Mengenai para penghuni surga di jelaskan di dalam Al-Qur’an sebagai berikut
:
Surat Albaqarah ayat 25
وَبَشِّرِ الَّذِين آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ
أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُواْ مِنْهَا
مِن ثَمَرَةٍ رِّزْقاً قَالُواْ هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِن قَبْلُ وَأُتُواْ بِهِ
مُتَشَابِهاً وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
[Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang beriman dan beramal
sholeh, bahwa bagi mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir sungai-sungai
di bawahnya. Setiap kali mereka diberi rezeki dari buah-buahan di dalamnya,
mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu (di
dunia)." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan baginya di dalamnya ada
pasangan yang suci, serta mereka kekal di dalamnya.]
Bahwa yang dimaksud orang beriman di sini ialah orang beriman kepada
al-Qur’an; dan orang beramal sholeh yang dimaksud ialah beramal sholeh menurut
tuntunan al-Qur’an. “Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada
(jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin
yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka (ada) pahala yang besar.” (17:9)
Ayat ini juga menjelaskan hakikat surga. Yakni bahwa surga sebetulnya
adalah perwujudan nyata dari seluruh harapan-harapan manusia di dunia, yang
karena satu dan lain hal banyak yang tidak terpenuhi. Coba simak penggalan ini:
كُلَّمَا رُزِقُواْ
مِنْهَا مِن ثَمَرَةٍ رِّزْقاً قَالُواْ هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِن قَبْلُ (kullamā ruziquw minhā min
tsamaratin rizqā qāluw hādzal-ladziy ruziqnā min qablu); artinya: Setiap kali
mereka diberi rezeki dari buah-buahan di dalamnya (maksudnya di dalam surga
itu), mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu
(di dunia)." Ayat ini tidak bisa difahami bahwa kalau begitu surga
bukanlah hal yang luar biasa karena toh apa yang ditawarkan di sana itu juga
yang kita temukan di dunia. Melalui ayat ini, Allah hendak menyampaikan
beberapa pesan. Pertama, yang disebut manusia bukan hanya saya, Anda, atau
mereka. Yang disebut manusia ialah sejak manusia pertama hingga manusia terakhir
kelak. Usia manusia mungkin puluhan ribu tahun, atau bahkan jutaan tahun; dan
selama itu terjadi perubahan terus menerus mengikuti irama perkembangan budaya,
peradaban, dan ilmu pengetahuan manusia. Artinya sangat banyak yang dirasakan
manusia sekarang tidak dirasakan manusia sebelumnya; begitu juga sebaliknya.
Kalau usia saya, Anda dan mereka, paling banter 60 atau 70 tahun saja, lalu
berapa banyak yang bisa kita rasakan dibanding usia manusia yang rentangannya
puluhan ribu tahun itu? “Allah bertanya (kepada mereka yang baru meninggal):
‘Berapa tahunkah lamanya kalian tinggal di bumi?’ Mereka menjawab: ‘Kami
tinggal (di bumi, rasanya cuma) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah
kepada orang-orang yang menghitung’.” (23:112-113)
Kedua, sebagai manusia materi, dalam kurun waktu sekarang pun kita dibatasi
oleh ruang dan waktu. Dari jutaan jenis buah, yang bisa kita konsumsi tiap kali
makan paling satu atau dua buah. Sehingga dengan usia yang ada rasa-rasanya
tidak mungkin mengkonsumsi semua jenis buah tersebut sebelum kita diusung ke
kuburan. Itu baru jenis buah, belum yang lain. Itu juga dengan asumsi kita
memiliki kemampuan finansial untuk membelinya. Lantas bagaimana dengan mereka
yang tidak memiliki kemampuan finansial, atau sakit sehingga dilarang memakan
jenis makanan tertentu, atau memiliki kemampuan finansial tetapi tetap tidak
bisa mendatangkannya dari penjuru dunia yang jauh? “…Kami berfirman: ‘Turunlah
kalian (ke dunia)! sebagian kalian (kelak) menjadi musuh bagi yang lain, dan
bagi kalian ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang
ditentukan’.” (2:36 dan 7:24)
Ketiga, dari sisi hakikat (ontologi), semua jenis buah yang kita makan
tidak lebih dari variasi bentuk-bentuk penampakan dari materi yang disimbolkan
dengan tanah. Karena setiap jenis buah merupakan hasil kombinasi dari berbagai
unsur yang membentuk dunia materi; misalnya: tanah, air, matahari, udara,
temperature, iklim, mikroba, dan berbagai lingkungan pendukung mikro dan makro
lainnya. Sehingga bisa dikatakan, semua itu bukanlah buah yang sesungguhnya.
