Minggu, 23 Maret 2014

PENDAPAT ULAMA TENTANG ZAKAT PROFESI

Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi). Zakat profesi dikenal juga dengan istilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai) atau zakah kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurrah (zakat hasil pekerjaan dan profesi swasta). (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, I/497; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865; Ali as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 522; Al-Yazid Ar-Radhi, Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin, hal. 17).
Zakat profesi menurut para penggagasnya didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab. Misal profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya. (Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, hal. 103; Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 95).

Syarat Zakat
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat tersebut berkaitan dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan berkaitan dengan harta.
Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki: (1) islam, dan (2) merdeka.
Adapun anak kecil dan orang gila -jika memiliki harta dan memenuhi syarat-syaratnya- masih tetap dikenai zakat yang nanti akan dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dan dipilih oleh mayoritas ulama.
Syarat kedua, berkaitan dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta tersebut dimiliki secara sempurna, (2) harta tersebut adalah harta yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai nishob, (4) telah mencapai haul (harta tersebut bertahan selama setahun), (5) harta tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok

Pendapat Ulama tentang Hukum Zakat Profesi

1.      Pendapat yang mewajibkan zakat profesi
Pertama, menurut Al-Qaradhawi, landasan zakat profesi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk al-maal al-mustafaad (harta perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya. Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah).
Bahkan al-Qaradhawi melemahkan hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat, yaitu hadis Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Nabi SAW bersabda”Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya haul.” (HR Abu Dawud). Alasan Yusuf Qaradhawi menganggap lemah (dhaif) hadis tersebut, karena ada seorang periwayat hadis bernama Jarir bin Hazim yang dianggap periwayat yang lemah. (Yusuf Al-Qaradhawi, ibid., I/491-502; Wahbah az-Zuhaili, ibid., II/866).
Kedua, ulama lain menambahkan dalil lain dari yang telah dikemukakan Qaradhawi di atas, yaitu keumuman ayat ke-267 dari surat Al Baqarah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…” (QS Al Baqarah [2]:267)
Ada pula ulama yang menambah dalil lain lagi, yaitu surat Adz Dzariyat ayat ke-19 sebagai berikut :
وَفِى أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُوْمِ
“Dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menahan diri (daripada meminta).” (QS Adz Dzariyat [51]:19)
Diantara Ulama Yang Mendukung Zakat Profesi antara lain :
a. Dr. Yusuf Al-Qaradawi
Tidak bisa dipungkiri bahwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi adalah salah satu icon yang paling mempopulerkan zakat profesi. Beliau membahas masalah ini dalam buku beliau Fiqh Zakat yang merupakan disertasi beliau di Universitas Al-Azhar, dalam bab زكاة كسب العمل و المـهن الحرة (zakat hasil pekerjaan dan profesi) .Sesungguhnya beliau bukan orang yang pertama kali membahas masalah ini. Jauh sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh ulama seperti Abdurrahman Hasan, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, dan juga ulama besar lainnya seperti Abdulwahhab Khalaf.Namun karena kitab Fiqhuz-Zakah itulah maka sosok Al-Qaradawi lebih dikenal sebagai rujukan utama dalam masalah zakat profesi. Inti pemikiran beliau, bahwa penghasilan atau profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat diterima, jika sampai pada nishab setelah dikurangi hutang. Dan zakat profesi bisa dikeluarkan harian, mingguan, atau bulanan.
b. Dr. Abdul Wahhab Khalaf dan Syeikh Abu Zahrah
Dalam kitab Fiqhuzzakah, Al-Qaradawi tegas menyebutkan bahwa pendapatnya yang mendukung zakat profesi bukan pendapat yang pertama. Sebelumnya sudah ada tokoh ulama Mesir yang mendukung zakat profesi, yaitu Abdul Wahhab Khalaf dan Abu Zahrah.Abdul Wahab adalah seorang ulama besar di Mesir (1888-1906), dikenal sebagai ahli hadits, ahli ushul fiqih dan juga ahli fiqih. Salah satu karya utama beliau adalah kitab Ushul Fiqih, Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah, Al-Waqfu wa Al-Mawarits, As-Siyasah Asy-Syar'iyah, dan juga dalam masalah tafsir, Nur min Al-Islam. Tokoh ulama lain yang disebut oleh Al-Qaradawi adalah guru beliau sendiri, yaitu Syeikh Muhammad Abu Zahrah (1898- 1974). Beliau adalah sosok ulama yang terkenal dengan pemikirannya yang luas dan merdeka, serta banyak melakukan perjalanan ke luar negeri melihat realitas kehidupan manusia. Tulisan beliau tidak kurang dari 30 judul buku, salah satunya yang terbesar adalah Mukjizat al-Kubra al-Quran”. Buku ini merupakan mukadimah dalam beliau mengarang tafsir al-Quran. Namun tafsir ini tidak sempat disempurnakan kerana beliau meninggal dunia terlebih dahulu. Buku lainnya adalah Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, Al-'Uqubah fi Al-Fiqh Al-Islami, Al-Jarimah fi Al-Fiqh Al-Islami,
c. Majelis Tarjih Muhammadiyah
Musyawarah Nasional Tarjih XXV yang berlangsung pada tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat. Lembaga ini pada intinya berpendapat bahwa Zakat Profesi hukumnya wajib. Sedangkan nisabnya setara dengan 85 gram emas 24 karat. Ada pun kadarnya sebesar 2,5 %
d. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
MUI memandang bahwa setiap pendapatan wajib dikeluarkan zakatnya, seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal. Baik pendapatan itu bersifat rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara,konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Bila syarat terpenuhi yaitu telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram, maka zakat wajib dikeluarkan. Kadar zakat penghasilan menurut MUI adalah adalah 2,5%.
e. Dr. Didin Hafidhudin
Di Indonesia, salah satu icon zakat profesi yang cukup terkenal adalah Dr. Didin Hafidhuddin, sebagamana naskah disertasi doktor yang diajukannya. Guru Besar IPB dan Ketua Umum BAZNAS ini mencoba mendefinisikan profesi ialah setiap keahlian atau pekerjaan apapun yang halal, baik yang dilakukan sendiri maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti seorang pegawai atau karyawan. Didin memberikan mekanisme pengambilan hukum zakat profesi dengan menggali pada teks al-Quran, dan dengan menggunakan metode qiyas.
f. Dr. Quraisy Syihab
Quraish Shihab juga termasuk yang menudukung wajibnya zakat profesi. Hal itu bisa kita baca dari tulisannya antara lain : Menjawab pertanyaan 100 tentang keIslaman yang patut anda ketahui.

