Rabu, 11 Februari 2015

PERTEMUAN 1. PENGERTIAN FIQH, SEJARAH PERKEMBANGANNYA DAN MASALAH THAHARAH



  1. PENGERTIAN FIQH
Fiqh (الفقه) adalah bahasa Arab dalam bentuk mashdar (kata dasar) yang fi’il-nya (kata kerjanya) adalah فقه  يفقه  فقها. Kata fiqh semula berarti العلم (pengetahuan) dan  الفهم (pemahaman). Al-fiqh, al-‘ilm dan al-fahm merupakan kata-kata yang sinonim. Dalam bahasa Arab dikatakan:
فلان  يفقه  الخير  و الشر
“Si fulan mengetahui dan memahami kebaikan dan keburukan”.

Al-Jurjani mengatakan bahwa al-Fiqh menurut bahasa berarti:
فهم  غرض  المتكلم  عن  كلامه
“Memahami maksud pembicara dari perkataannya”.

Imam muhammad Abu Zahrah sedikit membedakan antara lafadz “al-Fiqh” dengan “al-Fahm”. Beliau mengatakan bahwa al-Fiqh berarti:
الفهم العميق  النافذ  الذي  يتعرف  عليك الأقوال والأفعال
“Pemahaman yang mendalam lagi tuntas yang dapat menunjukkan tujuan dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan”.

Dalam al-Qur’an banyak digunakan kata al-Fiqh dengan arti mengetahui dan memahami secara umum, sebagaimana tersebut di atas dengan berbagai perubahan bentuknya, di antaranya adalah:

فما ل هؤلاء  القوم  لا يكادون  يفقهون  حديثا
“Mengapa kaum munafiq itu hampir tidak dapat memahami hakikat kebenaran…”. (QS. Al-Nisa`: 78)

قالوا  يا  شعيب  ما نفقه  كثيرا  مما تقول
“…Mereka berkata: Hai Syu’aib, kami tidak begitu mengerti tentang apa yang engkau bicarakan…”. (QS. Hud: 91)

وطبع  علي  قلوبهم  فهم لا يفقهون
“…Karena itu Tuhan menutup hatinya, sehingga mereka tidak mengerti”. (QS. Al-Taubah: 87)

فلولا نفر  من كل فرقة  منهم طائفة  ليتفقهوا  في  الدين
“…Mengapa tidak berangkat pula dari tiap-tiap golongan itu satu rombongan lain untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama…” (QS. Al-Taubah: 122)

Demikian pula sabda Rasulullah SAW:
من يرد  الله  خيرا  يفقهه في  الدين
“Barang siapa dikehendaki Allah mendapat kebaikan, niscaya Allah akan berikan kepadanya mengerti tentang agama”.

Jelaslah bahwa kata al-Fiqh menurut bahasa, dari semua ayat dan hadits di atas, berarti pengetahuan, pemahaman dan pengertian terhadap sesuatu secara mendalam. Pengertian secara bahasa ini sangat luas karena meliputi aqidah, ‘ibadah, mu’amalah dan akhlak.

Secara istilah (terminologi), fiqh didefinisikan secara eksklusif yang terbatas pada hukum-kuhum yang praktis (‘amali) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili). Definisi tersebut bisa dilihat berikit ini:
Imam Abu Zahrah mengatakan bahwa al-Fiqh adalah:
العلم  بالأحكام  الشرعية  العملية  من  أدلتها التفصيلية
“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali)yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.

Abdul Wahab Khalaf mengemukakan bahwa al-Fiqh adalah:
العلم  بالأحكام  الشرعية  العملية  المكتسبة   من  أدلتها التفصيلية
 “Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali) yang diusahakan dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.

Imam Abu Hamid al-Ghazali (wafat tahun 5O5 H) mendefinisikan al-Fiqh sebagai ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang ditetapkan secara khusus bagi perbuatan-perbuatan para manusia (mukallaf) seperti wajib, haram, mubah, sunnah, makruh, perjanjian/aqad yang sahih (sah), perjanjian/aqad yang fasid(rusak) dan yang batal, serta menerangkan tentang ibadah yang dilaksanakan secara qada’(pelaksanaannya di luar ketentuan waktunya) dan hal-hal lain semacamnya.
Jadi, hukum-hukum syara’ yang praktis yang lahir sebagai hasil dari dalil-dalil yang terperinci itu dinamakanal-Fiqh, baik ia dihasilkan dengan melalui ijtihad ataupun secara langsung hasil pemahaman terhadap teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Jelaslah bahwa hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah dan akhlak tidak termasuk dalam pembahasan ilmu fiqih.