Meminjam istilah Plato, semua itu hanyalah duplikat-duplikat belaka saja.
Aslinya ada di alam sana. “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu
hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, (hanyalah) perhiasan dan
bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan
anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.” (57:20, lihat juga 3:185)
Kesimpulannya, manusia membutuhkan dunia yang lain, dunia hakikat, dunia
yang sesungguhnya, yang bisa menjadi tempat untuk memenuhi harapan-harapannya
yang tidak terpenuhi di dunia materi ini. “Dan tiadalah kehidupan dunia ini
melainkan senda gurau dan permainan. Dan sungguh akhirat itulah kehidupan yang
sebenarnya, kalau mereka mengetahui.” (29:64)
). وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ
مُّطَهَّرَةٌ (wa
lahum fiyhā azwājun muthahharah, dan bagi penghuni surga, di dalamnya, ada
pasangan yang suci). Siapakah gerangan pasangan yang suci ini? Bagi mereka yang
meninggal sebelum berpasangan atau yang pasangannya tidak seiman dengannya,
tentu Allah akan menyiapkan pasangan-pasangan bagi mereka di surga. Tetapi bagi
mereka yang tidak masuk dalam dua kategori tersebut, Allah mempertemukan
kembali mereka di suatu jenis surga yang bernama Surga Adn. “(Yaitu) Surga Adn
yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari
orangtua-orangtua mereka, pasangan-pasangannya dan anak-anak keturunannya,
sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.”
(13:23 dan 40:8)
4). وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (wa hum fiyhā khaliduwn, serta
mereka kekal di dalamnya). Bagaimana mereka bisa kekal di dalamnya; bukankah
yang kekal itu hanya Allah. Kekalnya Allah menggunakan kata baqā (kekal secara
hakiki), sementara kekalnya manusia di dalam surga atau neraka menggunakan kata
khaliduwn atau khuld (kekal secara majazi). Maksudnya, kekalnya Allah adalah
kekal dalam artian sejati dan primer, karena Dia-lah yang Awal dan Dia pula
yang Akhir (57:3). Sementara kekalnya manusia adalah sekunder, yakni sejauh
Allah menghendaki kekekalannya. Jadi kekalnya Allah karena memang itu yang
menjadi sifat dari Zat-Nya, sedangkan kekalnya manusia di akhirat semata karena
Jalal dan Ikram-Nya. “Semua yang ada di dunia akan binasa. Dan tetap kekal
Wajah Tuhanmu yang mempunyai Jalāl dan Ikrām.” (55:26-27) Firman-Nya lagi: “Apa
yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.
Dan sungguh Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (16:96)
4). وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (wa hum fiyhā khaliduwn, serta
mereka kekal di dalamnya). Bagaimana mereka bisa kekal di dalamnya; bukankah
yang kekal itu hanya Allah. Kekalnya Allah menggunakan kata baqā (kekal secara
hakiki), sementara kekalnya manusia di dalam surga atau neraka menggunakan kata
khaliduwn atau khuld (kekal secara majazi). Maksudnya, kekalnya Allah adalah
kekal dalam artian sejati dan primer, karena Dia-lah yang Awal dan Dia pula
yang Akhir (57:3). Sementara kekalnya manusia adalah sekunder, yakni sejauh
Allah menghendaki kekekalannya. Jadi kekalnya Allah karena memang itu yang
menjadi sifat dari Zat-Nya, sedangkan kekalnya manusia di akhirat semata karena
Jalal dan Ikram-Nya. “Semua yang ada di dunia akan binasa. Dan tetap kekal
Wajah Tuhanmu yang mempunyai Jalāl dan Ikrām.” (55:26-27) Firman-Nya lagi: “Apa
yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.
Dan sungguh Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (16:96)
Sura Albaqarah ayat 82
وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ
أُولَـئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
[Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni
surga; mereka kekal di dalamnya.]
