Peta Agama-agama Tahun 2010
The Pew Research Center merupakan lembaga non
partisan yang menyediakan berbagai informasi tentang isu, sikap, dan
kecenderungan warga Amerika dan dunia. Lembaga ini melakukan polling, studi
demografi, analisis isi dan berbagai riset ilmu sosial empiris. Salah satu
proyek lembaga ini adalah The Pew Forum on Religion & Public Life, yang
secara berkala mengangkat isu agama dan urusan publik penduduk Amerika dan dunia.
Pada bulan Desember 2012 yang lalu, proyek The Pew Forum on Religion &
Public Life mengeluarkan laporan berjudul “The Global Religious Landscape, A
Report on the Size and Distribution of the World’s Major Religious Groups as of
2010”. Laporan setebal 81 halaman tersebut menyuguhkan beberapa hal, di
antaranya berikut ini.[1]
Pertama, jumlah penduduk dunia yang beragama dan
non agama. Pada tahun 2010, penduduk dunia diperkirakan
berjumlah 6,9 milyar. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5,8 milyar (84%)
berafiliasi ke agama tertentu. Dan dari 230 negara yang diteliti, sebanyak 2,18
miyar (31,5%) beragama Kristen (Protestan dan Katolik), 1,6 milyar (23,2%)
beragama Islam, 1 milyar (15%) beragama Hindu, hampir 500 juta (7,1%) beragama
Budha, 14 juta (0,2%) beragama Yahudi, kurang lebih 400 juta orang (5,9%)
beragama lokal (seperti agama tradisional Afrika dan Aborigin Australia), dan
sekitar 58 juta orang (0,8%) dari penduduk dunia menganut agama lain seperti
Bahai, Shikh, Shinto, Tao, Zoroaster, Wika, dan Tenrikyo.
Sedangkan yang tidak berafiliasi ke agama
tertentu (termasuk di sini adalah orang-orang yang memiliki kepercayaan
tertentu tetapi menyatakan tidak beragama) adalah sebesar 1,1 milyar (16,3%)
dari penduduk dunia. Jika dibandingkan dengan agama-agama di atas, kalangan
yang menyatakan tidak beragama menempati urutan ketiga, setelah Kristen dan
Islam, atau sama dengan jumlah penduduk Katolik dunia.
Kedua, perihal tingkat penyebaran agama-agama. Tingkat penyebaran agama-agama di atas sebagian
besar ada di kawasan Asia-Pasifik. Seperti Hindu (99%), Budha (99%), agama
local atau tradisional (90%) dan agama-agama lain (89%). Tiga perempat penduduk
(76%) yang tidak berafiliasi ke agama apapun juga tinggal di Asia Pasifik,
sebanyak 700 juta di antaranya tinggal di China.
Bagi agama Islam (87-90% adalah sunni dan
10-13% adalah Syiah), sebanyak 62% juga ada di Asia Pasifik, sebanyak 20% ada
di Timur Tengah dan Afrika Utara, dan hampir 16% sisanya tinggal di Sub Sahara
Afrika. Selebihnya, sebanyak 3% tinggal di Eropa, kurang dari 1% tinggal di
Amerika Utara, dan kurang dari 1% tinggal di Amerika Latin dan Karebbia.
Meskipun
mayoritas muslim dunia tinggal di Asia Pasifik, tetapi sebenarnya mereka hanya
24% dari total penduduk di kawasan tersebut. Sebaliknya, di kawasan Timur
Tengah dan Afrika Utara jumlah penduduk muslim mencapai 93%, tetapi mereka
hanya menyumbang 20% dari total jumlah penduduk muslim di dunia.
Ada
10 negara yang merupakan penyumbang terbesar penduduk muslim dunia (mencapai
dua pertiga atau 66%). Yakni, Indonesia (13%), diikuti India (11%), Pakistan
(11%), Bangladesh (8%), Nigeria (5%), Mesir (5%), Iran (5%), Turki (5%),
Algeria (2%) and Maroko (2%).
Sedangkan Agama Kristen tersebar di Eropa
sebanyak 26%, Amerika Serikat 37%, Sub Sahara Afrika 24%, dan Asia Pasifik 13%
juga. Sedangkan Yahudi, sebanyak 44% tinggal di Amerika Utara, dan 41% tinggal
di Timur Tengah dan Afrika Utara (hampir semua tinggal di Israel).
