Rabu, 26 Maret 2014
Minggu, 23 Maret 2014
PENDAPAT ULAMA TENTANG ZAKAT PROFESI
Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi). Zakat profesi
dikenal juga dengan istilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai)
atau zakah kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurrah (zakat hasil pekerjaan dan
profesi swasta). (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, I/497; Wahbah az-Zuhaili,
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865; Ali as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya
al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 522; Al-Yazid Ar-Radhi, Zakah Rawatib
Al-Muwazhaffin, hal. 17).
Zakat profesi menurut
para penggagasnya didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan pada tiap
pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri
maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang
memenuhi nishab. Misal profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek,
dan sebagainya. (Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq,
Sedekah, hal. 103; Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 95).
Syarat Zakat
Syarat Zakat
Ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat tersebut berkaitan dengan muzakki
(orang yang mengeluarkan zakat) dan berkaitan dengan harta.
Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki: (1) islam, dan
(2) merdeka.
Adapun anak kecil dan orang gila -jika memiliki harta dan
memenuhi syarat-syaratnya- masih tetap dikenai zakat yang nanti akan
dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dan dipilih oleh
mayoritas ulama.
Syarat kedua, berkaitan
dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta tersebut dimiliki secara sempurna, (2)
harta tersebut adalah harta yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai
nishob, (4) telah mencapai haul (harta tersebut bertahan selama setahun), (5)
harta tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok
Pendapat Ulama tentang Hukum Zakat Profesi
1.
Pendapat yang
mewajibkan zakat profesi
Pertama, menurut Al-Qaradhawi, landasan zakat
profesi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk al-maal
al-mustafaad (harta perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru
yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang
disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya.
Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu
Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang
mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa
mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah).
Bahkan al-Qaradhawi
melemahkan hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat, yaitu hadis Ali bin Abi
Thalib RA, bahwa Nabi SAW bersabda”Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu
atasnya haul.” (HR Abu Dawud). Alasan Yusuf Qaradhawi menganggap lemah
(dhaif) hadis tersebut, karena ada seorang periwayat hadis bernama Jarir bin
Hazim yang dianggap periwayat yang lemah. (Yusuf Al-Qaradhawi, ibid.,
I/491-502; Wahbah az-Zuhaili, ibid., II/866).
Kedua, ulama lain
menambahkan dalil lain dari yang telah dikemukakan Qaradhawi di atas, yaitu
keumuman ayat ke-267 dari surat Al Baqarah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا
مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…” (QS Al Baqarah
[2]:267)
Ada pula ulama yang menambah dalil lain lagi,
yaitu surat Adz Dzariyat ayat ke-19 sebagai berikut :
وَفِى أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّآئِلِ
وَالْمَحْرُوْمِ
“Dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk
orang miskin yang meminta dan orang miskin yang menahan diri (daripada
meminta).” (QS Adz Dzariyat [51]:19)
Diantara Ulama Yang
Mendukung Zakat Profesi antara lain :
a. Dr. Yusuf
Al-Qaradawi
Tidak bisa
dipungkiri bahwa Dr. Yusuf Al-Qaradawi adalah salah satu icon yang paling
mempopulerkan zakat profesi. Beliau membahas masalah ini dalam buku beliau Fiqh
Zakat yang merupakan disertasi beliau di Universitas Al-Azhar, dalam bab زكاة كسب العمل و المـهن الحرة (zakat hasil
pekerjaan dan profesi) .Sesungguhnya
beliau bukan orang yang pertama kali membahas masalah ini. Jauh sebelumnya
sudah ada tokoh-tokoh ulama seperti Abdurrahman Hasan, Syeikh Muhammad Abu
Zahrah, dan juga ulama besar lainnya seperti Abdulwahhab Khalaf.Namun karena
kitab Fiqhuz-Zakah itulah maka sosok Al-Qaradawi lebih dikenal sebagai rujukan
utama dalam masalah zakat profesi. Inti pemikiran
beliau, bahwa penghasilan atau profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat
diterima, jika sampai pada nishab setelah dikurangi hutang. Dan zakat profesi
bisa dikeluarkan harian, mingguan, atau bulanan.
b. Dr. Abdul
Wahhab Khalaf dan Syeikh Abu Zahrah
Dalam kitab
Fiqhuzzakah, Al-Qaradawi tegas menyebutkan bahwa pendapatnya yang mendukung
zakat profesi bukan pendapat yang pertama. Sebelumnya sudah ada tokoh ulama
Mesir yang mendukung zakat profesi, yaitu Abdul Wahhab Khalaf dan Abu Zahrah.Abdul Wahab
adalah seorang ulama besar di Mesir (1888-1906), dikenal sebagai ahli hadits,
ahli ushul fiqih dan juga ahli fiqih. Salah satu karya utama beliau adalah
kitab Ushul Fiqih, Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah, Al-Waqfu wa Al-Mawarits,
As-Siyasah Asy-Syar'iyah, dan juga dalam masalah tafsir, Nur min Al-Islam. Tokoh ulama
lain yang disebut oleh Al-Qaradawi adalah guru beliau sendiri, yaitu Syeikh
Muhammad Abu Zahrah (1898- 1974). Beliau adalah
sosok ulama yang terkenal dengan pemikirannya yang luas dan merdeka, serta
banyak melakukan perjalanan ke luar negeri melihat realitas kehidupan manusia. Tulisan beliau
tidak kurang dari 30 judul buku, salah satunya yang terbesar adalah Mukjizat
al-Kubra al-Quran”. Buku ini merupakan mukadimah dalam beliau mengarang tafsir
al-Quran. Namun tafsir
ini tidak sempat disempurnakan kerana beliau meninggal dunia terlebih dahulu.