1). Huruf و (wawu) di awal ayat yang
berfungsi sebagai ‘athaf (penyambung) menunjukkan bahwa ayat ini adalah
sambungan dari ayat sebelumnya. Kalau ayat sebelumnya menegaskan siapa saja
yang pantas masuk ke dalam neraka, maka ayat ini mengungkapkan sebaliknya,
yakni siapa saja yang layak masuk ke dalam surga. Dan kriteria masuk surga
ternyata tidak banyak. Cuma dua macam: beriman dan beramal saleh. Untuk
memahami makna keberimanan di sini, mari kita kembali ke ayat yang lalu tentang
orang-orang yang akan menjadi penghuni neraka. Dikatakan, seseorang akan
menjadi penghuni neraka manakala kesalahannya telah meliputi dirinya: وَأَحَاطَتْ بِهِ خَطِيـئَتُهُ (wa ahāthat bihi khathĭy’atuhu,
dan dia telah diliputi oleh kesalah-kesalahannya). SALAH itu adalah hasil
penilaian; dan penilaian itu berangkat dari keyakinan. Kita mengatakan sesuatu
itu SALAH apabila kita yakin bahwa sesutu itu TIDAK BENAR. Kita menilai sesuatu
itu BENAR jikalau kita yakin bahwa sesuatu tersebut TIDAK SALAH. Artinya,
disebut SALAH manakala di dalam dirinya tidak mengandung kebenaran; dan disebut
BENAR manakala di dalam dirinya tidak lagi mengandung kesalahan. Maka, orang
yang telah diliputi oleh kesalahan-kesalahannya pada dasarnya telah diliputi
oleh hal-hal yang tidak BENAR, yang menyebabkan dirinya pantas menjadi penghuni
neraka. Sebaliknya, orang yang beriman adalah orang yang diliputi oleh hal-hal
yang BENAR, yang menyebabkan dirinya pantas menjadi penghuni surga. Bisa
disimpulkan, neraka ialah tempatnya orang yang SALAH, sementara surga ialah
tempatnya orang yang BENAR.
Perhatikan, betapa pentingnya yang namanya “keyakinan” dalam menentukan
nilai BENAR dan SALAH. Pertanyaannya, di pondasi manakah berdirinya keyakinan
itu, sehingga kita memiliki keyakinan bahwa yang ini SALAH dan yang itu BENAR?
Atau lebih tepatnya, apa dasar keyakinan kita itu sehingga berani mengatakan
ini SALAH dan itu BENAR? Jawabannya: hukum aqal (yang berlaku universal dan
karenanya sama pada semua orang). Dengan demikian, iman dikatakan benar apabila
berangkat dari keyakinan yang bisa dipertanggungjawabkan secara aqliyah
(rasional). Bahkan kebenaran dalil-dalil naqli (nas-nas keagamaan) pun harus
bisa diverifikasi oleh hukum aqli ini. Kalau ada dalil-dalil naqli yang tidak
lolos verifikasi hukum aqli, itu pasti أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong) yang dibuat-buat oleh manusia
biasa, yang cepat atau lambat pasti akan mengalami kadaluarsa dan dekadensi.