Menurut data yang juga dilansir oleh Pew Research Center
dalam “Global Christianity”, Desember 2011,[1] jika
dibandingkan dengan 100 tahun yang lalu (1910), tingkat persebaran agama
Kristen mengalami perubahan yang signifikan, terutama di benua Eropa. Pada
tahun 1910, dua pertiga orang Kristen tinggal di Eropa. Saat ini, hanya sekitar
seperempat orang Kristen (26%) yang tinggal di Eropa. Saat ini, sebanyak 37%
orang Kristen tinggal di Amerika, 24% tinggal di Sub Sahara Afrika, dan sekitar
13% tinggal di Asia Pasifik.
Jumlah orang Kristen dari 600 juta pada 100 tahun yang lalu
(tahun 1910) menjadi lebih dari 2 milyar tahun 2010. Namun, jumlah penduduk
dunia tumbuh lebih cepat, dari 1,8 milyar tahun 1910 menjadi 6,9 milyar tahun
2010. Dengan demikian, persentase umat Kristen tidak banyak berubah, bahkan
mengalami penurunan dari 35% pada tahun 1910 menjadi 32% pada tahun 2010.
Sehingga, meskipun Amerika dan Eropa mayoritas masih dihuni orang Kristen
(63%), namun sebenarnya itu jauh lebih rendah dari tahun 1910 (sebesar 93%).
Dan proporsi orang Eropa dan Amerika yang beragama Kristen turun dari 95% pada
tahun 1910 menjadi hanya 76% pada tahun 2010 di Eropa, dan dari 96% menjadi 86%
di Amerika.
Secara garis besar, peta persebaran agama-agama di dunia
pada tahun 2010 adalah sebagai berikut: ( Maaf Peta tidak bisa ditampilkan dalam blog ini)
Ketiga, agama-agama sebagai mayoritas dan
minoritas. Hampir tiga
perempat (73%) penduduk dunia tinggal di Negara-negara di mana agama mereka
merupakan kelompok mayoritas. Hanya seperempatnya (27%) yang tinggal sebagai
minoritas. Hindu dan Kristen cenderung tinggal di Negara-negara di mana mereka
merupakan mayoritas. Seperti Hindu, lebih dari 97% adalah tinggal di tiga
negara yang mayoritas beragama Hindu, yakni India, Mauritius, dan Nepal. Dan
hampir 87% agama Kristen ditemukan di 157 negara yang mayoritas penduduknya
beragama Kristen.
Sebagian besar
muslim (73%) dan penduduk non agama (71%) juga tinggal di negara-negara yang
mana mereka merupakan kelompok yang mendekati dominan. Orang muslim merupakan
mayoritas di 49 negara termasuk 19 dari 20 negara berada di Timur Tengah dan
Afrika Utara. Penduduk yang tidak berafiliasi ke agama apapun merupakan
mayoritas di 6 negara, yakni China, Republik Checknya, Estonia, Hongkong,
Jepang, dan Korea Utara.
Agama selainnya, hampir sebagian besar
merupakan minroitas di berbagai negara. Seperti Budha, 72% tinggal sebagai
minoritas, sisanya 28% tinggal di 7 negara di mana Budha merupakan mayoritas,
yakni Bhutan, Burma (Myanmar), Kamboja, Laos, Mongol, Srilanka, dan Thailand.
Keempat, usia para pengikut agama-agama. Dari segi usia pengikut, petanya adalah sebagai
berikut. Muslim sebagian besar diikuti usia 23 tahun, Hindu 26 tahun, keduanya
berada di bawah rata-rata agama dengan pengikutnya yang berusia 28 tahun.
Kristen rata-rata berusia 30 tahun, agama lain-lan 32 tahun, agama local 33
tahun, tanpa afiliasi agama apapun 34 tahun, Budha 34 tahun, dan paling tua
adalah Yahudi 36 tahun. Dengan demikian, agama masa depan adalah Islam.
Peta
Agama-agama Tahun 2050
Philip Jenkins[1]
membuat prediksi tentang agama apa yang paling cepat di dunia dan bagaimana
populasi pemeluknya pada tahun 2050 yang akan datang. Dengan mendasarkan pada
Database Kristiani, ia menyanjung capaian pertumbuhan orang Kristen di Afrika
yang mencapai hampir 5 ribu persen dan Amerika Latin yang mencapai hampir
seribu persen sejak tahun 1900 sampai sekarang. Sedangkan untuk pemeluk
Katholik meningkat 6.700 persen.
Tetapi, Jenkins
mengajak tidak berbangga diri. Karena ada agama Islam yang mengalami
pertumbuhan dengan capaian angka lebih mengagumkan. Pada tahun 1900, sekitar sepertiga penduduk
dunia adalah orang Kristen, pada saat ini proporsi tersebut tidak berubah, dan
diperkirakan tahun 2050 juga demikian. Hal ini jauh berbeda dengan agama Islam.