Buku lainnya adalah Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, Al-'Uqubah fi Al-Fiqh
Al-Islami, Al-Jarimah fi Al-Fiqh Al-Islami,
c. Majelis
Tarjih Muhammadiyah
Musyawarah
Nasional Tarjih XXV yang berlangsung pada tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H
bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta
Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat. Lembaga ini
pada intinya berpendapat bahwa Zakat Profesi hukumnya wajib. Sedangkan nisabnya
setara dengan 85 gram emas 24 karat. Ada pun kadarnya sebesar 2,5 %
d. Majelis
Ulama Indonesia (MUI)
MUI memandang
bahwa setiap pendapatan wajib dikeluarkan zakatnya, seperti gaji, honorarium,
upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal. Baik pendapatan itu
bersifat rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak
rutin seperti dokter, pengacara,konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan
yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Bila syarat
terpenuhi yaitu telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85
gram, maka zakat wajib dikeluarkan. Kadar zakat penghasilan menurut MUI adalah
adalah 2,5%.
e. Dr. Didin
Hafidhudin
Di Indonesia,
salah satu icon zakat profesi yang cukup terkenal adalah Dr. Didin Hafidhuddin,
sebagamana naskah disertasi doktor yang diajukannya. Guru Besar IPB
dan Ketua Umum BAZNAS ini mencoba mendefinisikan profesi ialah setiap keahlian
atau pekerjaan apapun yang halal, baik yang dilakukan sendiri maupun yang
terkait dengan pihak lain, seperti seorang pegawai atau karyawan. Didin
memberikan mekanisme pengambilan hukum zakat profesi dengan menggali pada teks
al-Quran, dan dengan menggunakan metode qiyas.
f. Dr. Quraisy
Syihab
Quraish Shihab
juga termasuk yang menudukung wajibnya zakat profesi. Hal itu bisa kita baca
dari tulisannya antara lain : Menjawab pertanyaan 100 tentang keIslaman yang
patut anda ketahui.
2. Pendapat yang menolak zakat profesi
2. Pendapat yang menolak zakat profesi
1. Bahwa profesi-profesi
pekerjaan yang dilakukan seseorang telah ada sejak jaman Nabi Muhammad, para
sahabat dan Tabi’in, seperti penjahit, tukang sepatu dan sebagainya, namun
tidak didapati penjelasan baik dari Nabi, sahabat dan Tabiin yang yang
menyatakan mereka mewajibkan untuk mengeluarkan zakat profesi. Mereka hanya
mewajibkan zakat maal pada harta yang telah disebutkan di dalam al Qur’an dan
hadits atau harta selainnya jika memang diperdagangkan.
2. Firman Allah (surat
al Baqarah: 267) tidak pernah dipahami oleh para ulama terdahulu seperti yang
dipahami oleh penganjur pendapat ini. Para ulama terdahulu memahami dari ayat
tersebut kewajiban zakat tijarah dan hasil tanaman makanan pokok, tanaman
buah-buahan tertentu saja, selainnya tidak.
3. Pendapat tentang
zakat profesi ini rancu dan terkesan asal-asalan dalam penentuan nishab, kadar
zakat dan waktu pengeluarannya. Dalam sisi nishab mereka menyamakan nishab
penghasilan dengan nishab emas dan perak. Demikian pula kadar zakatnya. Namun
dalam waktu pengeluarannya mereka menyamakannya dengan zakat makanan pokok
seperti padi atau semacamnya. Dalam penegasan awal mereka mensyaratkan haul,
namun kemudian ketika menjelaskan waktu pengeluaran yang pertama yaitu ketika
penghasilan yang sekali diterima telah mencapai nishab, haul tidak lagi mereka
berlakukan. Jadi pendapat ini rancu dalam sisi persyaratan haul-nya. Ini adalah
salah satu bukti bahwa pendapat ini rancu dari sisi istinbath dan dalilnya.
Bahkan yang sangat menggelikan, para pengikut pendapat ini mewajibkan zakat
penghasilan setiap bulan tanpa melihat nishabnya sama sekali, dengan mengambil
2,5 % dari penghasilan, berapapun jumlah penghasilan tersebut, dan ini berulang
secara rutin setiap bulannya.
4. Bukankah sangat
mungkin bahwa penghasilan-penghasilan tersebut akan habis untuk keperluan hidup
sehari-hari atau untuk keperluan tidak terduga seperti karena sakit parah dan
semacamnya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda:
” ليس على المسلم في عبده ولا فرسه صدقة
” رواه مسلم
Maknanya: “Tidak ada
zakat atas orang muslim terhadap hamba sahaya dan kudanya” (H.R. Muslim)
Imam an-Nawawi
mengomentari hadits ini:
هذا الحديث أصل في أن أموال القنية لا
زكاة فيها
“Hadits ini
adalah dalil bahwa harta qinyah (harta yang digunakan untuk keperluan
pemakaian, bukan untuk dikembangkan) tidak dikenakan zakat“. (lihat: Syarh
Shahih Muslim, Jilid III, Juz VII, h. 61)
5. Biasanya para
pengikut pendapat ini mengatakan: “Jika zakat penghasilan ditiadakan, enak
sekali para professional tersebut. Sementara petani yang tidak seberapa
penghasilan sawahnya dikenakan kewajiban zakat sedangkan mereka yang berdasi
dan berjuta-juta penghasilannya tidak dikenai kewajiban zakat ?!!”.