Pada zaman Rasulullah S.A.W., hukum-hukum diambil dari wahyu (al-Quran) dan penjelasan oleh Rasulullah (as-Sunnah). Segala masalah yang timbul akan dirujuk kepada Rasulullah S.A.W. dan beliau akan menjawab secara terus berdasarkan ayat al-Quran yang diturunkan atau penjelasan nabi sendiri. Namun, terdapat sebagian Sahabat yang tidak dapat merujuk kepada Nabi lantaran berada di tempat yang jauh, misalnya Muaz bin Jabal yang diutuskan ke Yaman. Nabi SAW membenarkan Muaz berijtihad dalam perkara yang tidak ditemui ketentuan di dalam al-Quran dan as-Sunnah.

Setelah Rasulullah S.A.W. wafat, masalah yang timbul dirujuk kepada para Sahabat. Mereka mampu mengistinbat hukum dari al-Quran dan as-Sunnah kerena:

a. Penguasaan bahasa Arab yang baik;
b. Mempunyai pengetahuan mengenai sabab an-nuzul sesuatu ayat atau sabab wurud al-hadis;
c. Mereka merupakan para Perawi Hadis.

Hal ini menjadikan para Sahabat mempunyai kepakaran yang cukup untuk mengistinbatkan hukum-hukum. Mereka menetapkan hukum dengan merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah. Sekiranya mereka tidak menemui ketetapan hukum tentang sesuatu masalah, mereka akan berijtihad dengan menggunakan kaidah qias. Inilah cara yang dilakukan oleh para mujtahid dalam kalangan para Sahabat seperti Saidina Abu Bakar as-Siddiq, Saidina Umar bin al-Khattab, Saidina Uthman bin Affan dan Saidina Ali bin Abu Talib. Sekiranya mereka mencapai kata sepakat dalam sesuatu hukum maka berlakulah ijma’.
Pada zaman ini, pengambilan hukum tidak jauh berbeda dengan zaman Sahabat kerana jarak masa mereka dengan kewafatan Rasulullah S.A.W. tidak terlalu jauh. Yang membedakannya ialah sekiranya sesuatu hukum tidak terdapat dalam al-Quran, as-Sunnah dan al-Ijma’, mereka akan merujuk kepada pandangan para Sahabat sebelum berijtihad. Oleh sebab itu ide untuk menyusun ilmu Usul al-Fiqh belum lagi muncul ketika itu. Inilah cara yang digunakan oleh para mujtahid dalam kalangan tabi’in seperti Sa’id bin al-Musayyib, ‘Urwah bin az-Zubair, Al-Qadi Syarih dan Ibrahim an-Nakha’i.

Pada akhir Kurun Kedua Hijrah, keadaan umat Islam semakin berubah. Bilangan umat Islam bertambah ramai sehingga menyebabkan berlakunya percampuran antara orang Arab dan bukan Arab. Kesannya, penguasaan bahasa Arab dalam kalangan orang-orang Arab sendiri menjadi lemah. Ketika itu timbul banyak masalah baru yang tiada ketentuan hukumnya dalam al-Quran dan as-Sunnah secara jelas. Hal ini menyebabkan para ulama’ mulai menyusun kaedah-kaedah tertentu yang dinamakan ilmu Usul al-Fiqh untuk dijadikan landasan kepada ijtihad mereka.
Ilmu Usul al-Fiqh disusun sebagai satu ilmu yang tersendiri di dalam sebuah kitab berjudul ar-Risalah karangan al-Imam Muhammad bin Idris as-Syafie. Kitab ini membincangkan tentang al-Quran dan as-Sunnah dari segi kehujahan serta kedudukan kedua-duanya sebagai sumber penentuan hukum.

  1. Sejarah perkembangan Fiqh
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer. Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sebenarya bisa dibagi dalam dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:


  1. Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syariat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
  1. Periode al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing.

Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.

