Pertanyaan : Saya membaca di beberapa kitab terdapat
hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW,
Nabi bersabda : (إن الميت ليعذب ببكاء أهله عليه) "Mayat Itu Disiksa Sebab
Ditangisi keluarganya, padahal di dalam Al-Quran di sebutkan bahwa manusia tidak menanggung kesalahan
orang lain (ولا تزر وازرة وزر أخرى). Apakah hadits ini sohih? Jika sohih, apa
maknanya? Bagaimana mengkompromikan antara hadits tersebut dan apa yang terdapat dalam Al-Quran?
Jawaban
:
Menurut para ulama hadits bahwa hadits tersebut sohih. Hadits tersebut juga dikuatkan dengan hadits-hadits sebagai berikut :
Menurut para ulama hadits bahwa hadits tersebut sohih. Hadits tersebut juga dikuatkan dengan hadits-hadits sebagai berikut :
Hadits
ibnumajah 1582
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَاذَانُ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمُحَمَّدُ
بْنُ الْوَلِيدِ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ ح و حَدَّثَنَا نَصْرُ
بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ وَوَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ قَالُوا
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ ابْنِ
عُمَرَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
Hadits
ibnumajah 1583
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ حُمَيْدِ
بْنِ كَاسِبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ الدَّرَاوَرْدِيُّ
حَدَّثَنَا أَسِيدُ بْنُ أَبِي أَسِيدٍ عَنْ مُوسَى بْنِ أَبِي مُوسَى
الْأَشْعَرِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ الْحَيِّ إِذَا قَالُوا وَا عَضُدَاهُ وَا
كَاسِيَاهُ وَا نَاصِرَاهُ وَا جَبَلَاهُ وَنَحْوَ هَذَا يُتَعْتَعُ وَيُقَالُ
أَنْتَ كَذَلِكَ أَنْتَ كَذَلِكَ قَالَ أَسِيدٌ فَقُلْتُ سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ يَقُولُ { وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى } قَالَ وَيْحَكَ
أُحَدِّثُكَ أَنَّ أَبَا مُوسَى حَدَّثَنِي عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرَى أَنَّ أَبَا مُوسَى كَذَبَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ تَرَى أَنِّي كَذَبْتُ عَلَى أَبِي مُوسَى
Seorang
mayat akan disiksa karena tangisan orang yg masih hidup jika mereka mengatakan;
'Duhai, alangkah butuhnya dia dgn pertolongan, alangkah butuhnya dia dgn
perlindungan, siapakah yg akan menolongnya, alangkah beratnya ia', atau
perkataan yg semisal yg menggambarkan kegoncangan mereka. Lalu dikatakan, Kamu
juga begitu, kamu juga begitu. Usaid berkata, Maka aku berkata, Maha suci
Allah, sesungguhnya Allah telah berfirman: (Dan seorang yg berdosa tak akan
memikul dosa orang lain) . Dia menjawab, Celaka kamu, aku menceritakan
kepadamu, bahwa Abu Musa telah menceritakan kepadaku dari Rasulullah . Apakah
kamu menyangka bahwa Abu Musa berdusta atas Nabi , atau kamu mengira bahwa aku
berdusta atas Abu Musa! [HR. ibnumajah
No.1583].
Hadits
ibnumajah 1584
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنَّمَا كَانَتْ يَهُودِيَّةٌ مَاتَتْ فَسَمِعَهُمْ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْكُونَ عَلَيْهَا قَالَ إِنَّ
أَهْلَهَا يَبْكُونَ عَلَيْهَا وَإِنَّهَا تُعَذَّبُ فِي قَبْرِهَا
Keluarganya
menangisinya, sementara ia disiksa dalam kuburnya. [HR. ibnumajah
No.1584].
Hadist riwayat Imam Bukhori
أخرجه البخاري ومسلم عن ابن عمر بلفظ: أن حفصة
بكت على عمر (أي حين طعن) فقال: مهلا يا ابنتي! ألم تعلمي أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم قال: فذكره
وفي رواية: لما طعن عمر أغمى عليه، فصيح
عليه، فلما أفاق: قال: أما علمتم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (إن الميت
ليعذب ببكاء الحي) ورواه الشيخان أيضا من حديث أنس. ولهما عن عمر: (الميت يعذب في
قبره ما نيح عليه)
ورواه الشيخان وأحمد والترمذي عن المغيرة
بلفظ: (من نيح عليه يعذب بما نيح عليه
Perangai jahiliyah yang masih
melekat pada umat islam
وعن أبي مالك الأشعري رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم قال : « أربع في أمتي من أمر الجاهلية لا يتركونهن : الفخر بالأحساب،
والطعن في الأنساب، والاستسقاء بالنجوم، والنياحة ». وقال : « النائحة إذا لم تتب
قبل موتها تقام يوم القيامة وعليها سربال من قطران ، ودرع من جرب» (رواه
مسلم(.