Jawabannya adalah:
Pertama: Ini adalah
logika yang salah. Dikatakan kepada mereka: Sebagaimana dalam zakat maal, hanya
ternak khusus, emas dan perak, tanaman makanan pokok, tanaman buah-buahan kurma
dan anggur kering saja yang wajib dizakati, padahal ada ternak yang lain yang
lebih menghasilkan, ada logam mulia dan batu permata lain yang lebih mahal, ada
tanaman makanan yang lebih besar penghasilannya, ada tanaman buah-buahan selain
kurma dan zabib yang lebih memiliki harga jual, namun zakat hanya diwajibkan pada
jenis-jenis harta tertentu yang sudah disebutkan, demikian juga halnya, hanya
penghasilan dari tijarah yang ada zakatnya. Jadi ukurannya bukan besar
penghasilannya, tetapi ada sisi ta’abbudi-nya.
Kedua: Dikatakan kepada
pengikut pendapat ini: Jika ukurannya adalah besarnya pendapatan, apakah mereka
juga akan mewajibkan zakat pada hadiah yang diperoleh oleh seseorang atau harta
warisan yang diwarisi oleh seseorang karena jumlah atau nominalnya lebih besar
dari penghasilan petani atau bahkan dokter atau pejabat sekalipun ?!!. Padahal
para ulama telah menegaskan bahwa dalam zakat tijarah selain ada niat tijarah,
modal atau harta pokok yang dimiliki haruslah yang berasal dari mu’awadlah
mahdlah atau ghairu mahdlah, dan karenanya harta warisan atau hibah jika dijadikan
modal tijarah tidak wajib dizakati karena modalnya diperoleh bukan dengan jalur
mu’awadlah (lihat Bughyah ath-Thalib, h. 367-368). Ini berkait dengan tijarah
yang sudah jelas wajib dizakati.
Ketiga: Jika Zakat yang
mereka sebut sebagai zakat penghasilan ini, sebatas seperti madzhab Imam Abu
Hanifah maka hal itu adalah hal yang bisa diterima. Yaitu bahwa uang yang
dihasilkan dari jalur manapun, jika tetap utuh satu nishab dalam hitungan satu
tahun, maka wajib dizakati.
6. Hendaklah disadari
bahwa bukan berarti demi kemaslahatan umum maka seseorang bisa mewajibkan
apapun demi kepentingan tersebut. Syari’at telah menjelaskan pintu-pintu untuk
menutupi keperluan untuk kemaslahatan umum ini. Ada pintu infak, sedekah, wakaf
dan lain sebagainya. Bahkan dalam keadaan darurat penguasa muslim boleh
mengambil paksa sebagian harta para konglomerat dan orang-orang kaya untuk
menutupi kepentingan atau kemaslahatan umum tersebut. Karenanya tidak perlu
mewajibkan sesuatu yang tidak wajib demi kemaslahatan yang bahkan kadang belum
tentu kejelasannya dengan langkah seperti mewajibkan zakat penghasilan. Atau
karena dalih ingin meringankan beban masyarakat miskin maka dianggap saja pajak
yang mereka keluarkan untuk negara sebagai zakat sehingga tidak ada beban untuk
mengeluarkan harta lagi selain pajak. Padahal sudah jelas zakat memiliki
masharif yang khusus. Zakat adalah hal yang diwajibkan oleh Allah sedangkan
pajak (al Maks) adalah hal yang diharamkan oleh Allah, bagaimana mungkin hal
yang haram mengganti posisi hal yang wajib ?!!!.
7. Hendaklah diketahui
bahwa mewajibkan sesuatu dan mengharamkannya adalah tugas seorang mujtahid
seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad –semoga Allah
meridlai mereka- dan lainnya. Rasulullah shallallahu ’alayhi wasallam bersabda
dalam sebuah hadits yang mutawatir:
“فرب حامل فقه إلى من هو أًفقه منه” رواه
الترمذي وابن حبّان
Maknanya: “Seringkali
terjadi orang menyampaikan hadits kepada orang yang lebih memahaminya darinya”
(H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Hadits ini menjelaskan
bahwa manusia terbagi ke dalam dua tingkatan :
Pertama: orang yang
tidak mampu beristinbath (menggali hukum dari teks-teks al Qur’an dan hadits)
dan berijtihad. Kedua: mereka yang mampu berijtihad. Karenanya kita melihat
ummat Islam, ada di antara mereka yang mujtahid (ahli ijtihad) seperti Imam
asy-Syafi’i dan yang lain mengikuti (taqlid) salah seorang imam mujtahid. Jadi
tidak setiap orang yang telah menulis sebuah kitab, kecil maupun besar dapat
mengambil tugas para Imam mujtahid dari kalangan ulama’ as-Salaf ash-Shalih
tersebut, sehingga berfatwa, menghalalkan ini dan mengharamkan itu tanpa
merujuk kepada perkataan para Imam mujtahid dari kalangan salaf dan khalaf yang
telah dipercaya oleh umat karena jasa-jasa baik mereka. Dengan demikian fatwa
yang menyatakan adanya zakat penghasilan sama sekali tidak berdasar dan
menyalahi fatwa para ulama, karenanya tidak boleh diikuti sebab fatwa ini bukan
fatwa seorang mujtahid. Kita hanya akan mengikuti para ulama yang mu’tabar.
Bahkan jika penganjur fatwa
ini berdalih mereka hanya melakukan qiyas, kita katakan bahwa melakukan qiyas
sekalipun, hal itu adalah tugas khusus seorang mujtahid, yaitu mengambil hukum
bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena
ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya. Para ulama ushul seperti imam
asy-Syafi’i berkata: “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”.