Pada tahun 1900 ada sekitar 200 - 220 juta orang Islam di dunia (sekitar 13
persen dari total penduduk dunia). Saat ini, umat Islam mencapai sekitar 22,5
persen dan pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 27 persen dari keseluruhan
penduduk bumi. Jika pada tahun 1900 agama Kristen mengalahkan agama Islam
dengan perbandingan 2,8:1 persen, saat ini perbandingannya menjadi 1,5:1
persen, dan pada tahun 2050 akan menjadi 1,3:1 persen. Tinggal menunggu waktu
saja, secara historis kesenjangan jumlah antara kedua agama tersebut akan
hilang.
Jenkins membuat perbandingan pertumbuhan antar
kedua agama tersebut secara dramatis. Umat Kristen sampai sekarang mengalami
pertumbuhan 4 kali lebih banyak dibanding tahun 1900, namun umat Islam telah
tumbuh sekitar tujuh kali lipat dan tersebar di pusat-pusat bersejarah Islam.
Orang Kristen bisa menceritakan kisah sukses pertumbuhan agamanya di belahan
Afrika, tetapi orang Islam lebih bangga lagi karena perumbuhannya menyebar ke
seluruh pusat-pusat bersejarah mereka, seperti di Mesir, Iran, dan Indonesia.
Mengapa hal demikian terjadi? Menurut Jenkins,
hal tersebut disebabkan ada belahan dunia yang memiliki pertumbuhan lebih cepat
dari yang lain. Di berbagai Negara Islam pertumbuhan penduduknya sangat tinggi,
sehingga otomatis pengikut agama Islam tumbuh dengan cepat. Sebaliknya, Eropa
sebagai pusat pemeluk iman Kristiani mengalami perlambatan pertumbuhan
penduduk. Sebagai ilustrasi, jika pada tahun 1900 orang Eropa berjumlah
seperempat populasi dunia, tetapi pada tahun 2050 yang akan datang hanya akan
menjadi 8 persen dari total penduduk dunia.
Prediksi Khadafi
Dalam sebuah
kunjungan ke Italia tanggal 29 Agustus 2010, mantan Presiden Libya, Muammar
Khadafi, mengunjungi Libyan Cultural Center di Roma. Di hadapan 500 perempuan
terpelajar, Khadafi menyatakan bahwa “Islam should
become the religion of all of Europe”.[2]
Dalam kesempatan tersebut, Khadafi juga mengatakan bahwa Eropa beralih ke Islam
sebagai “the last religion” diperkirakan mulai berproses sejak Turki menjadi
bagian dari Uni Eropa.[3]
Pandangan Khadafi tersebut semula
tidak mendapat respon dari manapun, termasuk oleh Sekretaris Konggegrasi
Vatikan untuk Evanggelis, Uskup Agung Robert Sarah, yang enggan berkomentar dan
hanya bilang bahwa pernyataan Khadafi tidak serius (lacked seriousness). Bahkan
menurut Sarah, untuk berbicara benua Eropa akan masuk Islam merupakan hal yang
tidak masuk akal (makes no sense). Dalam sebuah wawancara dengan harian
Italia, La Repubblica, Islam kurang mengancam terhadap warisan Kristen
di Eropa, dibanding dengan iklim relativisme, rendahnya perhatian kepada iman,
kelemahan agama, dan ketidakpedulian kepada yang suci. Ini adalah iklim
sekularisme.[4]
Namun, tampaknya
gagasan Khadafi berproses dan menunjukkan gejala yang membenarkannya.
Pertumbuhan Islam di Eropa sangat cepat. Sebagai contoh Belgia, dari 10 juta
jumlah penduduk, lebih dari 6 persen adalah muslim. Bahkan di jantung Kota
Brussel, pertumbuhannya mencengangkan, dari 17 persen tahun 2000 menjadi 33,5
persen pada tahun 2008 (sekitar 350 ribu dari 1,1 juta penduduk). Islam
dikhawatirkan 20 tahun mendatang akan menjadi agama dominan di ibukota Belgia
tersebut. Prancis lebih mengkhawatirkan, karena menurut pejabat senior Katolik
di Vatikan, Peter Turkson, Prancis akan menjadi Republik Islam pada tahun 2048.[5]
Makin kuatnya Islam
di Eropa dan beberapa negara lain, seperti Amerika, seperti dijelaskan di atas,
disadarai oleh Huntington. Dan karena itu, Huntington menjadikan Islam sebagai
sebuah peradaban yang harus dianggap sebagai lawan tanding terutama terhadap
Barat.