2. Pendapat yang menolak zakat profesi
1. Bahwa profesi-profesi pekerjaan yang dilakukan seseorang telah ada sejak jaman Nabi Muhammad, para sahabat dan Tabi’in, seperti penjahit, tukang sepatu dan sebagainya, namun tidak didapati penjelasan baik dari Nabi, sahabat dan Tabiin yang yang menyatakan mereka mewajibkan untuk mengeluarkan zakat profesi. Mereka hanya mewajibkan zakat maal pada harta yang telah disebutkan di dalam al Qur’an dan hadits atau harta selainnya jika memang diperdagangkan.

2. Firman Allah (surat al Baqarah: 267) tidak pernah dipahami oleh para ulama terdahulu seperti yang dipahami oleh penganjur pendapat ini. Para ulama terdahulu memahami dari ayat tersebut kewajiban zakat tijarah dan hasil tanaman makanan pokok, tanaman buah-buahan tertentu saja, selainnya tidak.

3. Pendapat tentang zakat profesi ini rancu dan terkesan asal-asalan dalam penentuan nishab, kadar zakat dan waktu pengeluarannya. Dalam sisi nishab mereka menyamakan nishab penghasilan dengan nishab emas dan perak. Demikian pula kadar zakatnya. Namun dalam waktu pengeluarannya mereka menyamakannya dengan zakat makanan pokok seperti padi atau semacamnya. Dalam penegasan awal mereka mensyaratkan haul, namun kemudian ketika menjelaskan waktu pengeluaran yang pertama yaitu ketika penghasilan yang sekali diterima telah mencapai nishab, haul tidak lagi mereka berlakukan. Jadi pendapat ini rancu dalam sisi persyaratan haul-nya. Ini adalah salah satu bukti bahwa pendapat ini rancu dari sisi istinbath dan dalilnya. Bahkan yang sangat menggelikan, para pengikut pendapat ini mewajibkan zakat penghasilan setiap bulan tanpa melihat nishabnya sama sekali, dengan mengambil 2,5 % dari penghasilan, berapapun jumlah penghasilan tersebut, dan ini berulang secara rutin setiap bulannya.