8. Pendapat seperti ini
biasanya muncul dari orang yang tidak mempelajari ilmu agama dengan baik dan
bukan dengan cara bertalaqqi kepada para ulama yang terpercaya. Karenanya
disarankan kepada mereka untuk terlebih dahulu belajar ilmu agama dengan baik
kepada para ulama sehingga tidak terjatuh pada perbuatan mewajibkan sesuatu,
mengharamkan atau menghalalkannya secara gegabah. Hal ni dikarenakan, para
ulama salaf maupun khalaf sepakat bahwa ilmu agama tidak bisa diperoleh hanya
dengan membaca (muthala’ah) kitab-kitab. Tetapi harus dengan belajar secara
langsung (talaqqi) kepada seorang guru atau ulama yang terpercaya
(tsiqah/kredibel) yang mata rantai keilmuannya bersambung sampai kepada sahabat
dan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, demikianlah tuntunan Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam dalam mendapatkan ilmu. Salah seorang ulama
ternama dari kalangan tabi’in, Muhammad ibn Sirin mengatakan:
“إنّ هذا العلم دين فانظروا عمّن تأخذون
دينكم” رواه مسلم في مقدمة صحيحه
“Ilmu ini
adalah (bagian) agama, maka teliti dan berhati-hatilah kepada siapa kalian
mengambil ajaran agama kalian”
Bahkan Rasulullah
sendiri juga bertalaqqi ilmu kepada malaikat Jibril. Hal ini ditegaskan di
dalam al Quran, Allah ta’ala berfirman:
علّمه شديد القوى ( (سورة النجم : 5
Maknanya : “Dia (Nabi
Muhammad) diajari oleh Malaikat yang sangat kuat (Malaikat Jibril)” (Q.S.
an-Najm : 5 )
Sedangkan para sahabat
mereka belajar ilmu agama dengan bertalaqqi secara langsung kepada Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wasallam. Mereka yang berhalangan hadir dalam majelis
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam karena jauh tempatnya atau sibuk, selalu
menyempatkan diri bertanya kepada ulama dari kalangan sahabat seperti Abu
Bakar, Umar, Utsman, Ali dan lain-lain. Dikisahkan bahwa Umar bin Khattab
mempunyai seorang teman dari kaum Anshar. Bila beliau tidak bisa hadir dalam
majlis Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam sedangkan temannya itu hadir,
Umar selalu bertanya kepadanya mengenai hal-hal yang telah diajarkan dan
dilakukan oleh Rasulullah dan begitu pula sebaliknya jika temannya itu
berhalangan hadir.
9. Bahwa diantara
syarat-syarat harta yang wajib dizakati, selain zakat pertanian dan barang
tambang (rikaz), harus ada masa kepemilikan selama satu tahun, yang dikenal
dengan istilah haul. Sementara
Al-Qaradawi dan juga para pendukung zakat profesi berkeinginan agar gaji dan
pemasukan dari berbagai profesi itu wajib dibayarkan meski belum dimiliki
selama satu haul.
Di antara ulama yang
tidak setuju dengan adanya zakat profesi antara lain :
a. Dr. Wahbah Az-Zuhaili
Menurut beliau bahwa zakat itu
ibadah mahdhah, dimana pelaksanaannya membutuh dalil-dalil yang qath'i. Sehingga kita
tidak boleh mengarang sendiri masalah zakat ini. Zakat profesi
tidak pernah dikenal sebelumnya di dalam khazanah fiqih klasik, bahkan juga
tidak pernah ada di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, sampai belasan abad
kemudian.
b. Syeikh Bin
Baz,
Ulama yang
pernah menjadi mufti kerajaan Saudi Arabia ini ernah berfatwa : "Zakat
gaji yang berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu
satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila
gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia
belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati."
c. Syeikh
Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin
Pendapat serupa
juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, salah seorang
ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
“Tentang zakat
gaji bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang
setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang
tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya.
Karena di
antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul
yang harus dilewati oleh nishab harta (uang) itu. Jika seseorang
menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya
disimpan, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang
disimpannya setiap kali sempurna haulnya.” .
d. Hai'atu
Kibaril Ulama
Fatwa serupa
juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia,
berikut fatwanya: "Sebagaimana
yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah
emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan
perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut.
Mengingat hal
itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan
telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab
atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak
dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul
(berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka
tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan
itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu
satu tahun (haul)."
e. Dewan
Hisbah Persis
Dewan Hisbah
Persis tidak menerima keberadaan zakat profesi, karena zakat dalam
pandangan mereka termasuk ibadah mahdhah. Yang mereka berlakukan adalah zakat
jual-beli atau perdagangan.
f. Muktamar
Zakat di Kuwait
Dalam Muktamar
zakat pada tahun 1984 H di Kuwait, masalah zakat profesi telah dibahas pada
saat itu, lalu para peserta membuat kesimpulan: “Zakat gaji
dan profesi termasuk harta yang sangat potensial bagi kekuatan manusia untuk
hal-hal yang bermanfaat, seperti gaji pekerja dan pegawai, dokter, arsitek dan
sebagainya". "Profesi
jenis ini menurut mayoritas anggota muktamar tidak ada zakatnya ketika menerima
gaji, namun digabungkan dengan harta-harta lain miliknya sehingga mencapai
nishob dan haul lalu mengeluarkan zakat untuk semuanya ketika mencapai
nishab". "Adapun
gaji yang diterima di tengah-tengah haul (setelah nishob) maka dizakati di
akhir haul sekalipun belum sempurna satu tahun penuh. Dan gaji yang diterima
sebelum nishob maka dimulai penghitungan haulnya sejak mencapai nishob lalu wajib
mengeluarkan zakat ketika sudah mencapai haul. Adapun kadar zakatnya adalah
2,5% setiap tahun“.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas terlihat
bahwa masalah Zakat Profesi merupakan
masalah khilafiyah atau diperselisihkan oleh para ulama. Sekelompok ulama
berpendapat bahwa pendapatan gaji atau penghasilan dari hasil profesi seseorang
wajib dikeluarkan zakatnya. Sementara sekelompok ulama lainnya tidak mewajibkan
zakat profesi. والله اعلم
Rujukan :
1.
