Selasa, 18 Maret 2014

PENDAPAT ULAMA TENTANG HUKUM ASURANSI

Pengertian Asuransi
Asuransi berasal dari kata assurantie dalam bahasa Belanda, atau assurance dalam bahasa perancis, atau assurance/insurance dalam bahasa Inggris. Assurance berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi, sedang Insurance berarti menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi.
Menurut sebagian ahli asuransi berasal dari bahasa Yunani, yaitu assecurare yang berarti menyakinkan orang.
Di dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan istilah : at Takaful, atau at Tadhamun yang berarti : saling menanggung. Asuransi ini disebut juga dengan istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang berarti aman, tentram, dan tenang. Lawannya adalah al-khouf, yang berarti takut dan khawatir. ( al Fayumi, al Misbah al Munir, hlm : 21 )  Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini (khususnya para peserta ) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya yang akan menimpanya dengan adanya transaksi ini.
Adapun asuransi menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992:
” Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan ”
Macam-macam Asuransi
Para ahli berbeda pendapat di dalam menyebutkan jenis-jenis asuransi, karena masing-masing melihat dari aspek tertentu. Oleh karenanya, dalam tulisan ini akan disebutkan jenis-jenis asuransi ditinjau dari berbagai aspek, baik dari aspek peserta, pertanggungan, maupun dari aspek sistem yang digunakan :
I. Asuransi ditinjau dari aspek peserta, maka dibagi menjadi :
1.    Asuransi Pribadi ( Ta’min Fardi ) : yaitu asuransi yang dilakukan oleh seseorang untuk menjamin dari bahaya tertentu. Asuransi ini mencakup hampir seluruh bentuk asuransi, selain asuransi sosial
2.    Asuransi Sosial ( Ta’min  Ijtima’i ) , yaitu asuransi ( jaminan )  yang diberikan kepada komunitas tertentu, seperti pegawai negri sipil ( PNS ), anggota ABRI, orang-orang yang sudah pensiun, orang-orang yang tidak mampu dan lain-lainnya. Asuransi ini biasanya diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat mengikat, seperti Asuransi Kesehatan ( Askes ), Asuransi Pensiunan dan Hari Tua ( PT Taspen ), Astek ( Asuransi Sosial Tenaga Kerja ) yang kemudian berubah menjadi Jamsostek ( Jaminan Sosial Tenaga Kerja), Asabri ( Asuransi Sosial khusus  ABRI ), asuransi kendaraan, asuransi pendidikan  dan lain-lain. 
Catatan : Asuransi Pendidikan adalah suatu jenis asuransi yang memberikan  kepastian / jaminan dana yang akan digunakan untuk biaya pendidikan kelak. Asuransi Pendidikan ini mempunyai dua unsur yaitu Investasi dan Proteksi. Investasi bertujuan untuk menciptakan sejumlah dana / nilai tunai agar mampu mengalahkan laju inflasi, sehingga dana atau nilai tunai yang tercipta bisa dipakai untuk keperluan dana pendidikan.
Proteksi mempunyai tujuan memberikan proteksi kesehatan pada diri Anak atau peserta utama atau tertanggung utama, sehingga apabila terjadi resiko (sakit) maka asuransi ini yang akan memberikan santunan, tanpa mengurangi dana yang telah diinvestasikan dalam asuransi pendidikan ini. Dengan adanya proteksi yang diberikan ini maka dana yang sudah diinvestasikan tidak akan terganggu karena terjadi suatu resiko. Selain Proteksi terhadap kesehatan anak, asuransi ini juga memberikan fasilitas berinvestasi, ketika orang tua (penabung) mengalami resiko, yang selanjutnya pihak perusahaan akan mengambil alih untuk menabungkan ke rekening anak di rekening asuransi pendidikan ini sampai anak dewasa. Jadi dengan adanya proteksi ini maka kepastian dana untuk pendidikan senantiasa tersedia saat dibutuhkan.
II. Asuransi ditinjau dari bentuknya.
Asuransi ditinjau dari bentuknya dibagi menjadi dua :
1.    Asuransi Takaful atau Ta’awun. ( at Ta’min at Ta’awuni )
2.    Asuransi Niaga ( at Ta’min at Tijari ) ini mencakup : asuransi kerugian dan asuransi jiwa.

