PENDAPAT ULAMA
TENTANG MEMBACA DO’A QUNUT DALAM SHALAT SUBUH
Ada tiga pendapat dikalangan para ulama,
tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.
Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan
secara terus-menerus, ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Syafi’iy dan ulama
lainnya.
Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena
qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan
Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan
kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan pada
sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya
bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.
- Alasan Para ulama yang
berpendapat disunahkannya membaca do’a qunut dalam shalat subuh.
a.
Dijelaskan di dalam kitab Fathul Muin sebagai
berikut :
b. Di jelaskan dalam kitab ‘Ianatut Thalibin sebagai berikut :
باب الدليل على انه لم يترك اصل القنوت في صلاة الصبح
كنت جالسا عند انس فقيل له انما قنت رسول الله صل الله عليه
وسلم شهرا فقال مازال رسول الله صل الله عليه وسلم يقنت فى صلاة الغداة حتى فارق
الدنيا
Artinya
: Bab tentang dalil bahwasanya Rasulullah saw tidak meninggalkan Qunut dalam
shalat Subuh.
“Aku
duduk dekat Anas, maka dikatakan kepadanya bahwa Rasulullah saw hanya Qunut
satu bulan, maka Anas berkata, terus-menerus Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
alihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggal dunia”.
3.Di dalam kitab Al Mausu’ah dijelaskan sebagai berikut :
3.Di dalam kitab Al Mausu’ah dijelaskan sebagai berikut :
ذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى
مَشْرُوعِيَّةِ الْقُنُوتِ فِي الصُّبْحِ . قَال الْمَالِكِيَّةُ : وَنُدِبَ
قُنُوتٌ سِرًّا بِصُبْحٍ فَقَطْ دُونَ سَائِرِ الصَّلَوَاتِ قَبْل الرُّكُوعِ ،
عَقِبَ الْقِرَاءَةِ بِلاَ تَكْبِيرٍ قَبْلَهُ .
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ : يُسَنُّ الْقُنُوتُ فِي اعْتِدَال
ثَانِيَةِ الصُّبْحِ ، يَعْنِي بَعْدَ مَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فِي
الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ ، وَلَمْ يُقَيِّدُوهُ بِالنَّازِلَةِ
.
وَقَال الْحَنَفِيَّةُ ، وَالْحَنَابِلَةُ : لاَ قُنُوتَ
فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ إِلاَّ فِي النَّوَازِل وَذَلِكَ لِمَا رَوَاهُ ابْنُ
مَسْعُودٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – : أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ
أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ ، وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ : – أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ
يَقْنُتُ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ إِلاَّ أَنْ يَدْعُو لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
وَمَعْنَاهُ أَنَّ مَشْرُوعِيَّةَ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ مَنْسُوخَةٌ فِي
غَيْرِ النَّازِلَةِ
“Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) dan Asy Syafi’iyah
(pengikut Imam Asy Syafi’i) berpendapat bahwa doa qunut pada shalat subuh
adalah disyariatkan. Berkata Malikiyah: Disunnahkan berqunut secara sirr (pelan)
pada shalat subuh saja, bukan pada shalat lainnya. Dilakukan sebelum ruku
setelah membaca surat tanpa takbir dulu.
Kalangan Asy Syafi’iyah mengatakan: qunut disunnahkan ketika
i’tidal kedua shalat subuh, yakni setelah mengangkat kepala pada rakaat kedua,
mereka tidak hanya mengkhususkan qunut nazilah saja.
Kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) dan Hanabilah
(pengikut Imam Ahmad bin Hambal) mengatakan: Tidak ada qunut dalam shalat subuh
kecuali qunut nazilah. Hal ini karena telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di
antara qabilah Arab, tsumma tarakahu (kemudian beliau
meninggalkan doa tersebut).” (HR. Muslim dan An Nasa’i). Dari Abu
Hurairah Radhiallahu ‘Anhu: “Bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada shalat subuh, kecuali karena
mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum.” (HR. Ibnu Hibban). Artinya,
syariat berdoa qunut pada shalat subuh telah mansukh (dihapus),
selain qunut nazilah.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
27/321-322. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)
Sedikit saya tambahkan, bahwa hadits Ibnu Mas’ud yang
dijadikan hujjah oleh golongan Hanafiyah dan Hanabilah, bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di
antara qabilah Arab, lalu beliau meninggalkan doa tersebut. Merupakan hadits
shahih, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya,Kitab Al
Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalah Bab Istihbab Al Qunut fi Jami’ish Shalah Idza
Nazalat bil Muslimina Nazilah, No. 677.
Ada pun hadits Abu Hurairah, yang menyebutkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada
shalat subuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum.
Disebutkan oleh Imam Az Zaila’i, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu
Hibban, dan penulis At Tanqih mengatakan, hadits ini shahih.
(Al Hazifh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah fi Takhrij Ahadits Al Hidayah,
3/180. Mawqi’ Al Islam)
Sedangkan dalil yang menyunnahkan qunut subuh, yang
digunakan oleh kalangan Asy Syafi’iyah dan Malikiyah adalah riwayat dari Anas
bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa
melakukan qunut subuh sampai faraqat dunia (meninggalkan dunia/wafat).
(HR. Ahmad No. 12196. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 2/201.
Abdurrazzaq, Al Mushannaf, No. 4964. Ath Thabarani, Tahdzibul
Atsar, No. 2682, 2747, katanya: shahih. Ad Daruquthni No. 1711.
Al Haitsami mengatakan: rijal hadits ini mautsuq (bisa dipercaya). Majma’
Az Zawaid, 2/139)
Sementara Al Hafizh Az Zaila’i menyebutkan riwayat dari
Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya, lafazhnya dari Rabi’ bin Anas:
Ada seorang laki-laki datang kepada Anas bin Malik dan bertanya: “Apakah
Rasulullah berqunut selama satu bulan saja untuk mendoakan qabilah?” Anas pun
memberikan peringatan padanya, dan berkata:“Rasulullah senantiasa
berqunut subuh sampai beliau meninggalkan dunia.” Ishaq berkata:
hadits yang berbunyi: tsumma tarakahu (kemudian beliau
meninggalkannya) maknanya adalah beliau meninggalkan penyebutan nama-nama
qabilah dalam qunutnya.” (Nashbur Rayyah, 3/183) Jadi, bukan
meninggalkan qunutnya, tetapi meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah yang
beliau doakan dalam qunut nazilah.
Imam Asy Syaukani, menyebutkan dari Al Hazimi tentang siapa
saja yang berpendapat bahwa qunut subuh adalah masyru’ (disyariatkan),
yakni kebanyakan manusia dari kalangan sahabat, tabi’in, orang-orang setelah
mereka dari kalangan ulama besar, sejumlah sahabat dari khalifah yang empat,
hingga sembilan puluh orang sahabat nabi, Abu Raja’ Al ‘Atharidi, Suwaid bin
Ghaflah, Abu Utsman Al Hindi, Abu Rafi’ Ash Shaigh, dua belas tabi’in, juga
para imam fuqaha seperti Abu Ishaq Al Fazari, Abu Bakar bin Muhammad, Al Hakam
bin ‘Utaibah, Hammad, Malik, penduduk Hijaz, dan Al Auza’i. Dan, kebanyakan
penduduk Syam, Asy Syafi’i dan sahabatnya, dari Ats Tsauri ada dua riwayat,
lalu dia (Al Hazimi) mengatakan: kemudian banyak manusia lainnya. Al ‘Iraqi
menambahkan sejumlah nama seperti Abdurraman bin Mahdi, Sa’id bin Abdul ‘Aziz
At Tanukhi, Ibnu Abi Laila, Al Hasan bin Shalih, Daud, Muhammad bin Jarir, juga
sejumlah ahli hadits seperti Abu Hatim Ar Razi, Abu Zur’ah Ar Razi, Abu
Abdullah Al Hakim, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Al Khathabi, dan Abu Mas’ud Ad
Dimasyqi. (Nailul Authar, 2/345-346) Itulah nama-nama yang menyetujui
qunut subuh pada rakaat kedua.