4. Bukankah sangat mungkin bahwa penghasilan-penghasilan tersebut akan habis untuk keperluan hidup sehari-hari atau untuk keperluan tidak terduga seperti karena sakit parah dan semacamnya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:
ليس على المسلم في عبده ولا فرسه صدقة ” رواه مسلم
Maknanya: “Tidak ada zakat atas orang muslim terhadap hamba sahaya dan kudanya” (H.R. Muslim)
Imam an-Nawawi mengomentari hadits ini:
هذا الحديث أصل في أن أموال القنية لا زكاة فيها
Hadits ini adalah dalil bahwa harta qinyah (harta yang digunakan untuk keperluan pemakaian, bukan untuk dikembangkan) tidak dikenakan zakat“. (lihat: Syarh Shahih Muslim, Jilid III, Juz VII, h. 61)

5. Biasanya para pengikut pendapat ini mengatakan: “Jika zakat penghasilan ditiadakan, enak sekali para professional tersebut. Sementara petani yang tidak seberapa penghasilan sawahnya dikenakan kewajiban zakat sedangkan mereka yang berdasi dan berjuta-juta penghasilannya tidak dikenai kewajiban zakat ?!!”.
Jawabannya adalah:
Pertama: Ini adalah logika yang salah. Dikatakan kepada mereka: Sebagaimana dalam zakat maal, hanya ternak khusus, emas dan perak, tanaman makanan pokok, tanaman buah-buahan kurma dan anggur kering saja yang wajib dizakati, padahal ada ternak yang lain yang lebih menghasilkan, ada logam mulia dan batu permata lain yang lebih mahal, ada tanaman makanan yang lebih besar penghasilannya, ada tanaman buah-buahan selain kurma dan zabib yang lebih memiliki harga jual, namun zakat hanya diwajibkan pada jenis-jenis harta tertentu yang sudah disebutkan, demikian juga halnya, hanya penghasilan dari tijarah yang ada zakatnya. Jadi ukurannya bukan besar penghasilannya, tetapi ada sisi ta’abbudi-nya.
Kedua: Dikatakan kepada pengikut pendapat ini: Jika ukurannya adalah besarnya pendapatan, apakah mereka juga akan mewajibkan zakat pada hadiah yang diperoleh oleh seseorang atau harta warisan yang diwarisi oleh seseorang karena jumlah atau nominalnya lebih besar dari penghasilan petani atau bahkan dokter atau pejabat sekalipun ?!!. Padahal para ulama telah menegaskan bahwa dalam zakat tijarah selain ada niat tijarah, modal atau harta pokok yang dimiliki haruslah yang berasal dari mu’awadlah mahdlah atau ghairu mahdlah, dan karenanya harta warisan atau hibah jika dijadikan modal tijarah tidak wajib dizakati karena modalnya diperoleh bukan dengan jalur mu’awadlah (lihat Bughyah ath-Thalib, h. 367-368). Ini berkait dengan tijarah yang sudah jelas wajib dizakati.
Ketiga: Jika Zakat yang mereka sebut sebagai zakat penghasilan ini, sebatas seperti madzhab Imam Abu Hanifah maka hal itu adalah hal yang bisa diterima. Yaitu bahwa uang yang dihasilkan dari jalur manapun, jika tetap utuh satu nishab dalam hitungan satu tahun, maka wajib dizakati.

6. Hendaklah disadari bahwa bukan berarti demi kemaslahatan umum maka seseorang bisa mewajibkan apapun demi kepentingan tersebut. Syari’at telah menjelaskan pintu-pintu untuk menutupi keperluan untuk kemaslahatan umum ini. Ada pintu infak, sedekah, wakaf dan lain sebagainya. Bahkan dalam keadaan darurat penguasa muslim boleh mengambil paksa sebagian harta para konglomerat dan orang-orang kaya untuk menutupi kepentingan atau kemaslahatan umum tersebut. Karenanya tidak perlu mewajibkan sesuatu yang tidak wajib demi kemaslahatan yang bahkan kadang belum tentu kejelasannya dengan langkah seperti mewajibkan zakat penghasilan. Atau karena dalih ingin meringankan beban masyarakat miskin maka dianggap saja pajak yang mereka keluarkan untuk negara sebagai zakat sehingga tidak ada beban untuk mengeluarkan harta lagi selain pajak. Padahal sudah jelas zakat memiliki masharif yang khusus. Zakat adalah hal yang diwajibkan oleh Allah sedangkan pajak (al Maks) adalah hal yang diharamkan oleh Allah, bagaimana mungkin hal yang haram mengganti posisi hal yang wajib ?!!!.