Zakat Profesi oleh : Oleh
: KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI**
2.
Zakat
Menurut Islam oleh : www.muslim.or.id
3. Fatwa Seputar
Zakat Profesi oleh : http://abiubaidah.com
4. Syarat-Syarat Zakat oleh : Muhammad Abduh Tuasikal, MScAhmad Sarwat
5. Zakat Profesi: Antara Penentang
dan Pendukung (part 1)oleh Ahmad Sarwat
6. Menghiting Zakat Profesi oleh : H Abdurrahman Navis Lc Wakil
Katib Syuriyah PWNU Jawa Timur
Selasa, 18 Maret 2014
PENDAPAT ULAMA TENTANG HUKUM ASURANSI
Pengertian Asuransi
Asuransi berasal dari kata assurantie dalam
bahasa Belanda, atau assurance dalam bahasa perancis,
atau assurance/insurance dalam bahasa Inggris. Assurance
berarti menanggung sesuatu yang pasti terjadi, sedang Insurance berarti
menanggung sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi.
Menurut
sebagian ahli asuransi berasal dari bahasa Yunani, yaitu assecurare yang
berarti menyakinkan orang.
Di
dalam bahasa Arab asuransi dikenal dengan istilah : at Takaful,
atau at Tadhamun yang berarti : saling menanggung. Asuransi
ini disebut juga dengan istilah at-Ta’min, berasal dari kata amina, yang
berarti aman, tentram, dan tenang. Lawannya adalah al-khouf, yang
berarti takut dan khawatir. ( al Fayumi, al Misbah al Munir, hlm : 21 )
Dinamakan at Ta’min, karena orang yang melakukan transaksi ini (khususnya
para peserta ) telah merasa aman dan tidak terlalu takut terhadap bahaya yang
akan menimpanya dengan adanya transaksi ini.
Adapun
asuransi menurut terminologi sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang
No. 2 Tahun 1992:
”
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima
premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari
suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan ”
Macam-macam
Asuransi
Para
ahli berbeda pendapat di dalam menyebutkan jenis-jenis asuransi, karena
masing-masing melihat dari aspek tertentu. Oleh karenanya, dalam tulisan ini
akan disebutkan jenis-jenis asuransi ditinjau dari berbagai aspek, baik dari
aspek peserta, pertanggungan, maupun dari aspek sistem yang digunakan :
I. Asuransi ditinjau dari aspek
peserta, maka dibagi menjadi :
1.
Asuransi Pribadi ( Ta’min Fardi ) : yaitu asuransi yang dilakukan oleh
seseorang untuk menjamin dari bahaya tertentu. Asuransi ini mencakup hampir seluruh
bentuk asuransi, selain asuransi sosial
2.
Asuransi Sosial ( Ta’min Ijtima’i ) , yaitu asuransi (
jaminan ) yang diberikan kepada komunitas tertentu, seperti pegawai negri
sipil ( PNS ), anggota ABRI, orang-orang yang sudah pensiun, orang-orang yang
tidak mampu dan lain-lainnya. Asuransi ini biasanya diselenggarakan oleh
pemerintah dan bersifat mengikat, seperti Asuransi Kesehatan ( Askes ),
Asuransi Pensiunan dan Hari Tua ( PT Taspen ), Astek ( Asuransi Sosial Tenaga
Kerja ) yang kemudian berubah menjadi Jamsostek ( Jaminan Sosial Tenaga Kerja),
Asabri ( Asuransi Sosial khusus ABRI ),
asuransi kendaraan, asuransi pendidikan dan lain-lain.
Catatan
: Asuransi Pendidikan adalah suatu jenis asuransi yang memberikan
kepastian / jaminan dana yang akan digunakan untuk biaya pendidikan kelak.
Asuransi Pendidikan ini mempunyai dua unsur yaitu Investasi dan Proteksi.
Investasi bertujuan untuk menciptakan sejumlah dana / nilai tunai agar mampu
mengalahkan laju inflasi, sehingga dana atau nilai tunai yang tercipta bisa
dipakai untuk keperluan dana pendidikan.
Proteksi
mempunyai tujuan memberikan proteksi kesehatan pada diri Anak atau peserta
utama atau tertanggung utama, sehingga apabila terjadi resiko (sakit) maka
asuransi ini yang akan memberikan santunan, tanpa mengurangi dana yang telah
diinvestasikan dalam asuransi pendidikan ini. Dengan adanya proteksi yang
diberikan ini maka dana yang sudah diinvestasikan tidak akan terganggu karena
terjadi suatu resiko. Selain Proteksi terhadap kesehatan anak, asuransi ini
juga memberikan fasilitas berinvestasi, ketika orang tua (penabung) mengalami
resiko, yang selanjutnya pihak perusahaan akan mengambil alih untuk menabungkan
ke rekening anak di rekening asuransi pendidikan ini sampai anak dewasa. Jadi
dengan adanya proteksi ini maka kepastian dana untuk pendidikan senantiasa
tersedia saat dibutuhkan.
II. Asuransi ditinjau dari
bentuknya.
Asuransi ditinjau dari bentuknya
dibagi menjadi dua :
1. Asuransi
Takaful atau Ta’awun. ( at Ta’min at Ta’awuni )
2. Asuransi
Niaga ( at Ta’min at Tijari ) ini mencakup : asuransi kerugian
dan asuransi jiwa.
III. Asuransi ditinjau dari aspek
pertanggungan atau obyek yang dipertanggungkan
Jenis-jenis asuran ditinjau dari
aspek pertanggungan adalah sebagai berikut :
Pertama : Asuransi Umum atau Asuransi Kerugian ( Ta’min
al Adhrar )
Asuransi
Kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang
menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena
bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu
berupa:
Kehilangan nilai pakai atau kekurangan nilainya atau kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.