  1. Periode awal pertumbuhan fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidin (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di Irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di Irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud mengikuti pola yang telah di tempuh Umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil Umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas'ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra'yi). Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadits. Ibnu Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha'i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman. Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi'in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Sauri.

  1. Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi di kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa' (Yang disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Di samping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadits dan ra'yu. Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.

  1. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.

Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
- Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
- Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
- Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.

Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.

  1. Periode kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut.
Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
1. Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut.
2. Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
3. Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi

  1. MASALAH THAHARAH
  1. Pengertian Thaharah
Taharah menurut bahasa berasal dari kata طهور (Thohur), artinya  bersuci atau  bersih.Menurut istilah adalah bersuci dari hadas, baik hadas besar maupun hadas kecil dan bersuci dari najis yang meliputi badan, pakaian, tempat, dan benda-benda yang terbawa di badan.Taharah merupakan anak kunci dan syarat sah salat. Dalam kesempatan lain Nabi SAW juga bersabda:

قال عليه الصلاة والسلام: مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ أَلطَّهَارَةُ، وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ، وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ

“Nabi Bersabda: Kuncinya shalat adalah suci, penghormatannya adalah takbir dan perhiasannya adalah salam.”

Hukum taharah ialah Wajib  atas tiap-tiap mukallaf lelaki dan perempuan. Dalam hal ini banyak ayat Al qur`an dan hadist Nabi Muhammad saw, menganjurkan agar kita senantiasa menjaga kebersihan lahir dan batin. Firman Allah Swt :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (٢٢٢)
Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang suci lagi bersih”. (QS Al Baqarh:222)
 
Selain ayat al qur`an tersebut, Nabi Muhammad SAW bersabda.
النظافة من الايمان (رواه مسلم)
Artinya : “Kebersihan itu adalah sebagian dari iman.”(HR.Muslim)

B.     Syarat wajib Thaharah
Setiap mukmin mempunyai syarat wajib untuk melakukan thaharah. Ada hal-hal yang harus diperhatikan sebagai syarat sah-nya berthaharah sebelum melakukan perintah Allah SWT. Syarat wajib tersebut ialah :
1.      Islam
2.      Berakal
3.      Baligh
4.      Masuk waktu ( Untuk mendirikan solat fardhu ).
5.      Tidak lupa
6.      Tidak dipaksa
7.      Berhenti darah haid dan nifas
8.      Ada air atau debu tanah yang suci.
9.      Berdaya melakukannya mengikut kemampuan.



C.    Sarana Melakukan Thaharah
Firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu solat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan berjunub), terkecuali sekadar berlalu sahaja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau dalam bermusafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. ” (Surah Al-Nisa’, 4:43)

Berdasarkan firman Allah diatas dapat disimpulkan bahwa sarana yang dapat digunakan untuk bersuci adalah sebagai berikut :
1.            Air
Dapat digunakan untuk mandi, wudu, dan membersihkan benda-benda yang terkena  najis. Sedangkan air untuk bersuci sendiri di bagi menjadi beberapa jenis berdasarkan fungsinya, yaitu :
a.       Air suci dan mensucikan
Adalah air yang dapat digunakan untuk bersuci, baik menghilangkan hadas maupun najis, dan airnya tidak berubah warna maupun zatnya. Misal air hujan, air sungai, air sumur, air laut, air salju, air embun dan air sumber lain yang keluar dari mata air.
b.      Air suci tetapi tidak mensucikan
Air ini halal diminum, tetapi tidak dapat mensucikan hadas dan najis.
Yang termasuk air suci tetapi tidak mensucikan adalah:
1)      Air yang berubah salah satu sifatnya, seperti: air teh, air kopi, air susu, dsb
2)      Air yang kurang dari 2 kullah(jika persegi panjang maka ukurannya adalah1 ¼ hasta/±216 liter)
3)      Air buah-buahan, seperti: air kelapa, perasan anggur dsb
c.       Air suci tetapi makhruh hukumnya
Yaitu air yang terjemur sinar matahari dalam wadah selain emas dan perak
d.      Air mutanajis
Adalah air yang terkena najis. Apabila airnya kurang dari 2 kullah, terkena najis, maka hukumnya menjadi najis. Akan tetapi jika airnya lebih dari 2 kullah, maka hukumnya tidak najis dan bisa digunakan untuk bersuci selama tidak berubah warna, bau, maupun rasanya.
2.   Tanah, boleh menyucikan jika tidak digunakan untuk sesuatu fardhu dan tidak bercampur dengan sesuatu.
3.   Debu, dapat digunakan untuk tayamum sebagai pengganti wudu atau mandi.
4.   Batu bata, tisu atau benda atau benda yang dapat untuk menyerap bisa digunakan untuk istinjak.

