Rabu, 05 Februari 2014

PENDAPAT ULAMA TENTANG ADZAN DUA KALI PADA SHALAT JUM’AT

      1.      Alasan yang membolehkan adzan dua kali dalam shalat Jum’at

Kitab ‘Ianatut Thalibin jilid 1 hal. 232


     Pada awalnya untuk menandai datangnya shalat Jum’at dikumandangkan adzan satu kali, yaitu ketika khatib sedang duduk di mimbar. Praktek demikian berlangsung sejak jaman Rasulullah hingga Khalifah Umar bin Al Khatthab. Kemudian saat menjabat khalifah, Utsman bin Affan menambahkan satu adzan yaitu sesaat sebelum khatib naik mimbar. Hal itu dia lakukan dengan pertimbangan bahwa jumlah jamaah Jum’at mulai banyak dan tidak sedikit yang tempat tinggalnya jauh dari tempat dilaksanakannya shalat Jum’at. Oleh karena itu dibutuhkan satu lagi adzan yang menandakan bahwa shalat Jum’at akan segera dilaksanakan. Dalam Shahih al Bukhari dijelaskan:
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ إِنَّ الْأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرُوا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ [1]
“     Dari Az Zuhri, dia berkata, “Aku mendengar As Sa’ib bin Yazid mengatakan, “Adzan pada hari Jum’at semula dilaksanakan keytika imam duduk di atas mimbar pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar. Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan jumlah jamaah semakin banyak, Utsman memerintahkan pelaksanaan adzan ketiga. Maka adzan ketiga itupun dilaksanakan di atas   pasar Zaura’ lalu berlangsung hingga seterusnya”
    Yang dimaksud dengan “adzan ketiga” adalah adzan sesaat menjelang khatib naik mimbar. Sedangkan adzan pertama adalah adzan setelah khatib duduk di mimbar dan adzan kedua adalah Iqamah.
   Benar memang bahwa adzan dua kali dalam shalat Jum’at tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW. Meskipun demikian Utsman bin Affan melakukan suatu ijtihad dan tidak menghadapi penentangan dari Sahabat lain. Inilah yang disebut dengan Ijma’ Sukuty, yaitu kesepakatan para ulama—dalam kasus ini adalah para Sahabat—terhadap suatu hal, dimana kesepakatan itu terjadi melalui tidak adanya pihak yang ingkar. Diamnya mereka menandakan sikap setuju terhadap hukum yang ditetapkan.[2]
     Karena itu sunnat bagi kita mengikuti ijtihad tersebut, yakni mengumandangkan adzan dua kali pada waktu shalat Jum’at, karena Rasulullah SAW menyatakan:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ[3]
“    Bepeganglah kalian pada sunnahku dan sunnah para pengganti yang andai dan mendapat hidayah”

     [1] Shahih al Bukhari,  nomor 865
     [2] Al Mawahib Al Laduniyah, juz 2, hal. 249
     [3] Musnad Ahmad bin Hambal, nomor 16519

     Sumber : Adzan Dua Kali Menjelang Shalat Jum’at (PC NU KAB. PATI JATENG)
   
     2.      Alasan yang tidak membolehkan adzan dua kali dalam shalat Jum’at
Imam Al Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari As Sa`ib bin Yazib, dia berkata:
كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ


“Dahulu pada masa Nabi صلى الله عليه وسلم , Abu Bakr, dan Umar radhiallahu ‘anhuma, azan pada hari Jum’at, awalnya dikumandangkan ketika imam telah duduk di atas mimbar. Lalu ketika masa Utsman radhiallahu ‘anhu dan penduduk (Madinah) telah ramai, dia menambahkan azan ketiga (yang dikumandangkan) di daerah Az Zaura`.” [HR Al Bukhari (912)]
Imam Al Bukhari berkata: “Az Zaura` adalah nama sebuah pasar di kota Madinah.”

Yang dimaksud dengan “azan ketiga” , dikatakan oleh Ibnu Rajab Al Hanbali: “Dua azan yang dilakukan pada masa Nabi صلى الله عليه وسلم adalah azan dan iqamah.” Artinya, iqamah itu dianggap sebagai azan juga, akan tetapi ia bukan azan yang sebenarnya, berdasarkan hadits Abdullah bin Mughaffal, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ

“Di antara dua azan ada shalat (sunat).” [HR Al Bukhari (624) dan Muslim (838)]

Yaitu antara azan dan iqamah. Jadi, yang dimaksud dengan azan ketiga pada masa Utsman adalah azan kedua dalam arti yang sebenarnya.
Di dalam riwayat An Nasa`i ada tambahan lafazh:
كَانَ بِلَالٌ يُؤَذِّنُ إِذَا جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَإِذَا نَزَلَ أَقَامَ، ثُمَّ كَانَ كَذَلِكَ فِي زَمَنِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا


“Dahulu Bilal mengumandangkan azan apabila Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah duduk di atas mimbar pada hari Jum’at. Apabila beliau telah turun dari mimbar, maka dia melakukan iqamah. Demikianlah keadaannya pada masa Abu Bakr dan Umar radhiallahu ‘anhuma.” [HR An Nasa`i (1393)]

Apabila kita perhatikan dua riwayat di atas, kita bisa dengan jelas menyimpulkan bahwa yang pertama sekali mengadakan dua azan pada hari Jum’at adalah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Hal ini sama sekali tidak pernah dikenal, apalagi dilakukan, oleh Nabi صلى الله عليه وسلم , Abu Bakr Ash Shiddiq, dan Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhuma.
Benar bahwasanya kita harus mengikuti Sunnah Khulafaur Rasyidin, dan ini pun merupakan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana disebutkan di dalam Syarh Aqidah Ath Thahawiyyah.

Namun yang perlu ditekankan terlebih dahulu adalah: manakah yang lebih wajib untuk didahulukan, sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم ataukah sunnah (baca: ijtihad) Khulafaur Rasyidin? Jawabannya tentu saja adalah yang pertama.
Perkara tidak disyariatkannya azan sebelum khatib duduk di atas mimbar, juga didukung oleh banyak ulama, di antaranya adalah Abdullah bin Umar, Al Hasan Al Bashri, Az Zuhri, ‘Atha` bin Abi Rabah, Sufyan Ats Tsauri, Imam Asy Syafi’i, Ath Thahawi, Mahmud As Subuki, Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Rusyd, Ibnu Qudamah, Ibnu Hazm, Al Qurthubi, Imam Malik, As Shan’ani, Al Albani, Muqbil Al Wadi’i, dan lain-lain.