Mari kita cermati
peta the clash of civilization yang dibuat oleh Samuel P Huntington
berikut ini:
Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/File:Clash_of_Civilizations_map.png
Peta tersebut menegaskan posisi seorang muslim,
bukan hanya dalam satu identitas teologis, tetapi juga sebagai identitas
politik dan peradaban di antara “pertarungan” berbagai peradaban seperti yang
diisyaratkan oleh Samuel P. Huntington (1993).[6] Baik Sunni maupun Syiah
sama-sama diidentifikasi sebagai bagian dari peradaban Islam yang berhadapan
dengan peradaban terutama Barat yang “didukung” oleh Kristen dan Konfusionisme
yang menurut Huntington memiliki potensi berhadapan dengan Peradaban
Islam.
Muslim dalam satu peradaban Islam saat ini
“berhadapan” dengan setidaknya dua peradaban besar Barat dan Ketimuran
(Konfusionisme) yang saat ini memang sedang menguasai dunia. Kita memiliki
“musuh” atau “lawan tanding” peradaban yang demikian kuat dan memberikan
pengaruh sangat kuat dalam penentuan arah dunia. Mereka memiliki bukan hanya
ekonomi, melainkan juga kekuatan senjata, dua kekuatan yang saat ini bisa
mendikte atau memaksa negara lain untuk tunduk dan patuh. Negara-negara muslim
sebagian besar termasuk negara yang lemah, baik secara ekonomi atau
persenjataan. Karena kondisi yang lemah tersebut, lemah pula dalam berbagai diplomasi
internasional di tingkat PBB.
Kebijakan Dunia
Barat Terhadap Islam
Percepatan
pertumbuhan Islam di negara-negara seperti Eropa dan Amerika, yang diklaim
sebagai pusat-pusat iman Kristiani, terasa menjadi sebuah trauma akan masuknya
Islam sebagai peradaban yang akan menguasai mereka, seperti terjadi kepada
Spanyol beberapa abad silam. Trauma tersebut didukung oleh berita tidak
simpatik terhadap Islam melalui media televisi, dunia maya, buku, dan koran,
menyebabkan rasa permusuhan terhadap Islam dan kaum muslim menjadi makin
tinggi. Mereka mengalami rasa takut yang mendalam sampai menjadi
ketidaksadaran, tetapi terefleksi dalam persepsi dan tindakan yang
diskriminatif terhadap muslim tanpa alasan yang jelas.
Ada sebuah persepsi dan tindakan yang bisa dikategorikan sebagai
islamofobia. Islamofobia (islamophobia) merupakan prasangka,
kebencian, atau ketakutan irrasional terhadap muslim (orang Islam). Islamophobia
juga merujuk kepada praktik diskriminasi terhadap muslim dengan cara
menyingkirkan muslim dari kehidupan ekonomi, sosial, dan publik dalam sebuah
bangsa. Islamophobia juga memiliki cara pandang bahwa Islam tidak
memiliki nilai seperti halnya kebudayaan lain, Islam lebih rendah dibanding
Barat dan dianggap merupakan agama
kekerasan. Menurut the Commission
on British Muslims and Islamophobia (1997), islamofobia merupakan pandangan dunia
yang dilatar belakangi oleh ketakutan tak beralasan dan ketidaksukaan terhadap
muslim, sehingga terhadap mereka dilakukan praktek-praktek pengucilan dan
diskriminasi. Dan menurut Johannes Kandel (2006), islamofobia merupakan
bagian dari stigma sosial terhadap Islam dan Muslim.[7]
Syed Abdul
Siraj[8]
memberikan gambaran yang cukup lengkap mengenai praktek islamofobia.
Menurutnya, merujuk kepada laporan The British Runnymede Trust (1997),
beberapa persepsi Barat terhadap Islam adalah: bahwa Islam itu inferior
terhadap Barat, barbar, irrasional, primitive, dan seksis. Islam dianggap
sebagai agama yang statis dan tidak responsive terhadap realitas baru, dan
Islam tidak memiliki tujuan atau nilai yang setara dengan budaya lain. Islam
juga dipersepsikan sebagai agama kekerasan, agresif, pendukung terorisme, dan
mengarah kepada perang peradaban. Sedikit sekali pandangana yang menganggap
Islam sebagai kawan aktual maupun potensial untuk bekerjasama mengatasi
berbagai masalah.
Dalam pandangan
Siraj, para elit pemerintahan dan media terlibat dalam propaganda menyebarkan
citra negative tentang Islam. Dan setelah kejadian 11 September 2011, mereka
sering menggunakan retorika yang menyudutkan Islam dan kaum muslim. Seorang
muslim, bagaimanapun sekulernya dia, bagaimanapun taatnya kepada hukum,
pembayar pajak, dan pecinta perdamaian, tetapi karena dia muslim maka
dipersepsikan sebagai teroris, fundamentalis, dan ancaman bagi perdamaian dunia.