III. Asuransi ditinjau dari aspek pertanggungan atau obyek yang dipertanggungkan
Jenis-jenis asuran ditinjau dari aspek pertanggungan adalah sebagai berikut :

Pertama : Asuransi Umum atau Asuransi Kerugian ( Ta’min al Adhrar )
Asuransi Kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa:
Kehilangan nilai pakai atau kekurangan nilainya atau kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.
Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.
Kedua : Asuransi Jiwa. ( Ta’min al Askhas )
Asuransi jiwa adalah sebuah janji dari perusahaan asuransi kepada nasabahnya bahwa apabila si nasabah mengalami risiko kematian dalam hidupnya, maka perusahaan asuransi akan memberikan santunan dengan jumlah tertentu kepada ahli waris dari nasabah tersebut.
Asuransi jiwa biasanya mempunyai tiga bentuk  [3] :
1.       Term assurance (Asuransi Berjangka)
Term assurance adalah bentuk dasar dari asuransi jiwa, yaitu polis yang menyediakan jaminan terhadap risiko meninggal dunia dalam periode
waktu tertentu.
Contoh Asuransi Berjangka (Term Insurance)  :
  • Usia Tertanggung 30 tahun
  • Masa Kontrak 1 tahun
  • Rate Premi (misal) : 5 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
  • Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
  • Premi Tahunan yang harus dibayar : 5/1000 x 100.000.000 = Rp. 500.000
  • Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.
2.       Whole Life Assurance (Asuransi Jiwa Seumur Hidup) 
Merupakan tipe lain dari asuransi jiwa yang akan membayar sejumlah uang pertanggungan ketika tertanggung meninggal dunia kapan pun. Merupakan polis permanen yang tidak dibatasi tanggal berakhirnya polis seperti pada term assurance. Karena klaim pasti akan terjadi maka premium akan lebih mahal dibanding premi term assurance dimana klaim hanya mungkin terjadi. Polis whole life merupakan polis substantif dan sering digunakan sebagai proteksi dalam pinjaman.
3.       Endowment Assurance (Asuransi Dwiguna) 
Pada tipe ini, jumlah uang pertanggungan akan dibayarkan pada tanggal akhir kontrak yang telah ditetapkan.
Contoh Asuransi Dwiguna Berjangka (Kombinasi Term & Endowment)
  • Usia Tertanggung 30 tahun
  • Masa Kontrak 10 tahun
  • Rate Premi (misal) : 85 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
  • Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
  • Premi yang harus dibayar : 85/1000 x 100.000.000 = Rp. 8.500.000,-
  • Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak  pertama (50%)
1.      Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.
2.      Bila tertanggung hidup sampai akhir kontrak, maka tertanggung akan menerima uang pertanggungan sebesar 100 juta
IV. Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan.
Asuransi ditinjau dari sistem yang digunakan, maka menjadi :
1.    Asuransi Konvensional
2.    Asuransi Syariah
                Asuransi syariah ( ta’min, takaful, atau tadhamun ) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang /pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / tabarru’ yang memberikan pola pengembalian  untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad ( perikatan )  yang sesuai dengan syariah.
Pendapat Para Ulama Tentang Asuransi  Konvensial
1.      Kelompok yang mengharamkan
        Ulama pertama yang berbicara tentang asuransi adalah Muhammad Amin Ibnu ‘Umar yang terkenal dengan sebutan Ibnu ‘Abidin, seorang ulama Hanafiyah. Dalam kitabnya yang terkenal Hasyiyah Ibnu ‘Abidin ia mengangkat kasus asuransi keselamatan barang yang diangkut dengan kapal laut, dimana para pedagang menyewa kapal dari seorang kafir Harbi. Mereka disamping membayar upah angkutannya juga membayar sejumlah uang untuk seorang harbi yang berada di negeri asal penyewa kapal yang di sebut “sukarah” atau premi asuransi, dengan ketentuan apabila baqrang-barang yang di angkut itu musnah karena kebakaran, atyau bajak laut, atau kapalnya tenggelam maka penerima uang premi menjadi penanggung, sebagai imbalan dari uang yang diambil dari para pedagang itu. Menurut Ibnu Abidin dalam kasus semacam itu para pedagang tidak dibolehkan mengambil uang pengganti atas barang-barangnya yang musnah. Karena tindakan tersebut termasuk التزام مالم يلزم  artinya “ mewajibkan sesuatu yang tidak lazim/wajib”.
       Pendapat yang sama dikemukakan oleh beberapa ulama yang lain, seperti syaikh Muhammad Bakhit, mufti Mesir, Syaikh Muhammad Al-Ghazali, ulama tokoh haraki dari Mesir, Syaikh Muhammad Yusuf Al-Qhardhawi, Guru besar Universitas Qatar, Syaikh Abu Zahrah, Guru  Besar Universitas Kairo Mesir, Muhammad Muslehuddin, Guru Besar Hukum Islam pada Universitas London, Wahbah Zuhaili, Guru Besar Universitas Damaskus, dan KH Ali Yafie dari Indonesia.
        Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pada hakikatnya akad asuransi termasuk dalam aqad gharar yaitu suatu akad yang tidak jelas ada tidaknya sesuatu yang diakadkan. Muhammad Muslehuddin mengatakan bahwa perjanjian asuransi moderen ditentang oleh ulama dan cendikiawan Islam dengan alasan-alasan sebagai berikut :
a.       Asuransi adalah perjanjian pertaruhan
b.      Asuransi merupakan perjudian
c.       Asuransi melibatkan urusan yang tidak pasti
d.      Asuransi jiwa merupakan suatu usaha yang dirancang untuk meremehkan Iradat Allah
e.       Dalam asuransi jiwa, jumlah premi tidak tetap karena tertanggung tidak akan mengetahui berapa kali bayaran angsuran yang dapat dilakukan olehnya sampai ia mati.
f.        Perusahaan asuransi menginvestasikan uang yang telah dibayar oleh tertanggung dalam bentuk jaminan berbunga. Dalam asuransi jiwa, apabila tertanggung mati, ia akan mendapat bayaran lebih dari jumlah uang yang telah dibayarnya. Ini adalah riba
g.      Bahwa semua perniagaan asuransi berdasarkan riba dilarang dalam Islam.

