Minggu, 08 Februari 2015

MAYAT DISIKSA DALAM QUBUR KARENA RATAPAN KELUARGANYA



Pertanyaan : Saya membaca di beberapa kitab terdapat hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW,  Nabi bersabda : (إن الميت ليعذب ببكاء أهله عليه) "Mayat Itu Disiksa Sebab Ditangisi keluarganya, padahal di dalam Al-Quran di sebutkan bahwa manusia tidak menanggung kesalahan orang lain  (ولا تزر وازرة وزر أخرى).  Apakah hadits ini sohih? Jika sohih, apa maknanya? Bagaimana mengkompromikan antara hadits tersebut  dan apa yang terdapat dalam Al-Quran?
Jawaban :
Menurut para ulama hadits bahwa hadits tersebut sohih. Hadits tersebut juga dikuatkan dengan hadits-hadits sebagai berikut :
Hadits ibnumajah 1582
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَاذَانُ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْوَلِيدِ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ ح و حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ وَوَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
Orang yg telah meninggal akan disiksa dengan ratapan orang yg masih hidup. [HR. ibnumajah No.1582].
Hadits ibnumajah 1583
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ حُمَيْدِ بْنِ كَاسِبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ الدَّرَاوَرْدِيُّ حَدَّثَنَا أَسِيدُ بْنُ أَبِي أَسِيدٍ عَنْ مُوسَى بْنِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ الْحَيِّ إِذَا قَالُوا وَا عَضُدَاهُ وَا كَاسِيَاهُ وَا نَاصِرَاهُ وَا جَبَلَاهُ وَنَحْوَ هَذَا يُتَعْتَعُ وَيُقَالُ أَنْتَ كَذَلِكَ أَنْتَ كَذَلِكَ قَالَ أَسِيدٌ فَقُلْتُ سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ { وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى } قَالَ وَيْحَكَ أُحَدِّثُكَ أَنَّ أَبَا مُوسَى حَدَّثَنِي عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرَى أَنَّ أَبَا مُوسَى كَذَبَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ تَرَى أَنِّي كَذَبْتُ عَلَى أَبِي مُوسَى
Seorang mayat akan disiksa karena tangisan orang yg masih hidup jika mereka mengatakan; 'Duhai, alangkah butuhnya dia dgn pertolongan, alangkah butuhnya dia dgn perlindungan, siapakah yg akan menolongnya, alangkah beratnya ia', atau perkataan yg semisal yg menggambarkan kegoncangan mereka. Lalu dikatakan, Kamu juga begitu, kamu juga begitu. Usaid berkata, Maka aku berkata, Maha suci Allah, sesungguhnya Allah telah berfirman: (Dan seorang yg berdosa tak akan memikul dosa orang lain) . Dia menjawab, Celaka kamu, aku menceritakan kepadamu, bahwa Abu Musa telah menceritakan kepadaku dari Rasulullah . Apakah kamu menyangka bahwa Abu Musa berdusta atas Nabi , atau kamu mengira bahwa aku berdusta atas Abu Musa! [HR. ibnumajah No.1583].
Hadits ibnumajah 1584
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنَّمَا كَانَتْ يَهُودِيَّةٌ مَاتَتْ فَسَمِعَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْكُونَ عَلَيْهَا قَالَ إِنَّ أَهْلَهَا يَبْكُونَ عَلَيْهَا وَإِنَّهَا تُعَذَّبُ فِي قَبْرِهَا
Keluarganya menangisinya, sementara ia disiksa dalam kuburnya. [HR. ibnumajah No.1584].
Hadist riwayat Imam Bukhori

 أخرجه البخاري ومسلم عن ابن عمر بلفظ: أن حفصة بكت على عمر (أي حين طعن) فقال: مهلا يا ابنتي! ألم تعلمي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: فذكره

وفي رواية: لما طعن عمر أغمى عليه، فصيح عليه، فلما أفاق: قال: أما علمتم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (إن الميت ليعذب ببكاء الحي) ورواه الشيخان أيضا من حديث أنس. ولهما عن عمر: (الميت يعذب في قبره ما نيح عليه)