Iman yang benar tidak mungkin bersandar pada أَمَانِيَّ (amanĭy, angan-angan kosong). Karena yang BENAR sandarannya
Allah, yang SALAH sandarannya Thaghut. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); (karena) sungguh telah jelas (bahwa) jalan yang benar (lebih
baik) daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan (penilaian yang SALAH) kepada cahaya
(penilaian yang BENAR). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya
ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya (penilaian yang BENAR)
kepada kegelapan (penilaian yang SALAH). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.” (2:256-257)
2). Kriteria kedua ialah “amal saleh”. Penempatan amal saleh selalu di
belakang kata “iman” menunjukkan bahwa disebut amal saleh apabila amal tersebut
refleksi dari iman yang benar. Jika imannya salah, yang muncul ke permukaan
juga “amal salah”. Karen iman ialah motor penggerak perbuatan, tukang perintah
pelaksanaan eksekusi, sehingga corak perbuatan sangat tergantung pada corak
iman. “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kalian dan Kami angkat
bukit (Thursina) di atasmu (seraya berfirman): ‘Peganglah kuat-kuat apa yang
Kami berikan kepadamu dan simaklah!’ Mereka menjawab: ‘Kami mendengarkan tetapi
(kami) tidak (akan) mentaati’. Dan telah diresapkan ke dalam qalbu mereka itu
(kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah: ‘Alangkah
buruknya perbuatan yang diperintahkan iman-mu kepadamu jika kalian benar-benar
beriman (kepada Taurat)’.” (2:93) Amal yang didorong oleh iman yang benar
inilah yang menyebabkan pelakunya mengarungi bahtera kehidupannya dengan penuh
kesucian, ketenangan, dan kebahagiaan. Artinya, setiap tindakannya membawanya
kepada kehidupan yang suci, tenang, dan bahagia. “Barangsiapa yang mengerjakan
amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang suci dan sesungguhnya
akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” (16:97) Dan orang yang hidupnya seperti ini (suci,
tenang, bahagia), kelak di saat wafatnya disambut oleh malaikat dengan ucapan
“selamat” sebelum dimasukkan ke dalam surga. “Orang-orang yang diwafatkan oleh
para malaikat dalam keadaan suci, (para malaikat tersebut) berkata (kepada
mereka): ‘Salaamun ’alaikum, masuklah kalian ke dalam surga itu disebabkan apa
yang telah kalian kerjakan (dulu di dunia)’.” (16:32)
3). Nilai iman dan amal saleh berbuntut pada nilai orang beriman dan orang
saleh. Karena nilai iman di sisi Allah begitu tingginya (ingat, BENAR itu
sandarannya Allah), maka nilai orang beriman juga begitu tingginya. Ini gampang
difahami dengan pengertian bahwa tidak ada pembicaraan soal iman kalau tidak
ada orang yang beriman. Sebagaimana tidak ada perbuatan saleh kalau tidak ada
orang saleh. Maka masuk akal apabila menyakiti hati orang beriman, Allah
mengihtungnya sebagai dosa besar. “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang
mukmin laki-laki dan mukmin perempuan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka
sesungguhnya mereka (yang menyakiti) telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”
(33:58) Puncak keberimanan dan kesalehan—selain Nabi—ada pada wali-wali Allah.
Maka kalau menyakiti hati orang mukmin saja begitu besar dosanya, lalau
bagaimana pula jikalau menyakiti hati para wali ini. Saat menukil ayat ini di
dalam Riyadhus Shalihin-nya, saat membahas dilarangnya menyakiti orang-orang
saleh (para wali), Imam Nawawi menjelaskan bahwa hadits tentang masalah ini
sangat banyak, diantaranya: “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Sesiapa memusuhi
wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya. Seorang hamba (yang saleh)
senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan yang paling Aku cintai,
yaitu apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya. Juga hamba-Ku (tersebut) mendekatkan
diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya. (Maka) jika
Aku mencintainya, Aku adalah pendengarannya yang digunakan untuk mendengar,
(Aku adalah) penglihatannya yang digunakan untuk melihat, (Aku adalah)
tangannya yang digunakan untuk berbuat, (Aku adalah) kakinya yang digunakan
untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, niscaya Aku memberinya. Dan jika
dia berlindung kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya’.” (HR. Bukhari dari Abu
Hurairah ra) Di sinilah para wali menemukan karamah dan sakralitasnya. Begitu
sakralnya, sampai Nabi bersabda kepada Abu Bakar ra, “Hai Abu Bakar, jika kamu
membuat mereka (para wali-Ku itu) marah berarti kamu membuat Tuhanmu (juga)
marah.” (dikutip dari Riyadhus Shalihin).
Attaubah 111-112
* ¨bÎ) ©!$# 3utIô©$# ÆÏB úüÏZÏB÷sßJø9$# óOßg|¡àÿRr& Nçlm;ºuqøBr&ur cr'Î/ ÞOßgs9 sp¨Yyfø9$# 4 cqè=ÏG»s)ã Îû È@Î6y «!$# tbqè=çGø)usù cqè=tFø)ãur ( #´ôãur Ïmøn=tã $y)ym Îû Ïp1uöqG9$# È@ÅgUM}$#ur Éb#uäöà)ø9$#ur 4 ô`tBur 4nû÷rr& ¾ÍnÏôgyèÎ/ ÆÏB «!$# 4 (#rçųö6tFó$$sù ãNä3Ïèøu;Î/ Ï%©!$# Läê÷èt$t/ ¾ÏmÎ/ 4 Ï9ºsur uqèd ãöqxÿø9$# ÞOÏàyèø9$# ÇÊÊÊÈ cqç6ͳ¯»F9$# crßÎ7»yèø9$# crßÏJ»ptø:$# cqßsÍ´¯»¡¡9$# cqãèÅ2º§9$# crßÉf»¡¡9$# tbrãÏBFy$# Å$rã÷èyJø9$$Î/ cqèd$¨Y9$#ur Ç`tã Ìx6YßJø9$# tbqÝàÏÿ»ysø9$#ur ÏrßçtÎ: «!$# 3 ÎÅe³o0ur úüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÊÊËÈ
111.