      Disamping pendapat para ulama tersebut, terdapat pula pandangan-pandangan yang dituangkan dalam pendapat lembaga internasional dan nasional, mu’tamar atau fatwa oleh majelis, majma dan ormas islam antara lain :
a.       Mu’tamar Ekonomi Islam, yang bersidang pada pertama kali tahun 1976 di Mekah, dihadiri oleh sekitar 200 ulama, profesor syariah dan pakar-pakar ekonomi dari berbagai negara muslim. Dalam keputusannya tentang asuransi, mu’tamar berkesimpulan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram karena mengandung riba dan gharar.
b.      Majma’ Al-Fiqh Al-Islami yang bersidang pada tahun 1979 di Mekah memutuskan mayoritas ulama berpendapat asuransi jenis perniagaan hukumnya haram. Baik asuransi jiwa maupun yanag lainnya.
c.       Majma’ Al-Fiqh Al-Islami dalam sidang yang kedua pada tanggal 28 Desember tahun 1985 di Jeddah memutuskan bahwa asuransi jenis perniagaan hukumnya tetap haram. Majma’ menyerukan agar seluruh umat Islam dunia menggunakan asuransi ta’awun.
d.      Fatwa Majlis Ulama Indonesia  yang ditandatangani oleh Ketua Umum KH Sahal Mahfudh dan Sekretaris Umum HM Din Syamsudin, pada prinsipnya menolak asuransi konvensional, tetapi menyadari reaalita dalam masyarakat bahwa asuransi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu DSN MUI dalam fatwanya memutuskan tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, antara lain tidak boleh mengandung gharar(penipuan), maisir (perjudian), riba (bunga), zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.