D.    Bentuk Thaharah
Taharah terbagi menjadi dua bagian yaitu lahir dan batin. Taharah lahir adalah taharah / suci dari najis dan hadas yang dapat hilang dicuci dengan air mutlak (suci menyucikan) dengan wudu, mandi, dan tayamun. Taharah batin adalah membersihkan jiwa dari pengaruh-pengaruh dosa dan maksiat, seperti dengki, iri, penipu, sombong, ujub, dan ria.
Sedangkan berdasarkan cara melakukan thaharah, ada beberapa macam bentuk yaitu : wudhu, tayamum, mandi wajib dan istinjak

1.      Wudhu
Wudu menurut bahasa berarti bersih. Menurut istilah syara’ berarti membasuh anggota badan tertentu dengan air suci yang menyucikan (air mutlak) dengan tujuan menghilangkan hadas kecil sesuai syarat dan rukunnya. Firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 6.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٦)

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan solat, maka basuhlah mukamu, kedua tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai mata kaki.”(QS Al maidah :6)

Syarat Wudu :
Wudu seseorang dianggap sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut.
a.  Beragama Islam
b.  Sudah mumayiz
c.  Tidak berhadas besar dan kecil
d.  Memakai air suci lagi mensucikan
e.  Tidak ada sesuatu yang menghalangi sampainya air ke anggota wudu, seperti cat, getah dsb.

Rukun Wudu
Hal-hal yang wajib dikerjakan dalam wudu adalah sebagai berikut.
a. Niat berwudu di dalam hati bersamaan ketika membasuh muka. Lafal niat:
نويت الوضوء لرفع الحدث الاصغر لله تعالى
Artinya:”Saya berniat wudu untuk menghilangkan hadas kecil karena Allah SWT.”
b.  Membasuh seluruh muka
c.  Membasuh kedua tangan sampai siku
d.  Mengusap atau menyapu sebagian kepala.
e.  Membasuh kedua kaki sampai mata kaki, dan
f.  Tertib (berurutan dari pertama sampai terakhir

Sunah Wudu
Untuk menambah pahala dan menyempurnakan wudu, perlu diperhatikan hal-hal yang disunahkan dalam melakukan wudu, antara lain sebagai berikut.
a. Membaca dua kalimah syahadat ketika hendak berwudu
b. Membaca ta’awuz dan basmalah
c.  Berkumur-kumur bagi seseorang yang sedang tidak berpuasa
d.  Membasuh dan membersihkan lubang hidung
e.  Menyapu seluruh kepala
f.  Membasuh sela-sela jari tangan dan kaki
g.  Mendhulukan anggota wudu yang kanan dari yang kiri.
h.  Membasuh anggota wudu tiga kali.
i.   Mengusap kedua telinga bagian luar dan dalam
j.   Membaca do’a sesudah wudu.

Do’a sesudah wudu.

اشهد ان لا الٰه الاّ الله وحده لا شريك له. و اشهد انّ محمّدا عبده ورسوله. اللهمّ اجعلني من التّوّابين واجعلني منالمتطهّرين

Artinya : “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Esa, yang tida sekutu bagi-Nya, Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Ya Allah jadikanlah aku termasuk dalam golongan orang-orang yang bertobat, dan jadikanlah aku termasuk dalam golongan orang-orang yang bersuci.”

Hal yang membatalkan wudu.
Wudu seseorang dikatakan batal apabila yang bersangkutan telah melakukan hal-hal seperti berikut.
     a.  Keluar sesuatu dari kubul (kemaluan tempat keluarnya air seni) atau dubur(anus), baik berupa  angin maupun cairan(kentut,kencing, tinja, darah, nanah, mazi, mani dan sebagainya)
Firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surah An Nisa’:43.
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
Artinya : “atau kembali dari tempat buang air ....” (QS.An-Nisa :43)
      b.  Bersentuhaan kulit laki-laki dan perempuan tanpa pembatas.
     Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah An Nisa :43.
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
     Artinya : “atau kamu telah menyentuh perempuan.”
  1. Menyentuh kubul atau dubur dengan tapak tangan tanpa pembatas.
            Sabda Nabi Muhammad SAW.