Untuk
membuktikan pernyataan tersebut, Siraj menyuguhkan beberapa contoh komentar
para pemimpin Barat tentang
Islam dan Islamofobia. Perhatikan beberapa komentar berikut ini:
Nick Griffen, leader
of the racist, anti-Muslim British National Party: "Muslims are the biggest
problem at present, for several reasons, because they have the highest birth
rate, which means their communities need living space - that's what the ethnic
cleansing is about. They have political corruption in their own countries, and
when they have a chance to get council places they are there for graft. Most
important of all is that Islam is an aggressive religion." (The Guardian,
Jeevan Vasagar, May 30, 2001).
Vladmir Putin, Russian
Prime Minister: "Islamic
Fundamentalism is a danger growing like virus. 'EU/Russia: Is European Silence
On Putin Outburst Good Manners Or Good Politics? (Russia Weekly, Jeremy
Bransten, , 14 November 2002).
Silvio Berlusconi,
Italian Prime Minister: "Europe must revive on the basis of common
Christian roots…” "We should be conscious of the superiority of our
civilization, which consists of a value system that has given people widespread
prosperity in those countries that embrace it, and guarantees respect for human
rights and religion ... This respect certainly does not exist in the Islamic
countries … [the West would] continue to conquer peoples", [as it had]
"already done with the Communist world, and the moderate Arab
states."Berlusconi breaks ranks over Islam, John Hooper and Kate Connolly
in Berlin (The Guardian, September 27, 2001)
George Bush, President of the USA:"Over time it's going to be important for
nations to know they will be held accountable for inactivity …You're either
with us or against us in the fight against terror" (CNN,
6 Nov. 2001)
John Ashcroft, U.S Attorney General:"Islam
is a religion in which God requires you to send your son to die for Him.
Christianity is a faith in which God sends his son to die for you" (Los
Angeles Time, February 16 2002).
October 30, 2006, Jack Straw said he felt
"uncomfortable" speaking to Muslim women wearing the full-face veil
known as the Niqab, calling it a barrier to community relations. Prime Minister
Tony Blair also, trermed the Niqab a "mark of separation."
Sementara itu, menurut
Siraj, media Barat sering memberikan laporan tentang Islam secara tidak benar
disebabkan kebencian terhadap Islam. Factor terbesar dalam penyebaran stereotype
terhadap Islam adalah pilihan kata dalam media yang sering menggunakan istilah
“ekstrimis” atau “teroris”, jarang sekali yang menggunakan istilah lebih netral
seperti “revivalis” atau “progressif”. Media Barat sangat memusuhi dan sering
memotret muslim di Barat sebagai minorotas yang tak berperadaban (uncivilized),
primitive dan menjadi masalah bagi kebudayaan Eropa.
Media Barat dengan
agendanya telah memotret Islam dan isu dunia Islam dari satu sisi menyebabkan
citra negative dalam alam pikiran orang Barat seperti halnya Islam dianggap
sebagai agama ekstrim. Mereka telah mengidentifikasi musuh baru, yakni “Islam
Radikal”, sebagai pengganti perang dingin. Dan karena media pula, maka
terorisme internasional menjadi sinonim bagi Islam. Selain itu, lebih dari 100
film dibuat selama 3 dekade terakhir yang menyuguhkan pandangan bahwa Timur
Tengah, dan itu diarahkan juga ke Islam, adalah teroris. Iran dan Pakistan
merupakan dua Negara yang terutama diidentifikasi sebagai garda depan
fundamentalis dan terorisme.
Propaganda
anti Islam ini, diakui Siraj, memberikan dampak yang sangat buruk bagi
komunitas muslim di Eropa dan Amerika. Islamofobia menyebabkan jutaan muslim di
negara-negara Barat, dengan berbagai alasan, mereka diasingkan dan menjadi
target kebencian dan diskriminasi. Ada banyak warga muslim di Eropa dan Amerika
yang merasakan diisolasi, dikriminalisasi, dan diabaikan. Mereka menjadi subyek
diskriminasi di pasar tenaga kerja, ditempatkan di lokasi-lokasi miskin,
pemuda-pemuda muslim tidak mendapatkan hak yang sama, dan anak-anak dari
minoritas muslim disekolahkan menyebar di tempat-tempat yang berbeda tanpa
persetujuan keluarga mereka. Mereka terus dicurigai, sampai-sampai dalam sebuah
polling, kaum muslim diperlakukan sangat berbeda dan “disarankan” membawa
identitas spesifik agar dikenal sebagai muslim, yang karena itu akan menerima
dampak perlakuan khusus. Dan ada banyak bukti penyerangan terhadap kaum muslim
yang berujung pada kematian warga tak bersalah dan membahayakan harta benda
mereka. Dan bagi perempuan dan gadis muslim, serta anak-anak muslim, mereka
mendapatkan pelecehan di jalan.