Dari shahabat Abu Malik Al-Asya’ri
-radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah meridhainya)-, bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada umatku, ada empat sifat (perangai)
Jahiliyyah yang belum mereka tinggalkan. (Sifat-sifat tersebut adalah): (1) berbangga
dengan keturunan, (2) mencela nasab, (3) menyandarkan turunnya hujan kepada
bintang-bintang, dan (4) Niyahah (meratapi orang yang telah meninggal dunia).”
Kemudian Rasulullah bersabda: “Wanita yang meratapi kematian, jika dia tidak
bertaubat sebelum ajal menjemputnya, maka kelak pada hari kiamat, dia akan
dikenakan pakaian yang terbuat dari lelehan tembaga dan pakaian dari besi dalam
keadaan tubuhnya berkudis dan berbau busuk.”
Dengan demikian, meratapi orang yang
telah meninggal dengan tangisan yang keras dan menyebut kebaikan-kebaikan si
mayit berulang kali. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan
النائحة (orang yang melakukan niyahah). Dalam bentuk mu’annats (jenis wanita), bukan berarti hukum
ini berlaku khusus untuk wanita saja, tetapi laki-laki pun masuk dalam konteks
hadits tersebut. Kemudian mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
menyebutkan pelaku niyahah ini dalam bentuk mu’annats? Jawabannya adalah karena
keumuman / kebanyakan yang melakukan niyahah seperti ini ketika terjadi prosesi
kematian adalah wanita. Wallahu A’lam.
Orang yang meratapi mayat jika dia
belum bertaubat sebelum meninggalnya, maka dia akan dibangkitkan di yaumul
qiyamah dalam keadaan berpakaian dari lelehan tembaga dan memakai pakaian besi
yang biasa dipakai untuk berperang. Maksudnya adalah dia akan disiram dengan
cairan tembaga yang meleleh kemudian dinyalakan api pada mereka sehingga
seperti pakaian tembaga. Bersamaan itu pula baunya sangat busuk dan berkudis.
Kondisi yang demikian akan terus dirasakan oleh pelaku niyahah.
Dari pemaparan tersebut tentu unsur
bahaya pada niyahah semakin terang adanya, karena niyahah pada jenazah
merupakan salah satu karakter Jahiliyyah. Hal ini dimaksudkan karena adanya
larangan untuk tasyabbuh dengan orang-orang Jahiliyyah. Selain itu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memberitakan tentang empat sifat dan perangai
Jahiliyyah dalam hadits ini dalam rangka memperingatkan umatnya supaya tidak
terjatuh ke dalamnya.
Banyak takwil dan tafsir oleh
Al-Hafidz Ibnu Hajjar mengenai hadits tentang Adzab bagi mayit yang ditangisi
atau diratapi oleh keluarga (orang yang masih hidup) yang dicantumkan dalam
kitabnya “Fathul Bari”antara lain :
Pertama: yang dimaksud dengan “siksa” (adzab) ialah siksa
menurut makna bahasa, yakni suatu yang menimbbulkan kesedihan. Bukan siksa atau
adzab di akhirat. Seorang mayit akan merasa sangat pedih melihat kesedihan
keluarga yang ditinggal atau orang yang masih hidup.
Kedua: makna siksa dalam hal itu dalah kecaman malaikat terhadap si
mayyit karena ia dibuat menderita oleh keluarganya sendiri atau orang yang
meratapinya.
Ktiga:makna hadits tersebut, menurut Al-Bukhori dan ia meyakini
kebenarannya, yang dimaksud “menangis” dalam hal itu ialah “meratap” dan yang
dimaksud mayit adalah “orang yang meninggal dunia “ pada masa hidupnya memberi
contoh buruk membiarkan keluarganya biasa meratapi orang mati, tanpa
mennghiraukan larangan syara’ mengenai hal itu. Sebagai dalil Bukhori menyebut
beberapa ayat suci dan hadits (sebagaimana tersebut dalam “tarjamah Baba
al-Maghaziy”) antara lain:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka
كلكم
راع وكلكم مسئو ل عن رعيّته
“Kalian Semua adalah pemimpin
dan setiap pemimpin bertanggung jawab apa yang ia pmpin.i”(Muttafaqun alaih)
Sejalan dengan nash tersebut mayit
disiksa di dalam kubur karena ia meremehkan pendidikan dan penngajaran bagi
keluarganya, atau karena kelemahan rasa tanggung jawabnya atas keluarga yang di
amanatkan Allah SWT. Kepadanya. Ialah yang diperintah Allah menjaga mereka dari
adzab neraka sebagaimana ia menjaga dirinya sendiri, karena itu adzab yang yang
di deritanya bukan karena dosa atau kesalahan nya sendiri. Ia menanggung akibat
kesalahan atau dosa orang lain.