عن امّ حبيبة قالت سمعت رسول الله صلّى الله عليه و سلّم يقول من مسّ فرجه فليتوضّاء (رواه ماجه وصصحه احمد


Artinya : “Dari Umi Habibah ia berkata saya telah mendengar Rosulullah SAW bersabda :”Barang siapa menyentuh kemaluannya hendaklah berwudu.”(HR Ibnu Majjah dan disahkan oleh Ahmad)

        d. Tidur dengan nyenyak
        e. Hilang akal.

2.            Tayamum

Tayamum secara bahasa adalah berwudu dengan debu,(pasir, tanah) yang suci karena tidak ada air atau adanya halangan memakai air.
Tayamum menurut istilah adalah menyapakan tanah atau debu yang suci ke muka dan kedua tangan sampai siku dengan memenuhi syarat da rukunnya sebagai pengganti dari wudu atau mandi wajib karena tidak adanya air atau dilarang menggunakan air disebabkan sakit.

Firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 43.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا (٤٣)
Artinya : “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS An Nisa:43)

Tayammum merupakan pengganti dari berwudu. Apabila seseorang telah melaksanakan salat dengan tayamum kemudian dia menemukan air, maka tidak wajib mengulang sekalipun waktu salat masih ada.
Adapun syarat dan rukun, sunah serta hal-hal yang terkait dengan tayamum adalah sebagai berikut.
Syarat Tayamum
Syarat tayamum adalah sebagai berikut :
a.  Ada sebab yang membolehkan mengganti wudu atau mandi wajib dengan tayamum.
b.  Sudah masuk waktu salat
c.  Sudah berusaha mencari air tetapi tidak menemukan
d.  Menghilangkan najis yang melekat di tubuh
e.  Menggunakan tanah atau debu yang suci.

Rukun Tayamum
a.  Niat
b.  Mengusap debu ke muka
c.  Mengusap debu ke dua tangan sampai siku
d.  Tertib

Sunah Tayamum
Dalam melaksanakan tayamum, seseorang hendaknya memperhatikan sunah-sunah tayamum sebagai berikut.
a. Berniat
b. Membaca ta’awuz dan basmalah
c. Menepiskan debu yang ada di telapak tangan
d. Merenggangkan jari-jari tangan
e. Menghadap kiblat
f. Mendahulukan anggota tubuh yang kanan dari yang kiri
g. Membaca do’a (seperti do’a sesudah wudu)

Hal yang membatalkan Tayamum
Tayamum seseorang menjadi batal karena sebab berikut :
a. Semua yang membatalkan wudu juga membatalkan tayamum
b. Keadaan seseorang melihat air yang suci yang mensucikan (sebelum salat)
c. Murtad (keluar dari agama Islam)

Praktik Tayamum

Ada beberapa hal yang perlu di ketahui dalam melakukan tayamum. Hal tersebut perlu diperhatikan karena suatu saat  seseorang pasti akan melakukannya, seperti ketika dalam perjalanan, berada di daerah yang tidak ada air, atau sedang sakit yang tidak memperbolehkan terkena air.
a. Carilah tempat yang mengandung debu/tanah yang suci.
b. Letakkan atau tempelkan kedua tangan pada tempat yang berdebu tersebut disertai niat dalam hati. Lafal niat tayamum.
      نويت التّيمّم لاستبا حة الصّلاة فرضا لله تعالى
     Artinya :” Aku niat bertayamum untuk dapat mengerjakan salat fardu karena Allah Ta’ala.”

c. Mengusap kedua tangan sampai siku hingga merata dengan mendahulukan tangan kanan. Usahakan mencari debu pada tempat yang berbeda.
d.      Membaca do’a sesudah tayamum, seperti do’a sesudah wudu.

3.            Mandi Wajib

Mandi wajib disebut juga mandi besar, mandi junub, atau mandi janabat. Mandi wajib adalah menyiram air ke seluruh tubuh mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan disertai niat mandi wajib di dalam hati.
Firman Allah Swt :
   وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya : “.......dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS Al Maidah)

Adapun lafal niatnya adalah sebagai berikut :
   نويت الغسل لرفع الحدث اكبر فرضا لله تعا لى
Artinya : “Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadast besar karena Allah   Ta’ala.’