Mengapa Islamofobia? Setidaknya ada 2 fenomena
yang menjadi pemicu kuatnya islamofobia di Amerika dan Eropa. Di Amerika,
terutama sejak insiden serangan terhadap Gedeung WTC tanggal 11 September 2001,
kebencian terhadap Islam dan muslim demikian tinggi. Kecurigaan dan berbagai
perlakuan terutama terhadap muslim yang akan masuk ke Amerika demikian tinggi
dan diperketat. Setiap identitas yang mengarah pada Islam lalu mendapat sorotan
dan kecurigaan. Bahkan nama-nama yang berbahasa Arab, terutama yang mengandung
nama “Ahmad”, “Muhammad”, “Abdul” dan semacamanya mengalami kesulitan untuk
mengakses Amerika. Dan, menurut Komisi Hak Asasi Manusi Islam,
setidaknya ada 344 serangan islamofobia dalam waktu 12 bulan setelah serangan
11 September 2001.
Jadi, ada semacam persepsi dan perlakuan yang
ditebar untuk membenci Islam dan muslim. Ada dua hal yang dikembangkan: a)
seolah pelaku penyerangan adalah seorang muslim, dan b) seolah Islam dan muslim
adalah terorisme dan ekstrimisme. Bahkan ketika sampai saat ini (setelah 12
tahun kejadian) tidak pernah ditemukan bukti bahwa pelaku penyerangan adalah
muslim. Ini paralele dengan pernyataan seorang ahli militer Amerika, William
Taylor. Ketika diwawancarai oleh CNN pada tanggal 16 September 2001, Taylor
mengatakan: "There
is no concrete proof as to who has done this (incident) but I think there is a
great possibility that militant Muslims are involved in this." Beberapa hari setelah insiden 11 September
tersebut, Presiden Bush menyatakan “perang salib” (crusade) terhadap terorisme. Di belahan Eropa,
juga muncul banyak komentar yang senada.
Pertanyaan pentingnya adalah mengapa
selang beberapa hari setelah insiden Gedung WTC, tanpa ada bukti dan
penyelidikan yang valid, langsung ada sebuah kesimpulan bahwa yang menjadi
pelaku utama adalah orang-orang muslim. Langsung ada musuh utama peradaban
dunia, yakni muslim, dan para elit pemerintahan dan media memberikan cap kepada
muslim sebagai teroris. Apakah ini tidak lebih dari sebuah propaganda politik
dan ekonomi dunia Barat, seperti Amerika dan Eropa, untuk mendukung tesis the
clash of civilization yang
dikemukakan oleh Samuel Huntington?
Di saat perang
dingin telah usai, disebabkan arus kapitalisme yang juga menyebar di jarring-jaring
Negara komunis-sosialis seperti Rusia (pengganti Uni Sovyet) dan China, perlu
diciptakan ilusi musuh bersama. Ilusi itulah yang coba diwujudkan melalui
berbagai cara. Ketika terjadi insiden 11 September 2001 (siapapun sesungguhnya
sang pelaku dan dalangnya), hal tersebut langsung ditangkap dan sekaligus
menjadi trigger dan
legitimasi bagi teori perang peradaban dengan musuh bersama Islam. Mengapa
Islam, karena secara politik Negara-negara Islam memiliki tingkat lobi paling
lemah, persenjataan yang tidak seberapa, dan posisi ekonomi yang bisa didikte.
Bagaimana Peta Agama-agama di Asia Tenggara dan
Indonesia?
Selanjutnya kita akan masuk pada peta
agama-agama di Asia Tenggara dan secara khusus Indonesia. Negara Asia Tenggara
meliputi 11 negara, yakni: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapor, Thailan,
Timor Leste, Vietnam, Myanmar, Laos, Kamboja, dan Brunei Darussalam. Saya
mencoba mengolah data yang disediakan oleh proyek The Pew Forum on Religion
& Public Life mengeluarkan laporan berjudul “The Global Religious
Landscape, A Report on the Size and Distribution of the World’s Major Religious
Groups as of 2010”. Data tersebut saya olah dan menghasilkan peta sebagai
berikut.