2.      Kelompok yang membolehkan
    Syaikh Abdurahman Isa, Guru Besar Universitas Al-Azhar, menyatakan bahwa asuransi merupakan bentuk muamalah gaya baru yang belum dijumpai pada masa imam-imam mazhab dan para sahabat Nabi. Muamalah ini menghasilkan kemaslahatan ekonomi yang banyak. Para ulama menetapkan bahwa kepentingan umum yang selaras dengan hukum syara’ patut diamalkan. Oleh karena asuransi menyangkut kepentingan umum, maka hukumnya mubah menurut syara’ bahkan dianjurkan. Disamping itu menurut Syaikh Abdurahman Isa, dalam perjanjian asuransi, kedua belah pihak yaitu penanggung dan tertanggung saling mengikat dalam perbuatan ini atas dasar saling meridhai. Kegiatan asuransi merupakan perbuatan yang melayani kepentingan umum, memelihara harta milik orang-orang, dan menolak risiko harta benda yang terancam bahaya. Sebaliknya pihak asuransi memperoleh laba yang memadai, yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dengan demikian asuransi hukumnya mubah menurut syara’.

      Pendapat yang sama dikemukakan oleh ulama-ulama lain, seperti Muhammad Yusuf Musa, Syaikh Abdul Wahhab Khallaf, keduanya Guru Besar Universitas Kairo, Syaikh Muhammad Al- Bahi, wakil rektor Universitas Al-Azhar Mesir, Syaikh Muhammad Al-Madani, Syaikh Muhammad Az-Zarqa dan Ustadz Bahjah Al-Hilmi. Syaikh Muhammad Al- Bahi mengatakan bahwa asuransi di bolehkan karena beberapa sebab berikut :
a.       Asuransi merupakan suatu usaha yang bersifat tolong menolong
b.      Asuransi mirip dengan akad mudharabah dan bertujuan menmgembangkan harta benda
c.       Asuransi tidak mengandung unsur riba.
d.      Asuransi tidak mengurangi tawakal kepada Allah
e.       Asuransi adalah suatu usaha untuk menjamin anggotanya yang jatuh melarat karena suatu musibah.
f.       Asuransi memperluas lapangan kerja baru

Musthafa Ahmad Az-Zarqa berpendapat, jika ada diantara anggota sebuah asuransi sebelum preminya selesai diangsur, maka kepadanya dibayarkan .penuh oleh perusahaan asuransi sebesar uang yang telah diperjanjikan. Asuransi semacam ini tidak mengandung tipuan bagi kedua belah pihak, karena itu hukumnya syara’ membolehkannya.

Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas terlihat bahwa masalah asuransi masih merupakan masalah khilafiyah atau diperselisihkan oleh para ulama. Namun perbedaan tersebut terjadi ketika di negara-negara muslim belum dibentuk asuransi yang berdasarkan syariah. Apabila di negara-negara muslim sudah terbentuk asuransi syariah, maka semua umat Islam yang akan melakukan transaksi asuransi wajib bermuamalah dengan memasuki asuransi syariah dan tidak ada alasan lagi untuk menghindarinya. والله اعلم

_________________
Sumber : 1.  Hukum asuransi dalam Islam oleh DR. Ahmad Zain An-Najah

          2.  Fiqh Muamalat oleh Drs. H. Ahmad Wardi Muslich