Kehilangan nilai pakai atau kekurangan nilainya atau kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.
Penanggung
tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung kalau selama jangka waktu
perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang
dipertanggungkan.
Kedua : Asuransi Jiwa. ( Ta’min al Askhas )
Asuransi
jiwa adalah sebuah janji dari perusahaan asuransi kepada nasabahnya bahwa
apabila si nasabah mengalami risiko kematian dalam hidupnya, maka perusahaan
asuransi akan memberikan santunan dengan jumlah tertentu kepada ahli waris dari
nasabah tersebut.
Asuransi jiwa biasanya mempunyai
tiga bentuk [3] :
1.
Term assurance (Asuransi Berjangka)
Term
assurance adalah bentuk dasar dari asuransi jiwa, yaitu polis yang menyediakan
jaminan terhadap risiko meninggal dunia dalam periode
waktu
tertentu.
Contoh
Asuransi Berjangka (Term Insurance) :
- Usia Tertanggung 30 tahun
- Masa Kontrak 1 tahun
- Rate Premi (misal) : 5
permill/tahun dari Uang Pertanggungan
- Uang Pertanggungan : Rp. 100
Juta
- Premi Tahunan yang harus
dibayar : 5/1000 x 100.000.000 = Rp. 500.000
- Yang ditunjuk sebagai penerima
UP : Istri (50%) dan anak pertama (50%)
Bila
tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi
sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada
yang ditunjuk.
2.
Whole Life Assurance (Asuransi Jiwa Seumur Hidup)
Merupakan
tipe lain dari asuransi jiwa yang akan membayar sejumlah uang pertanggungan
ketika tertanggung meninggal dunia kapan pun. Merupakan polis permanen yang
tidak dibatasi tanggal berakhirnya polis seperti pada term assurance. Karena
klaim pasti akan terjadi maka premium akan lebih mahal dibanding premi term
assurance dimana klaim hanya mungkin terjadi. Polis whole life merupakan polis
substantif dan sering digunakan sebagai proteksi dalam pinjaman.
3.
Endowment Assurance (Asuransi Dwiguna)
Pada
tipe ini, jumlah uang pertanggungan akan dibayarkan pada tanggal akhir kontrak
yang telah ditetapkan.
Contoh
Asuransi Dwiguna Berjangka (Kombinasi Term & Endowment)
- Usia Tertanggung 30 tahun
- Masa Kontrak 10 tahun
- Rate Premi (misal) : 85
permill/tahun dari Uang Pertanggungan
- Uang Pertanggungan : Rp. 100
Juta
- Premi yang harus dibayar :
85/1000 x 100.000.000 = Rp. 8.500.000,-
- Yang ditunjuk sebagai penerima
UP : Istri (50%) dan anak pertama (50%)
1. Bila
tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai
penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang
ditunjuk.
2. Bila
tertanggung hidup sampai akhir kontrak, maka tertanggung akan menerima uang
pertanggungan sebesar 100 juta
IV. Asuransi ditinjau dari sistem
yang digunakan.
Asuransi ditinjau dari sistem yang
digunakan, maka menjadi :
1. Asuransi
Konvensional
2.
Asuransi Syariah
Asuransi syariah ( ta’min, takaful,
atau tadhamun ) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara
sejumlah orang /pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / tabarru’ yang
memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad ( perikatan ) yang sesuai dengan syariah.
Pendapat Para Ulama Tentang Asuransi Konvensial
1. Kelompok yang mengharamkan
Ulama pertama yang berbicara
tentang asuransi adalah Muhammad Amin Ibnu ‘Umar yang terkenal dengan sebutan
Ibnu ‘Abidin, seorang ulama Hanafiyah. Dalam kitabnya yang terkenal Hasyiyah
Ibnu ‘Abidin ia mengangkat kasus asuransi keselamatan barang yang diangkut
dengan kapal laut, dimana para pedagang menyewa kapal dari seorang kafir Harbi.
Mereka disamping membayar upah angkutannya juga membayar sejumlah uang untuk
seorang harbi yang berada di negeri asal penyewa kapal yang di sebut “sukarah”
atau premi asuransi, dengan ketentuan apabila baqrang-barang yang di angkut itu
musnah karena kebakaran, atyau bajak laut, atau kapalnya tenggelam maka
penerima uang premi menjadi penanggung, sebagai imbalan dari uang yang diambil
dari para pedagang itu. Menurut Ibnu Abidin dalam kasus semacam itu para
pedagang tidak dibolehkan mengambil uang pengganti atas barang-barangnya yang
musnah. Karena tindakan tersebut termasuk التزام مالم يلزم artinya “ mewajibkan sesuatu yang tidak lazim/wajib”.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh beberapa ulama yang lain, seperti
syaikh Muhammad Bakhit, mufti Mesir, Syaikh Muhammad Al-Ghazali, ulama tokoh
haraki dari Mesir, Syaikh Muhammad Yusuf Al-Qhardhawi, Guru besar Universitas
Qatar, Syaikh Abu Zahrah, Guru Besar
Universitas Kairo Mesir, Muhammad Muslehuddin, Guru Besar Hukum Islam pada
Universitas London, Wahbah Zuhaili, Guru Besar Universitas Damaskus, dan KH Ali
Yafie dari Indonesia.
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa pada hakikatnya akad asuransi termasuk
dalam aqad gharar yaitu suatu akad yang tidak jelas ada tidaknya sesuatu
yang diakadkan. Muhammad Muslehuddin mengatakan bahwa perjanjian asuransi
moderen ditentang oleh ulama dan cendikiawan Islam dengan alasan-alasan sebagai
berikut :
a. Asuransi adalah perjanjian pertaruhan
b. Asuransi merupakan perjudian
c. Asuransi melibatkan urusan yang tidak pasti
d. Asuransi jiwa merupakan suatu usaha yang dirancang untuk meremehkan Iradat
Allah
e. Dalam asuransi jiwa, jumlah premi tidak tetap karena tertanggung tidak akan
mengetahui berapa kali bayaran angsuran yang dapat dilakukan olehnya sampai ia
mati.
f.
