakat pada tahun 1984 H di Kuwait, masalah zakat profesi telah dibahas pada
saat itu, lalu para peserta membuat kesimpulan: “Zakat gaji
dan profesi termasuk harta yang sangat potensial bagi kekuatan manusia untuk
hal-hal yang bermanfaat, seperti gaji pekerja dan pegawai, dokter, arsitek dan
sebagainya". "Profesi
jenis ini menurut mayoritas anggota muktamar tidak ada zakatnya ketika menerima
gaji, namun digabungkan dengan harta-harta lain miliknya sehingga mencapai
nishob dan haul lalu mengeluarkan zakat untuk semuanya ketika mencapai
nishab". "Adapun
gaji yang diterima di tengah-tengah haul (setelah nishob) maka dizakati di
akhir haul sekalipun belum sempurna satu tahun penuh. Dan gaji yang diterima
sebelum nishob maka dimulai penghitungan haulnya sejak mencapai nishob lalu wajib
mengeluarkan zakat ketika sudah mencapai haul. Adapun kadar zakatnya adalah
2,5% setiap tahun“.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas terlihat
bahwa masalah Zakat Profesi merupakan
masalah khilafiyah atau diperselisihkan oleh para ulama. Sekelompok ulama
berpendapat bahwa pendapatan gaji atau penghasilan dari hasil profesi seseorang
wajib dikeluarkan zakatnya. Sementara sekelompok ulama lainnya tidak mewajibkan
zakat profesi. والله اعلم
Rujukan :
1.
Zakat Profesi oleh : Oleh
: KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI**
2.
Zakat
Menurut Islam oleh : www.muslim.or.id
3. Fatwa Seputar
Zakat Profesi oleh : http://abiubaidah.com
4. Syarat-Syarat Zakat oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, MScAhmad Sarwat
5. Zakat Profesi: Antara Penentang
dan Pendukung (part 1)oleh Ahmad Sarwat
6. Menghiting Zakat Profesi oleh : H Abdurrahman Navis Lc Wakil
Katib Syuriyah PWNU Jawa Timur