Rukun mandi wajib
Ada beberapa hal yang menjadi rukun dalam melaksanakan mandi wajib, diantaranya sebagai berikut :
a. Niat mandi wajib
b. Menyiramkan air keseluruh tubuh dengan merata.
c. Membersihkan kotoran yang melekat atau mengganggu sampainya air ke badan.

Beberapa Penyebab Diwajibkan Mandi Wajib
Berikut ini adalah hal-hal yang menjadi penyebab diwajibkannya mandi wajib:
a. Keluarnya air mani (sperma) dengan syahwat, baik ketika sedang tidur maupun dalam keadaan terjaga. Akan tetapi, apabila ia bermimpi tidak disertai keluarnya mani, maka ia tidak wajib mandi.
b. Selesainya haid bagi perempuan.
c. Selesai melahirkan.
d. Selesai nifas, yakni darah yang keluar sesudah melahirkan.
e. Meninggalnya seseorang (jenazah).

·         Praktek Mandi Wajib
Bagi perempuan yang sudah beranjak dewasa (mengalami haid) dan anak laki-laki dewasa yang sudah mengalami mimpi basah, wajib melakukan mandi waji.
Beberapa langkah yang harus diketahui dalam melakukan mandi wajib berikut :
a.       Pastikan bahwa benar-benar telah mengalami hadas besar.
b.      Lakukan sesuai dengan rukun mandi wajib yang telah diketahui.
c.       Sempurnakan dengan sunah-sunah mandi wajib.

3.      Istinja’
Pengertian  istinja’ Menurut bahasa, istinja’ berarti terlepas atau bebas. Sedangkan menurut istilah, ialah membersihkan kedua pintu alat kelamin manusia yaitu dubur dan qubul(anus dan penis) dari kotoran dan cairan (selain mani) yang keluar dari keduanya. Istinja’ hukumnya wajib.

a.       Hal-hal yang dilarang ketika buang air
-  Dilarang menjawab suara adzan
-  Dilarang menjawab salam
-  Bila bersin hendaknya memuji Allah dalam hati saja, tidak boleh menjawab dengan suara keras
-  Dilarang mengucapkan kalimat-kalimat dzikir
-  Dilarang sambil makan, minum dan sebagainya

b. Alat-alat yang digunakan untuk istinja’
-  Air
-  Batu (jika tidak ada air)
-  Kertas atau tissue (jika tidak ada air)
-  Daun-daunan yang tidak biasa dimakan (jika tidak ada air)

c.       Tata cara istinja’
-  Membasuh tempat keluarnya najis dengan air hingga bersih
- Jika tidak ada air sekurang-kurangnya dengan 3 buah batu atau 3 sisi sebuah batu. Jika tidak ada batu dapat digunakan benda-benda lain asal keset atau keras.

E.     Pengertian hadas dan najis
1.      Hadas
a.       Pengertian Hadas
Hadas menurut bahasa artinya berlaku atau terjadi. Menurut istilah, hadas adalah sesuatu yang terjadi atau berlaku yang mengharuskan bersuci atau membersihkan diri sehingga sah untuk melaksanakan ibadah. Berkaitan dengan hal ini Nabi Muhammad saw, bersabda :

قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم لا يقبل الله صلاة احدكم اذا حدث حتّى يتوضّاء  (متفق عليه)
Artinya : “Rasulullah saw, telah bersabda : Allah tidak akan menerima salat seseorang dari kamu jika berhadas sehingga lebih dahulu berwudu.” (HR Mutafaq Alaih)
2.      وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا (٦)
Artinya : “Dan jika kamu junub, maka mandilah kamu.” (QS Al Maidah :6)