7. Hendaklah diketahui bahwa mewajibkan sesuatu dan mengharamkannya adalah tugas seorang mujtahid seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad –semoga Allah meridlai mereka- dan lainnya. Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bersabda dalam sebuah hadits yang mutawatir:
فرب حامل فقه إلى من هو أًفقه منه” رواه الترمذي وابن حبّان
Maknanya: “Seringkali terjadi orang menyampaikan hadits kepada orang yang lebih memahaminya darinya” (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Hadits ini menjelaskan bahwa manusia terbagi ke dalam dua tingkatan :
Pertama: orang yang tidak mampu beristinbath (menggali hukum dari teks-teks al Qur’an dan hadits) dan berijtihad. Kedua: mereka yang mampu berijtihad. Karenanya kita melihat ummat Islam, ada di antara mereka yang mujtahid (ahli ijtihad) seperti Imam asy-Syafi’i dan yang lain mengikuti (taqlid) salah seorang imam mujtahid. Jadi tidak setiap orang yang telah menulis sebuah kitab, kecil maupun besar dapat mengambil tugas para Imam mujtahid dari kalangan ulama’ as-Salaf ash-Shalih tersebut, sehingga berfatwa, menghalalkan ini dan mengharamkan itu tanpa merujuk kepada perkataan para Imam mujtahid dari kalangan salaf dan khalaf yang telah dipercaya oleh umat karena jasa-jasa baik mereka. Dengan demikian fatwa yang menyatakan adanya zakat penghasilan sama sekali tidak berdasar dan menyalahi fatwa para ulama, karenanya tidak boleh diikuti sebab fatwa ini bukan fatwa seorang mujtahid. Kita hanya akan mengikuti para ulama yang mu’tabar.
Bahkan jika penganjur fatwa ini berdalih mereka hanya melakukan qiyas, kita katakan bahwa melakukan qiyas sekalipun, hal itu adalah tugas khusus seorang mujtahid, yaitu mengambil hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya. Para ulama ushul seperti imam asy-Syafi’i berkata: “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”.