Sebagaimana yang telah dijelaskan
bahwa kebiasaan ini sama atau sesuai dengan kebiasaan orang arab pada masa
jahiliyah yang berpesan kepada keluarganya untuk menangisinya apabila ia sudah
mati.
Masih ada keterangan yang disebut
oleh Al-‘Alamah Al-Manawiy didalam “Al-Faidh” yang mengatakan bahwa yang
dimaksud mayyit dalam hadits-hadits yang mengenai masalah itu ialah orang yang
sedang menghadapi detik-detik kematiannya. Sedangkan yang dimaksud dengan siksa
dalam kaitan itu ialah, jika pada saat-saat terakhir hidupnya orang-orang
disekitannya berteriak-teriak gaduh atau meratap-ratap. Hal itu jelas menambah
kesedihannya dan lebih memberatkan sakaratul maut .
dengan demikian orang yang sedang menghadapi ajal itu benar-benar merasa
tersiksa.
Al-Iraqy berkata: “lebih baik kalau
dikatakan saja, bahwa suara ratap tangis itu sendiri sudah merupakan siksaan
bagai orang yang sedang menghadapi ajal. sama halnya dengan perasaan kita pada
saat kita mendengar anak kecil menangis melolong-lolong. Hadits itu menurut
lahirnya tidak menyebut suatu kekhususan (jenis adzab) pendapat demikian itu
dibenarkan oleh al-Kirmaniy”
Dengan demikian maka kata siksa
dalam hal itu bermakna menurut bahasa. Sedangkan kata “Mayyit” ditafsirkan
orang yang menghadapi ajal. jelaslah bagai kita bahwa hadits tersebut tidak
bertentangn dengan al-quran mengenai prinsip-prinsip pertanggung jawaban setiap
orang atas pertanggung jawabannya sendiri. Kebenaran hadits tersebut tidak
perlu di ingkari karena banyak penafsirannya yang tepat.
Menangisi jenazah karena sayang
kepadanya dan sedih karena kepergiannya adalah perkara yang wajar dan biasa
bagi manusia. Karenanya Islam membenarkannya dan tidak melarangnya, karena hal
itu sudah menjadi tabiat dasar manusia. Hanya saja, yang
namanya tabiat pasti ada batasnya, dan semua tabiat yang sudah melewati
batasnya tidak bisa ditolerir dalam Islam. Misalnya sifat marah, tertawa,
bergurau, dan seterusnya yang masih bisa dibenarkan selama dia masih dalam
batas yang wajar.
Demikian halnya menangisi jenazah,
kapan dia melewati batas keluar dari batasan tabiat menjadi ratapan atau
raungan maka itu sudah menjadi tangisan yang diharamkan dalam Islam karena
menunjukkan ketidaksabaran pelakunya dalam menghadapi takdir Allah Ta’ala. Akan
tetapi selama dalam batas yang wajar, maka sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam sendiri -bersamaan dengan tingginya beliau dan sempurnanya keridhaan
beliau terhadap takdir Allah- telah menangisi anak dan cucu beliau ketika
keduanya meninggal. Bahkan bisa dikatakan menangisi orang yang jenazah dengan
tangisan yang wajar menunjukkan adanya kasih sayang di dalam hati orang
tersebut. Dan itu menunjukkan kabar gembira yang lain, yaitu Allah Ta’ala akan
senantiasa merahmati orang yang di dalam hatinya ada sifat rahmat dan kasih
sayang dan memegang kuat terhadap prinsip إنا لله و إنا إليه راجعون , Sehingga
terkesan tidak ber-tasyabbuh pada kaum
jahiliyyah.
Hadis nabi tersebut bersifat
antisipatif dalam kelompok (namun lebih baik bila dimulai dari personal
individual), sehingga penerapannya dalam individual bisa lebih sejati dengan
adanya inisiatif antara sesama muslim, terutama dilingkungan keluarga. Karena
pelimpahan siksaan akibat tangisan tidak hanya pada mayat saja, lebih jauh dari
hal tersebut, yang meratapi/menagisi tersebut juga bisa dilimpahkan siksaan
tersebut akibat kekeliruannya sendiri.
Sumber :
kangmuz.wordpress.com
http://www.mutiarahadits.com/