ورواه الشيخان وأحمد والترمذي عن المغيرة بلفظ: (من نيح عليه يعذب بما نيح عليه


Perangai jahiliyah yang masih melekat pada umat islam

وعن أبي مالك الأشعري رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « أربع في أمتي من أمر الجاهلية لا يتركونهن : الفخر بالأحساب، والطعن في الأنساب، والاستسقاء بالنجوم، والنياحة ». وقال : « النائحة إذا لم تتب قبل موتها تقام يوم القيامة وعليها سربال من قطران ، ودرع من جرب»  (رواه مسلم(.
Dari shahabat Abu Malik Al-Asya’ri -radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah meridhainya)-, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada umatku, ada empat sifat (perangai) Jahiliyyah yang belum mereka tinggalkan. (Sifat-sifat tersebut adalah): (1) berbangga dengan keturunan, (2) mencela nasab, (3) menyandarkan turunnya hujan kepada bintang-bintang, dan (4) Niyahah (meratapi orang yang telah meninggal dunia).” Kemudian Rasulullah bersabda: “Wanita yang meratapi kematian, jika dia tidak bertaubat sebelum ajal menjemputnya, maka kelak pada hari kiamat, dia akan dikenakan pakaian yang terbuat dari lelehan tembaga dan pakaian dari besi dalam keadaan tubuhnya berkudis dan berbau busuk.”

Dengan demikian, meratapi orang yang telah meninggal dengan tangisan yang keras dan menyebut kebaikan-kebaikan si mayit berulang kali. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan  النائحة (orang yang melakukan niyahah). Dalam bentuk mu’annats (jenis wanita), bukan berarti hukum ini berlaku khusus untuk wanita saja, tetapi laki-laki pun masuk dalam konteks hadits tersebut. Kemudian mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan pelaku niyahah ini dalam bentuk mu’annats? Jawabannya adalah karena keumuman / kebanyakan yang melakukan niyahah seperti ini ketika terjadi prosesi kematian adalah wanita. Wallahu A’lam.

Orang yang meratapi mayat jika dia belum bertaubat sebelum meninggalnya, maka dia akan dibangkitkan di yaumul qiyamah dalam keadaan berpakaian dari lelehan tembaga dan memakai pakaian besi yang biasa dipakai untuk berperang. Maksudnya adalah dia akan disiram dengan cairan tembaga yang meleleh kemudian dinyalakan api pada mereka sehingga seperti pakaian tembaga. Bersamaan itu pula baunya sangat busuk dan berkudis. Kondisi yang demikian akan terus dirasakan oleh pelaku niyahah.

Dari pemaparan tersebut tentu unsur bahaya pada niyahah semakin terang adanya, karena niyahah pada jenazah merupakan salah satu karakter Jahiliyyah. Hal ini dimaksudkan karena adanya larangan untuk tasyabbuh dengan orang-orang Jahiliyyah. Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberitakan tentang empat sifat dan perangai Jahiliyyah dalam hadits ini dalam rangka memperingatkan umatnya supaya tidak terjatuh ke dalamnya.
Banyak takwil dan tafsir oleh Al-Hafidz Ibnu Hajjar mengenai hadits tentang Adzab bagi mayit yang ditangisi atau diratapi oleh keluarga (orang yang masih hidup) yang dicantumkan dalam kitabnya “Fathul Bari”antara lain :
Pertama: yang dimaksud dengan “siksa” (adzab) ialah siksa menurut makna bahasa, yakni suatu yang menimbbulkan kesedihan. Bukan siksa atau adzab di akhirat. Seorang mayit akan merasa sangat pedih melihat kesedihan keluarga yang ditinggal atau orang yang masih hidup.
Kedua: makna siksa dalam hal itu dalah kecaman malaikat terhadap si mayyit karena ia dibuat menderita oleh keluarganya sendiri atau orang yang meratapinya.
Ktiga:makna hadits tersebut, menurut Al-Bukhori dan ia meyakini kebenarannya, yang dimaksud “menangis” dalam hal itu ialah “meratap” dan yang dimaksud mayit adalah “orang yang meninggal dunia “ pada masa hidupnya memberi contoh buruk membiarkan keluarganya biasa meratapi orang mati, tanpa mennghiraukan larangan syara’ mengenai hal itu. Sebagai dalil Bukhori menyebut beberapa ayat suci dan hadits (sebagaimana tersebut dalam “tarjamah Baba al-Maghaziy”) antara lain:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka

كلكم راع وكلكم مسئو ل عن رعيّته
Kalian Semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab apa yang ia pmpin.i”(Muttafaqun alaih)
Sejalan dengan nash tersebut mayit disiksa di dalam kubur karena ia meremehkan pendidikan dan penngajaran bagi keluarganya, atau karena kelemahan rasa tanggung jawabnya atas keluarga yang di amanatkan Allah SWT. Kepadanya. Ialah yang diperintah Allah menjaga mereka dari adzab neraka sebagaimana ia menjaga dirinya sendiri, karena itu adzab yang yang di deritanya bukan karena dosa atau kesalahan nya sendiri. Ia menanggung akibat kesalahan atau dosa orang lain.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa kebiasaan ini sama atau sesuai dengan kebiasaan orang arab pada masa jahiliyah yang berpesan kepada keluarganya untuk menangisinya apabila ia sudah mati.
Masih ada keterangan yang disebut oleh Al-‘Alamah Al-Manawiy didalam “Al-Faidh” yang mengatakan bahwa yang dimaksud mayyit dalam hadits-hadits yang mengenai masalah itu ialah orang yang sedang menghadapi detik-detik kematiannya. Sedangkan yang dimaksud dengan siksa dalam kaitan itu ialah, jika pada saat-saat terakhir hidupnya orang-orang disekitannya berteriak-teriak gaduh atau meratap-ratap. Hal itu jelas menambah kesedihannya dan lebih memberatkan sakaratul maut . dengan demikian orang yang sedang menghadapi ajal itu benar-benar merasa tersiksa.
Al-Iraqy berkata: “lebih baik kalau dikatakan saja, bahwa suara ratap tangis itu sendiri sudah merupakan siksaan bagai orang yang sedang menghadapi ajal. sama halnya dengan perasaan kita pada saat kita mendengar anak kecil menangis melolong-lolong. Hadits itu menurut lahirnya tidak menyebut suatu kekhususan (jenis adzab) pendapat demikian itu dibenarkan oleh al-Kirmaniy”
Dengan demikian maka kata siksa dalam hal itu bermakna menurut bahasa. Sedangkan kata “Mayyit” ditafsirkan orang yang menghadapi ajal. jelaslah bagai kita bahwa hadits tersebut tidak bertentangn dengan al-quran mengenai prinsip-prinsip pertanggung jawaban setiap orang atas pertanggung jawabannya sendiri. Kebenaran hadits tersebut tidak perlu di ingkari karena banyak penafsirannya yang tepat.
Menangisi jenazah karena sayang kepadanya dan sedih karena kepergiannya adalah perkara yang wajar dan biasa bagi manusia. Karenanya Islam membenarkannya dan tidak melarangnya, karena hal itu sudah menjadi tabiat dasar manusia. Hanya saja, yang namanya tabiat pasti ada batasnya, dan semua tabiat yang sudah melewati batasnya tidak bisa ditolerir dalam Islam. Misalnya sifat marah, tertawa, bergurau, dan seterusnya yang masih bisa dibenarkan selama dia masih dalam batas yang wajar.
Demikian halnya menangisi jenazah, kapan dia melewati batas keluar dari batasan tabiat menjadi ratapan atau raungan maka itu sudah menjadi tangisan yang diharamkan dalam Islam karena menunjukkan ketidaksabaran pelakunya dalam menghadapi takdir Allah Ta’ala. Akan tetapi selama dalam batas yang wajar, maka sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri -bersamaan dengan tingginya beliau dan sempurnanya keridhaan beliau terhadap takdir Allah- telah menangisi anak dan cucu beliau ketika keduanya meninggal. Bahkan bisa dikatakan menangisi orang yang jenazah dengan tangisan yang wajar menunjukkan adanya kasih sayang di dalam hati orang tersebut. Dan itu menunjukkan kabar gembira yang lain, yaitu Allah Ta’ala akan senantiasa merahmati orang yang di dalam hatinya ada sifat rahmat dan kasih sayang dan memegang kuat terhadap prinsip إنا لله و إنا إليه راجعون  , Sehingga terkesan tidak ber-tasyabbuh pada kaum jahiliyyah.
Hadis nabi tersebut bersifat antisipatif dalam kelompok (namun lebih baik bila dimulai dari personal individual), sehingga penerapannya dalam individual bisa lebih sejati dengan adanya inisiatif antara sesama muslim, terutama dilingkungan keluarga. Karena pelimpahan siksaan akibat tangisan tidak hanya pada mayat saja, lebih jauh dari hal tersebut, yang meratapi/menagisi tersebut juga bisa dilimpahkan siksaan tersebut akibat kekeliruannya sendiri.
Sumber : 
kangmuz.wordpress.com
http://www.mutiarahadits.com/