Pertama, letak agama-agama mayoritas di
negara-negara Asia Tenggara. Agama Islam mayoritas ada di Indonesia
(87,2%), Malaysia (63,7%), dan Brunei Darussalam (75,1%). Agama Kristen
(termasuk di dalamnya Katholik) mayoritas ada di negara Filipina (92,6%) dan
Timor Leste (99,6%). Agama Budha mayoritas ada di negara Singapore (33,9%),
Thailand (93,2%), Myanmar (80,1%), Laos (66,0%), dan Kamboja (96,9%). Untuk
Vietnam sebagian besar adalah agama-agama local (45,3%) dan yang tidak
berafiliasi ke agama tertentu (29,6%). Di Laos, sebanyak 30,7 persen
berafiliasi ke agama lokal. Sedangkan bila melihat
tingkat persebaran agama-agama mayoritas di berbagai negara, tampaknya Budha
lebih banyak persebarannya, setidaknya di 5 negara. Islam di 3 negara, dan
Kristen di 2 negara.
Negara
|
Penduduk (2010)
|
Kristen
|
Muslim
|
Tidak Beragama
|
Hindu
|
Budha
|
Agama Lokal
|
Agama Lain
|
Yahudi
|
Indonesia
|
239,870,000
|
9.9
|
87.2
|
<0.1
|
1.7
|
0.7
|
0.3
|
0.1
|
< 0.1
|
Malaysia
|
28,400,000
|
9.4
|
63.7
|
0.7
|
6
|
17.7
|
2.3
|
0.2
|
< 0.1
|
Filipina
|
93,260,000
|
92.6
|
5.5
|
0.1
|
<0.1
|
< 0.1
|
1.5
|
0.1
|
< 0.1
|
Singapore
|
5,090,000
|
18.2
|
14.3
|
16.4
|
5.2
|
33.9
|
2.3
|
9.7
|
< 0.1
|
Thailan
|
69,120,000
|
0.9
|
5.5
|
0.3
|
0.1
|
93.2
|
< 0.1
|
< 0.1
|
< 0.1
|
Temor Leste
|
1,120,000
|
99.6
|
0.1
|
<0.1
|
<0.1
|
< 0.1
|
0.1
|
< 0.1
|
< 0.1
|
Vietnam
|
87,850,000
|
8.2
|
0.2
|
29.6
|
<0.1
|
16.4
|
45.3
|
0.4
|
< 0.1
|
Burma (Myanmar)
|
47,960,000
|
7.8
|
4
|
0.5
|
1.7
|
80.1
|
5.8
|
0.2
|
< 0.1
|
Laos
|
6,200,000
|
1.5
|
< 0.1
|
0.9
|
< 0.1
|
66.0
|
30.7
|
0.7
|
< 0.1
|
Kamboja
|
14,140,000
|
0.4
|
2.0
|
0.2
|
< 0.1
|
96,9
|
0.6
|
< 0.1
|
< 0.1
|
Brunei
|
400,000
|
9.4
|
75.1
|
0.4
|
0.3
|
8.6
|
6.2
|
0.1
|
< 0.1
|
Kedua,
persentase persebaran agama-agama di Asia Tenggara. Jumlah penduduk kesebelas
negara di Asia Tenggara tersebut pada tahun 2010 adalah 579,27 juta jiwa. Jika
kita jumlah cacah jiwa pemeluk agama-agama besar di Asia Tenggara, terutama
Islam, Kristen (termasuk di dalamnya adalah Katholik), Hindu, dan Budha, maka
akan menghasilkan peta pemeluk agama sebagai berikut:
Sedangkan
untuk peta di Indonesia, saya menggunakan “Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan
di Indonesia 2012”, yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Badan Litbang dan
Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012. Data yang digunakan dalam Laporan
tersebut adalah Hasil Sensus Badan Pusat Statistik (BPS). Dan peta agama yang
dimaksud adalah agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Khonghucu, dan
Lainnya.
Dalam
Laporan tersebut, didapatkan data sebagai berikut. Pertama, dari segi jumlah
semua agama mengalami penambahan pengikut. Ini seiring dengan jumlah
penduduk yang bertambah dari 201,24 juta penduduk Indonesia pada tahun 2000
menjadi 237,64 juta pada tahun 2010.
Kedua,
hanya 2 kategori agama yang mengalami peningkatan persentase pemeluk. Yakni, Kristen yang
meningkat dari 5,87% pada tahun 2000 menjadi 6,96% pada tahun 2010; dan Agama
Lainnya (bukan mainstream) dari 0,20% pada tahun 2000 menjadi 0,50% pada
tahun 2010. Sedangkan agama yang lain mengalami penurunan. Islam turun dari
88,22% (2000) menjadi 87,18% (2010). Katholik turun dari 3,05% (2000) menjadi
2,91%. Hindu turun dari 1,81% (2000) menjadi 1,69%. Dan Budha mengalami
penurunan dari 0,84% (2000) menjadi 0,72% (2010).