Perusahaan asuransi menginvestasikan uang yang
telah dibayar oleh tertanggung dalam bentuk jaminan berbunga. Dalam asuransi
jiwa, apabila tertanggung mati, ia akan mendapat bayaran lebih dari jumlah uang
yang telah dibayarnya. Ini adalah riba
g. Bahwa semua perniagaan asuransi berdasarkan riba dilarang dalam
Islam.
Disamping pendapat para ulama
tersebut, terdapat pula pandangan-pandangan yang dituangkan dalam pendapat
lembaga internasional dan nasional, mu’tamar atau fatwa oleh majelis, majma dan
ormas islam antara lain :
a.
Mu’tamar Ekonomi Islam, yang bersidang pada
pertama kali tahun 1976 di Mekah, dihadiri oleh sekitar 200 ulama, profesor
syariah dan pakar-pakar ekonomi dari berbagai negara muslim. Dalam keputusannya
tentang asuransi, mu’tamar berkesimpulan bahwa asuransi konvensional hukumnya
haram karena mengandung riba dan gharar.
b.
Majma’ Al-Fiqh Al-Islami yang bersidang pada
tahun 1979 di Mekah memutuskan mayoritas ulama berpendapat asuransi jenis
perniagaan hukumnya haram. Baik asuransi jiwa maupun yanag lainnya.
c.
Majma’ Al-Fiqh Al-Islami dalam sidang yang
kedua pada tanggal 28 Desember tahun 1985 di Jeddah memutuskan bahwa asuransi
jenis perniagaan hukumnya tetap haram. Majma’ menyerukan agar seluruh umat
Islam dunia menggunakan asuransi ta’awun.
d.
Fatwa Majlis Ulama Indonesia yang ditandatangani oleh Ketua Umum KH Sahal
Mahfudh dan Sekretaris Umum HM Din Syamsudin, pada prinsipnya menolak asuransi
konvensional, tetapi menyadari reaalita dalam masyarakat bahwa asuransi tidak
dapat dihindari. Oleh karena itu DSN MUI dalam fatwanya memutuskan tentang
Pedoman Umum Asuransi Syariah, antara lain tidak boleh mengandung
gharar(penipuan), maisir (perjudian), riba (bunga), zhulm (penganiayaan),
risywah (suap), barang haram dan maksiat.
2. Kelompok yang membolehkan
Syaikh Abdurahman Isa, Guru Besar
Universitas Al-Azhar, menyatakan bahwa asuransi merupakan bentuk muamalah gaya
baru yang belum dijumpai pada masa imam-imam mazhab dan para sahabat Nabi.
Muamalah ini menghasilkan kemaslahatan ekonomi yang banyak. Para ulama
menetapkan bahwa kepentingan umum yang selaras dengan hukum syara’ patut
diamalkan. Oleh karena asuransi menyangkut kepentingan umum, maka hukumnya
mubah menurut syara’ bahkan dianjurkan. Disamping itu menurut Syaikh Abdurahman
Isa, dalam perjanjian asuransi, kedua belah pihak yaitu penanggung dan
tertanggung saling mengikat dalam perbuatan ini atas dasar saling meridhai.
Kegiatan asuransi merupakan perbuatan yang melayani kepentingan umum,
memelihara harta milik orang-orang, dan menolak risiko harta benda yang
terancam bahaya. Sebaliknya pihak asuransi memperoleh laba yang memadai, yang
disepakati oleh kedua belah pihak. Dengan demikian asuransi hukumnya mubah
menurut syara’.
Pendapat yang sama dikemukakan
oleh ulama-ulama lain, seperti Muhammad Yusuf Musa, Syaikh Abdul Wahhab
Khallaf, keduanya Guru Besar Universitas Kairo, Syaikh Muhammad Al- Bahi, wakil
rektor Universitas Al-Azhar Mesir, Syaikh Muhammad Al-Madani, Syaikh Muhammad
Az-Zarqa dan Ustadz Bahjah Al-Hilmi. Syaikh Muhammad Al- Bahi mengatakan bahwa
asuransi di bolehkan karena beberapa sebab berikut :
a. Asuransi merupakan suatu usaha yang bersifat tolong menolong
b. Asuransi mirip dengan akad mudharabah dan bertujuan menmgembangkan harta
benda
c. Asuransi tidak mengandung unsur riba.
d. Asuransi tidak mengurangi tawakal kepada Allah
e. Asuransi adalah suatu usaha untuk menjamin anggotanya yang jatuh melarat
karena suatu musibah.
f. Asuransi memperluas lapangan kerja baru
Musthafa Ahmad Az-Zarqa berpendapat, jika ada diantara anggota sebuah
asuransi sebelum preminya selesai diangsur, maka kepadanya dibayarkan .penuh
oleh perusahaan asuransi sebesar uang yang telah diperjanjikan. Asuransi
semacam ini tidak mengandung tipuan bagi kedua belah pihak, karena itu hukumnya
syara’ membolehkannya.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas terlihat bahwa masalah asuransi masih merupakan
masalah khilafiyah atau diperselisihkan oleh para ulama. Namun perbedaan
tersebut terjadi ketika di negara-negara muslim belum dibentuk asuransi yang
berdasarkan syariah. Apabila di negara-negara muslim sudah terbentuk asuransi
syariah, maka semua umat Islam yang akan melakukan transaksi asuransi wajib
bermuamalah dengan memasuki asuransi syariah dan tidak ada alasan lagi untuk
menghindarinya. والله اعلم
_________________
Sumber : 1. Hukum asuransi dalam Islam oleh DR. Ahmad Zain An-Najah
2. Fiqh Muamalat oleh Drs. H. Ahmad Wardi Muslich
Rabu, 05 Maret 2014
PENDAPAT ULAMA TENTANG BERMAKMUM MELALUI LAYAR MONITOR DAN ADZAN DENGAN KASET
Sekarang ini
kita hidup pada era informasi dan globalisasi yang ditandai dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkat nikmat Allah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat
kita manfaatkan untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam hidup, termasuk dalam
memanfaatkan hasil teknologi sebagai sarana ibadah.