8. Pendapat seperti ini biasanya muncul dari orang yang tidak mempelajari ilmu agama dengan baik dan bukan dengan cara bertalaqqi kepada para ulama yang terpercaya. Karenanya disarankan kepada mereka untuk terlebih dahulu belajar ilmu agama dengan baik kepada para ulama sehingga tidak terjatuh pada perbuatan mewajibkan sesuatu, mengharamkan atau menghalalkannya secara gegabah. Hal ni dikarenakan, para ulama salaf maupun khalaf sepakat bahwa ilmu agama tidak bisa diperoleh hanya dengan membaca (muthala’ah) kitab-kitab. Tetapi harus dengan belajar secara langsung (talaqqi) kepada seorang guru atau ulama yang terpercaya (tsiqah/kredibel) yang mata rantai keilmuannya bersambung sampai kepada sahabat dan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, demikianlah tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam dalam mendapatkan ilmu. Salah seorang ulama ternama dari kalangan tabi’in, Muhammad ibn Sirin mengatakan:
إنّ هذا العلم دين فانظروا عمّن تأخذون دينكم” رواه مسلم في مقدمة صحيحه
Ilmu ini adalah (bagian) agama, maka teliti dan berhati-hatilah kepada siapa kalian mengambil ajaran agama kalian”
Bahkan Rasulullah sendiri juga bertalaqqi ilmu kepada malaikat Jibril. Hal ini ditegaskan di dalam al Quran, Allah ta’ala berfirman:
علّمه شديد القوى ( (سورة النجم : 5
Maknanya : “Dia (Nabi Muhammad) diajari oleh Malaikat yang sangat kuat (Malaikat Jibril)” (Q.S. an-Najm : 5 )
Sedangkan para sahabat mereka belajar ilmu agama dengan bertalaqqi secara langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Mereka yang berhalangan hadir dalam majelis Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam karena jauh tempatnya atau sibuk, selalu menyempatkan diri bertanya kepada ulama dari kalangan sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan lain-lain. Dikisahkan bahwa Umar bin Khattab mempunyai seorang teman dari kaum Anshar. Bila beliau tidak bisa hadir dalam majlis Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam sedangkan temannya itu hadir, Umar selalu bertanya kepadanya mengenai hal-hal yang telah diajarkan dan dilakukan oleh Rasulullah dan begitu pula sebaliknya jika temannya itu berhalangan hadir.
9. Bahwa diantara syarat-syarat harta yang wajib dizakati, selain zakat pertanian dan barang tambang (rikaz), harus ada masa kepemilikan selama satu tahun, yang dikenal dengan istilah haul. Sementara Al-Qaradawi dan juga para pendukung zakat profesi berkeinginan agar gaji dan pemasukan dari berbagai profesi itu wajib dibayarkan meski belum dimiliki selama satu haul.
Di antara ulama  yang tidak setuju dengan adanya zakat profesi antara lain :
a. Dr. Wahbah Az-Zuhaili
Menurut beliau bahwa zakat itu ibadah mahdhah, dimana pelaksanaannya membutuh dalil-dalil yang qath'i. Sehingga kita tidak boleh mengarang sendiri masalah zakat ini. Zakat profesi tidak pernah dikenal sebelumnya di dalam khazanah fiqih klasik, bahkan juga tidak pernah ada di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, sampai belasan abad kemudian.
b. Syeikh Bin Baz,
Ulama yang pernah menjadi mufti kerajaan Saudi Arabia ini ernah berfatwa : "Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati."
c. Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin
Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, salah seorang ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
“Tentang zakat gaji bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya.
Karena di antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nishab harta (uang) itu. Jika seseorang menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya disimpan, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap kali sempurna haulnya.” .
d. Hai'atu Kibaril Ulama
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, berikut fatwanya: "Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut.
Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun (haul)."

e. Dewan Hisbah Persis
Dewan Hisbah Persis tidak menerima keberadaan zakat profesi, karena zakat dalam pandangan mereka termasuk ibadah mahdhah. Yang mereka berlakukan adalah zakat jual-beli atau perdagangan.
f. Muktamar Zakat di Kuwait
Dalam Muktamar zakat pada tahun 1984 H di Kuwait, masalah zakat profesi telah dibahas pada saat itu, lalu para peserta membuat kesimpulan: “Zakat gaji dan profesi termasuk harta yang sangat potensial bagi kekuatan manusia untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti gaji pekerja dan pegawai, dokter, arsitek dan sebagainya". "Profesi jenis ini menurut mayoritas anggota muktamar tidak ada zakatnya ketika menerima gaji, namun digabungkan dengan harta-harta lain miliknya sehingga mencapai nishob dan haul lalu mengeluarkan zakat untuk semuanya ketika mencapai nishab". "Adapun gaji yang diterima di tengah-tengah haul (setelah nishob) maka dizakati di akhir haul sekalipun belum sempurna satu tahun penuh. Dan gaji yang diterima sebelum nishob maka dimulai penghitungan haulnya sejak mencapai nishob lalu wajib mengeluarkan zakat ketika sudah mencapai haul. Adapun kadar zakatnya adalah 2,5% setiap tahun“.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas terlihat bahwa masalah Zakat Profesi  merupakan masalah khilafiyah atau diperselisihkan oleh para ulama. Sekelompok ulama berpendapat bahwa pendapatan gaji atau penghasilan dari hasil profesi seseorang wajib dikeluarkan zakatnya. Sementara sekelompok ulama lainnya tidak mewajibkan zakat profesi. والله اعلم
Rujukan :
1.      Zakat Profesi oleh : Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI**
2.      Zakat Menurut Islam  oleh : www.muslim.or.id
3.      Fatwa Seputar Zakat Profesi oleh : http://abiubaidah.com
4.      Syarat-Syarat Zakat oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, MScAhmad Sarwat
5.      Zakat Profesi: Antara Penentang dan Pendukung (part 1)oleh Ahmad Sarwat
6.      Menghiting Zakat Profesi oleh : H Abdurrahman Navis Lc Wakil Katib Syuriyah PWNU Jawa Timur