Kalau
merujuk kepada data yang digunakan The Pew Researh Center (2012), Islam
Indonesia masih berada dalam kisaran 87% pada tahun 2010. Sedangkan penduduk
Kristen adalah sebesar 8,8% dari total penduduk Indonesia, atau menyumbang
sekitar 1% dari keseluruhan jumlah orang Kristen sedunia.[9]
Dengan demikian, posisi Islam memang mengalami penurunan persentase dibanding
tahun-tahun sebelumnya, seperti tahun 2006, dimana Islam masih memiliki
persentase 88,1%, dibanding Kristen yang 77,3%.[10]
Bahkan, menurut
Menteri Agama, Suryadharma Ali, sampai tahun 2012 Islam juga mengalami
penurunan hingga menjadi 85 persen.[11]
Dan
ketiga, jumlah rumah ibadah di Indonesia tidak parallel dengan persentase
jumlah pemeluk agama bersangkutan. Jadi,
tidak ada hubungan proporsi antara persentase jumlah pemeluk dengan jumlah
tempat ibadah agama tersebut. Seperti pemeluk agama Islam yang berjumlah 87,18%
tetapi jumlah tempat ibadah hanya 70,77% dari total jumlah tempat ibadah di
Indonesia yang sebanyak 338.431 buah.
Hal
sebaliknya ada di agama lain, terutama Kristen dan Hindu. Jumlah pemeluk agama
Kristen sebesar 6,96% (2010) tetapi memiliki jumlah tempat ibadah sebanyak
17,78%. Demikian pula Hindu, dengan 1,69% (2010) jumlah pemeluk tetapi memiliki
7,34% dari total jumlah tempat ibadah di Indonesia.
Jumlah Rumah
Ibadah di Indonesia, 2011
Tempat Ibadah
|
Masjid
|
Gereja Kristen
|
Gereja Katholik
|
Pura
|
Vihara
|
Kelenteng
|
Jumlah
|
Jumlah
|
239.497
|
60.170
|
11.021
|
24.837
|
2.354
|
552
|
338.431
|
Persentase
|
70,77%
|
17,78%
|
3,26%
|
7,34%
|
0.70%
|
0.16%
|
100%
|
Data tempat ibadah ini juga dibenarkan oleh
Kepala Pusat Kerukunan Beragama Kemenag RI, Abdul Fatah. Menurut Abdul Fatah,
pada tahun 1997 hingga 2004 jumlah gereja Katolik bertambah 153 persen dari
4.934 menjadi 12.473, gereja Protestan 131 persen dari 18.977 menjadi 43.909,
jumlah vihara bertambah 368 persen dari 1.523 menjadi 7.129, jumlah pura
Hindu naik 475,25 persen dari 4.247 menjadi 24.431, sedangkan masjid
hanya bertambah 64 persen dari 392.044 menjadi 643.843. Jika dibandingkan
antara pemeluk agama dan tempat ibadahnya, kecenderungannya juga sama. Jumlah
umat Islam 207.176.162 sedangkan jumlah masjid 239.497, jumlah umat Kristen
16.528.513 dengan jumlah gereja Kristen 60.170, jumlah umat Katolik 6.907.873
dengan jumlah gereja Katolik 11.021, jumlah umat budha 1.703.254 dengan jumlah
vihara 2.354, jumlah umat Hindu 4.012.116 dengan jumlah pura 24.837, dan jumlah
umat konghucu 117.091 dengan jumlah kelenteng 552. [12]
Bahan Bacaan:
“Laporan
Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2012”, yang diterbitkan oleh
Kementerian Agama Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
2012.
Dalam sebuah
artikel berjudul “The Clash of Civilization” (1993) dan kemudian ditulis dalam
buku dengan judul The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order
(1996), Samuel P. Huntington menyatakan bahwa identitas cultural dan agama akan menjadi sumber utama
konflik paska Perang Dingin. Tulisan
yang semula merupakan tanggapan atas buku Francis Fukuyama berjudul “The End of
History and the Last Man” (1992) ini, Huntington membagi 8 peradaban besar
dalam pertarungan dunia. Yakni, Peradaban Barat, Amerika Latin, Ortodoks, Dunia
Timur (peradaban Budha, China, Hindu, dan Jepang), Dunia Islam (termasuk di
dalamnya Indonesia), Sub Sahara Afrika, Lone Countries (seperti Ethiopia,
Haiti, dan Israel yang meskipun juga cenderung ke Barat), Cleft Country
(seperti India yang berada di antara mayoritas Hindu dan minoritas Muslim). Di
antara 8 peradaban tersebut, yang paling “seru berhadapan” adalah antara
Peradaban Barat, Muslim, dan Ketimuran yang berisi peradaban Budha, China,
Hindu dan Jepang. (http://en.wikipedia.org/wiki/The_Clash_of_Civilizations)