1. Alasan
Para ulama yang Tidak membolehkan
membaca do’a qunut dalam shalat subuh.
1. Dalil yang paling kuat yang dipakai
oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut
ini :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ
صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau
meninggalkan dunia”.
Hadits
ini dishohihkan oleh Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam
Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun
Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata : “Bagaimana bisa sanadnya
menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Robi’ bin Anas adalah
Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi(dikritik)”. Berkata Ibnu
Hambal dan An-Nasa`i : “Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)”. Berkata Abu
Zur’ah : “Yahimu katsiran (Banyak salahnya)”. Berkata Al-Fallas : “Sayyi`ul
hifzh (Jelek hafalannya)”. Dan berkata Ibnu Hibban : “Dia bercerita dari
rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar”.”
Dan
Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan
dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang
diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Rozy, beliau berkata : “Dan yang dimaksudkan
bahwa Abu Ja’far Ar-Rozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar,
sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits
periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya”.
Dihukuminya hadits ini
sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :
Satu : Makna yang
ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan
bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali
qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ
إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Sesungguhnya Nabi
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila
beliau berdo’a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo’a (kejelekan atas suatu
kaum)”. Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam
At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no.
639.
Kedua : Adanya perbedaan
lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya
perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan
lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan
lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
“Sesungguhnya
Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh”.
Dengan
demikian hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil yang shohih yang menunjukkan
disyari’atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus.
4. Imam Ahmad bin Hambal termasuk yang membid’ahkan qunut dalam
subuh, namun Beliau memiliki sikap yang menunjukkan ketajaman pandangan,
keluasan ilmu, dan kedewasaan bersikap. Hal ini dikatakan oleh Al ‘Allamah
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:
فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة
الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على
دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا
لبعض.
“Adalah Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat
bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: “Jika aku
shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu,
dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan
hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.” (Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)
3. Qunut
shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana
dikatakan dalam hadits Ibnu ‘Umar , bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ Al-Fatawa berkata : “dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para
shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru. Sehingga qunut
shubuh secara terus-menerus selain qunut nazilah adalah bid’ah tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu a’lam.
Nasihat
para ulama dalam menyikapi perbedaan masalah cabang.
Nasihat Imam Yahya bin Ma’in Rahimahullah
Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkata tentang Yahya
bin Ma’in:
قال ابن الجنيد:
وسمعت يحيى، يقول: تحريم النبيذ صحيح، ولكن أقف، ولا أحرمه، قد شربه قوم صالحون
بأحاديث صحاح، وحرمه قوم صالحون بأحاديث صحاح.
Berkata Ibnu Al Junaid: “Aku mendengar Yahya bin
Ma’in berkata: “Pengharaman nabidz (air perasan anggur) adalah
benar, tetapi aku no comment, dan aku tidak mengharamkannya.
Segolongan orang shalih telah meminumnya dengan alasan hadits-hadits shahih,
dan segolongan orang shalih lainnya mengharamkannya dengan dalil hadits-hadits
yang shahih pula.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, Juz.
11, Hal. 88. Mu’asasah ar Risalah, Beirut-Libanon. Cet.9, 1993M-1413H)
Nasihat Imam An Nawawi Rahimahullah
Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:
وَمِمَّا يَتَعَلَّق
بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره
، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا
أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى
أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد
كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر
الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع
عَنْهُ
“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak
mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh
mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari
dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang
masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan
dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih
olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain
mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara
pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,
1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang
jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah,
maka tidak bisa saling menganulir.