Pada dasamya,
agama Islam memperbolehkan manusia memanfaatkan hasil teknologi untuk sarana
ibadah, sepanjang hal itu tidak merubah tata cara, substansi atau nilai-nilai
ibadah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jadi, tak ada
masalah dengan pemanfaatan teknologi untuk kemudahan dalam masalah-masalah
kegamaan, karena Islam sendiri adalah sebuah agama yang salah satu prinsip
dasar ajarannya memberikan kemudahan-kemudahan dan tidak mempersulit kepada
umatnya, termasuk dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Sebagaimana telah
difirmankan dalam surat al-Hajj ayat 78:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
(78) الحاج
Artinya:
Dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (AI-Haj,
22:78).
Sahkah shalat
orang yang bermakmum melalui layar monitor ? Di bawah ini dikutipkan penjelasan
syarat – syarat mengikuti imam (bermakmum) yang terdapat di dalam kitab Fathul
Muin halaman 36
Hukum mengumandangkan adzan dengan kaset
Pada dasamya,
adzan boleh dilakukan secara langsung atau melalui kaset rekaman, karena tujuan
utama adzan adalah memberitahukan tentang telah masuknya waktu shalat dan
mensyi'arkan agama Islam melalui kalimat-kalimat dan tata cara yang diajarkan
serta dicontohkan,oleh Rasulullah SAW. dengan niat ikhlas, semata-mata karena
Allah SWT. Sebagaimana dikatakan Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh as- Sunnah:
"Adzan
adalah suatu pemberitahuan tentang telah masuknya waktu shalat yang diucapkan
dengan lafadz¬-lafadz tertentu dan juga merupakan panggilan untuk melaksanakan
shalat berjamaa' ah serta menampakkan syi' ar Islam".
Sungguhpun
demikian, untuk memperoleh fadlilah (keutamaan) suatu ibadah sebagaimana
dicontohkan oleh Rasulullah SAW., maka setiap akan shalat fardhu shalat Jum'
at, kita disunnahkan melaksanakan adzan dan iqamat secara langsung. Sebagaimana
disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Malik ibn
al-Huwairits, sebagai berikut:
عَنْ مَالِكٍ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ....قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ.....وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَالْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ
أَكْبَرُكُمْ
Artinya:
"Dari
Malik bin al-Huwairits berkata bahwa Rasulullah SA W bersabda: Apabila waktu
shalat telah masuk, hendaklah salah seorang di antara kamu mengumandangkan
adzan dan hendaklah yang tertua di antara kamu menjadi imam".
apakah diwajibkan menjawab adzan yang didengar
di televisi atau radio?
Pertanyaan
semacam ini pernah disampaikan kepada Syaikh Dr. Abdul karim al-Hudhair.
Berikut jawaban yang beliau sampaikan,
الحمد لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده. وبعد.
الأذان الصادر من خلال الآلات إما أن يكون حياً ينقل، أذان الحرم ينقل عبر الإذاعة،
أو أذان الجامع الكبير في الرياض مثلاً ينقل عبر إذاعة القرآن مثلاً، فهذا أذان حقيقي
له أحكام الأذان فيجاب، غاية ما هنالك أنه بُلِّغ من لم يسمعه كالمكبر، كمكبر الصوت.
Alhamdulillah
wahdah was shalatu was salamu ‘ala man la nabiyya ba’dah, amma ba’du,
Adzan yang
dikumandangkan melalui alat tertentu ada dua macam:
Pertama, adzan
yang disiarkan secara langsung, seperti adzan Masjidil Haram yang disiarkan
langsung melalui radio, atau adzan Masjid Jami’ di Riyadh, yang disiarkan
langsung melalui Radio Alquran, adzan semacam ini adalah adzan hakiki, yang
dihukumi sebagaimana layaknya adzan, sehingga disyariatkan untuk dijawab.
Paling tidak, adzan ini dikumandangkan agar didengar oleh orang yang tidak bisa
mendengar langsung, sebagaimana pengeras suara.
أما إذا كان على شريط وليس بحيّ، سجل والمؤذن غير موجود، وقد يكون المؤذن ميتاً!
يؤذن المنشاوي الآن في بعض الإذاعات، والمنشاوي مات من سنين، محمود رِفْعت يؤذن وهو
ميت من أربعين سنة، مثل هذا لا يجاب ولا يأخذ حكم الأذان.
والله أعلم.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.
Kedua, adzan
rekaman kaset, dan bukan siaran langsung adzan seseorang, hasil rekaman dan
tidak ada muadzinnya, dan bahkan bisa jadi muadzin yang direkam sudah
meninggal! Misalnya adzannya Shiddiq al-Minsyawi yang dikumandangkan melalui
beberapa radio, padahal al-Minsyawi sudah meninggal beberapa tahun silam, atau
adzannya Mahmud Rif’at padahal beliau sudah meninggal 40 tahun silam, adzan
rekaman semacam ini tidak perlul dijawab dan tidak dihukumi sebagai adzan.
والله اعلم
Langganan:
Postingan (Atom)