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu
mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah
di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.
112.
mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang
melawat[662], yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah
berbuat Munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan gembirakanlah
orang-orang mukmin itu.
[662]
Maksudnya: melawat untuk mencari ilmu pengetahuan atau berjihad. ada pula yang
menafsirkan dengan orang yang berpuasa.
(Sumber
penulisan diambil dari beberpa postingan di internet).
Kenikmatan surga
ã@sW¨B Ïp¨Ypgø:$# ÓÉL©9$# yÏããr tbqà)GßJø9$# ( !$pkÏù Ö»pk÷Xr& `ÏiB >ä!$¨B Îöxî 9`Å#uä Ö»pk÷Xr&ur `ÏiB &ûtù©9 óO©9 ÷¨tótGt ¼çmßJ÷èsÛ Ö»pk÷Xr&ur ô`ÏiB 9÷Hs~ ;o©%©! tûüÎ/Ì»¤±=Ïj9 Ö»pk÷Xr&ur ô`ÏiB 9@|¡tã y"|ÁB ( öNçlm;ur $pkÏù `ÏB Èe@ä. ÏNºtyJ¨V9$# ×otÏÿøótBur `ÏiB öNÍkÍh5§ ( ô`yJx. uqèd Ó$Î#»yz Îû Í$¨Z9$# (#qà)ßur ¹ä!$tB $VJÏHxq yì©Üs)sù óOèduä!$yèøBr& ÇÊÎÈ
15.
(apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang
bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada beubah rasa dan
baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak beubah rasanya, sungai-sungai
dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang
disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan
ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam Jahannam dan
diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya? ( Qs
Muhammad : 15)
* ß$qäÜtur öNÍkön=tã ×bºt$ø!Ír tbrà$©#sC #sÎ) öNåktJ÷r&u öNåktJö6Å¡ym #Zsä9÷sä9 #YqèVZ¨B ÇÊÒÈ #sÎ)ur |M÷r&u §NrO |M÷r&u $\KÏètR %Z3ù=ãBur #·Î7x. ÇËÉÈ öNåkuÎ=»tã Ü>$uÏO C¨ßZß ×ôØäz ×-uö9tGóÎ)ur ( (#þq=ãmur uÍr$yr& `ÏB 7pÒÏù öNßg9s)yur öNåk5u $\/#tx© #·qßgsÛ ÇËÊÈ
19.
dan mereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan muda yang tetap muda. apabila kamu
melihat mereka, kamu akan mengira mereka, mutiara yang bertaburan.
20. dan
apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam
kenikmatan dan kerajaan yang besar.
21.
mereka memakai pakaian sutera Halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan
kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Tuhan memberikan kepada mereka
minuman yang bersih. ( Qs Alinsa 19 -21)
ß$$sÜãur NÍkön=tã 7puÏR$t«Î/ `ÏiB 7pÒÏù 5>#uqø.r&ur ôMtR%x. O#tÍ#uqs% ÇÊÎÈ (#tÍ#uqs% `ÏB 7pÒÏù $ydrâ£s% #\Ïø)s? ÇÊÏÈ tböqs)ó¡çur $pkÏù $Uù(x. tb%x. $ygã_#zÏB ¸xÎ6pgUy ÇÊÐÈ $YZøtã $pkÏù 4£J|¡è@ WxÎ6|¡ù=y ÇÊÑÈ
15.
dan Diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang
bening laksana kaca,
16.
(yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur mereka dengan
sebaik-baiknya.
17. di
dalam syurga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah
jahe.
18.
(yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil.
(Sumber
penulisan diambil dari beberpa postingan di internet).