Pandangan Imam Jalaluddin As Suyuthi Rahimahullah
Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam
kitab Al Asybah wa An Nazhair:
الْقَاعِدَةُ
الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا
يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran
terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya pengingkaran hanya
berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.”
(Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285.
Syamilah)
Pandangan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Ketika membahas tema Kesatuan Milah dan Keragaman
Syariat ia berkata:
“Pokok-pokok dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’
adalah seperti kedudukan agama yang dimiliki oleh para nabi. Tidak seorang pun
yang boleh keluar darinya, dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya maka ia
tergolong kepada ahli Islam yang murni dan mereka adalah Ahlu Sunnah wal
Jamaah. Adapun bervariasinya amal dan perkataan dalam syariat adalah seperti
keragaman syariat di antara masing-masing Nabi. Perbedaan ini terkadang bisa
pada perkara yang wajib, terkadang bisa juga pada perkara yang sunnah.”
Beliau Rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya masalah-masalah rinci dalam perkara ushul tidak mungkin disatukan
di antara kelompok orang. Karena bila demikian halnya tentu tidak mungkin para
sahabat, tabi’in, dan kaum salaf berselisih.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’
al Fatawa, Juz 6, hal. 56)
Katanya lagi: “Ketika perluasan aktivitas dan
penganekaragaman furu’ (cabang)-nya semakin dituntut maka sebagai akibatnya
adalah munculnya perselisihan pendapat sesuai yang cocok jiwa masing-masing
pembelanya.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz. 6, hal. 58)
Ia juga berkata: “Adapun manusia yang cenderung
kepada pendapat salah seorang imam atau syaikh sesuai ijtihadnya. Sebagaimana
perbedaan mana yang lebih afdhal antara adzan dengan tidak adzan, dalam qamat
ifrad (dibaca sekali) atau itsna (dibaca dua kali), shalat fajar itu di akhir
malam atau di saat fajar, qunut subuh atau tidak, bismillah dikeraskan atau
dipelankan, dan seterusnya, adalah merupakan masalah ijtihadiyah yang juga
diperselisihkan para imam-imam salaf. Dan masing-masing mereka menetapkan
keputusan ijtihad yang lain.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20. hal. 292)
Beliau juga berkata: “Ijtihad para ulama dalam
masalah hukum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat. Empat
orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap kea rah yang
berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka.
Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat
menghadap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid,
Juz, 20, hal. 224)
Lihat! Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ijtihad
bisa jadi benar semua, yang ada adalah yang benar dan lebih benar, mafdhul
(tidak utama) dan afdhal (tidak utama). Ya, sangat berbeda antara beliau dengan
orang yang mengaku-ngaku mengikuti madrasah pemikiran beliau. Tenggang rasa
Imam Ibnu Taimiyah tidak berhasil diikuti oleh orang-orang keras yang mengaku
mengikutinya, yang selalu memaksakan pendapatnya kepada orang lain…
Dia juga berkata: “Sedangkan perkataan dan amal
yang tidak diketahui secara pasti (qath’i) bertentangan dengan Kitab dan
Sunnah, namun termasuk lingkup perbincangan ijtihad para ahli ilmu dan iman,
bisa jadi dianggap qath’i oleh sebagian yang lain yang telah mendapat cahaya
petunjuk dari Allah Ta’ala. Namun demikian dia tidak boleh memaksakan
pendapatnya itu kepada orang lain yang belum mendapatkan apa yang dia inginkan
itu.” (Imam Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 1. hal. 383-384)
Jadi, setelah Anda mengakui satu pendapat fiqih
yang benar, maka peganglah baik-baik, namun jangan paksakan kepada orang lain.
Karena masalah ini sangat luas dan lentur terjadi perbedaan:
“Sesungguhnya perbedaan mengenai dalalah lafal dan
penetapan salah satunya itu bagaikan samudera yang luas.” (Imam Ibnu
Taimiyah, Raf’ul Malam, hal. 25)
Wa akhiru da’wana an alhamdulillahi rabbail
‘alamin ….
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.