Ayat dan hadist diatas menjelaskan bahwa bersuci untuk menghilangkan hadas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berwudu dan mandi.
b.      Bermacam hadas dan cara mensucikannya
Menurut fiqih, hadas dibagi menjadi dua yaitu :
1) Hadas kecil
Hadas kecil adalah adanya sesuatu yag terjadi dan mengharuskan seseorang berwudu apabila hendak melaksanakan salat. Contoh hadas kecil adalah sebagai berikut :
- Keluarnya sesuatu dari kubul atau dubur selain air mani, jika yang keluar air mani maka   orang tersebut bergadats besar.
         - Tidur nyenyak dalam kondisi tidak duduk.
         - Menyentuh kubul atau dubur dengan telapak tangan tanpa pembatas.
         - Hilang akal karena sakit atau mabuk.
2. Hadas besar
           Hadas besar adalah sesuatu yang keluar atau terjadi sehingga mewajibkan mandi besar  atau junub. Contoh-contoh terjadinya hadas besar adalah sebagai berikut :
          - Bersetubuh (hubungan suami istri)
          - Keluar mani, baik karena mimpi maupun hal lain
          - Keluar darah haid
          - Nifas
          - Meninggal dunia

2.      Najis
a. Pengertian Najis
Najis menurut bahasa adalah sesuatu yang kotor. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang dipandang kotor atau menjijikkan yang harus disucikan, karena menjadikan tidak sahnya melaksanakan suatu ibadah tertentu.
b.Macam-macam Najis dan Cara Mensucikannya
Berdasarkan berat dan ringannya, najis dibagi menjadi tiga macam. Najis tersebut adalah Mukhafafah, Najis Mutawasitah, dan Najis Muqalazah.
1)    Najis Mukhafafah
Najis mukhafafah adalah najis ringan. Yang tergolong najis mukhafafah yaitu air kencing bayi laki-laki yang berumur tidak lebih dua tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya.Cara mensucikan najis mukhafafah cukup dengan mnegusapkan/ memercikkan air pada benda yang terkena najis.
2)    Najis Mutawasitah
Najis mutawasitah adalah najis sedang. Termasuk najis mutawasitah antara lain air kencing, darah, nanah, tina dan kotoran hewan. Najis mutawasitah terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
- Najis hukmiah adalah najis yang diyakini adanya, tetapi, zat, bau, warna dan rasanya tidak nyata. Misalnya air kencing yang telah mengering. Cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pada benda yang terkena najis tersebut.
- Najis ainiyah adalah najis yang nyata zat, warna, rasa dan baunya. Cara mensucikannya dengan menyirkan air hingga hilang zat, warna, rasa dan baunya.

3) Najis Mugalazah
Najis mugalazah adalah najis berat, seperti najisnya anjing dan babi. Adapun cara mensucikannya ialah dengan menyiramkan air suci yang mensucikan air suci yang mensucikan (air mutlak) atau membasuh benda atau tempat yang terkena najis sampai tujuh kali. Kali yang pertama dicampur dengan tanah atau debu sehingga hilang zat, warna, rasa, dan baunya. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad saw :

قال النّبي صلّى الله عليه وسلّم طهور اناء احدكم اذا ولغ فيه الكلب ان يغسله سبع مرّات اولا هنّ بالتّراب ( رواه مسلم

Artinya: “Nabi Muhammad saw bersabda: Sucinya tempat (perkakas) salah seorang dari kamu apabila telah dijilat anjing, hendaklah mensuci benda tersebut sampai tujuh kali, permulaan tujuh kali harus dengan tanah atau debu.”  (HR Muslim).

Sumber : 
Al-Quranul Karim
Prof. Dr. Rachmat Syafe’I,MA. 1998.  Ilmu Ushul fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf. 1974. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amanah.
Prof. Muhammad Abu Zahrah. 2011. Ushul fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus. 
Dr. Said bin Ali bin Wahb.  2004. Thaharah Nabi, Tuntunan Bersuci Lengkap. Yogyakarta. Media Hidayah.
Suyono, Slamet Abidin. 1998. Fiqih Ibadah. Bandung. Pustaka Setia.
Sulaiman, H. 2006. Fiqih Islam. Bandung. PT. Sinar Baru Algensindo
Definisi Ushul Fiqh - IslamWiki | Tentang Islam http://islamwiki.blogspot.com/2009/02/definisi-ushul-fiqh.html#ixzz2I7IGz1CT
Muthoharoh, Hafiz. 2009.  Fungsi Thaharah dalam Kehidupan. http://alhafizh84.wordpress.com. Thaharah. http://nyemania.blogspot.com.
Topik: Bab 1 : Taharah / Bersuci. http://halaqah.net.
Fadholi, Arif. Ketentuan Thaharah (bersuci).  http://ariffadholi.blogspot.com.