1. Alasan yang membolehkan adzan dua kali dalam shalat Jum’at
Kitab ‘Ianatut Thalibin jilid 1 hal. 232
Pada
awalnya untuk menandai datangnya shalat Jum’at dikumandangkan adzan satu kali,
yaitu ketika khatib sedang duduk di mimbar. Praktek demikian berlangsung sejak
jaman Rasulullah hingga Khalifah Umar bin Al
Khatthab. Kemudian saat menjabat khalifah, Utsman bin Affan menambahkan satu
adzan yaitu sesaat sebelum khatib naik mimbar. Hal itu dia lakukan dengan
pertimbangan bahwa jumlah jamaah Jum’at mulai banyak dan tidak sedikit yang
tempat tinggalnya jauh dari tempat dilaksanakannya shalat Jum’at. Oleh karena
itu dibutuhkan satu lagi adzan yang menandakan bahwa shalat Jum’at akan segera
dilaksanakan. Dalam Shahih al Bukhari dijelaskan:
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ
إِنَّ الْأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا
كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرُوا
أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذِّنَ بِهِ
عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ [1]
“ Dari
Az Zuhri, dia berkata, “Aku mendengar
As Sa’ib bin Yazid mengatakan, “Adzan pada hari Jum’at semula dilaksanakan
keytika imam duduk di atas mimbar pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar.
Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan jumlah jamaah semakin banyak, Utsman
memerintahkan pelaksanaan adzan ketiga. Maka adzan ketiga itupun dilaksanakan
di atas pasar Zaura’ lalu berlangsung hingga seterusnya”
Yang
dimaksud dengan “adzan ketiga” adalah adzan
sesaat menjelang khatib naik mimbar. Sedangkan adzan pertama adalah adzan
setelah khatib duduk di mimbar dan adzan kedua adalah Iqamah.
Benar
memang bahwa adzan dua kali dalam shalat Jum’at tidak dikenal pada masa
Rasulullah SAW. Meskipun demikian Utsman bin Affan melakukan suatu ijtihad dan
tidak menghadapi penentangan dari Sahabat lain. Inilah yang disebut dengan Ijma’ Sukuty, yaitu kesepakatan para ulama—dalam kasus ini adalah
para Sahabat—terhadap suatu hal, dimana kesepakatan itu terjadi melalui tidak
adanya pihak yang ingkar. Diamnya mereka menandakan sikap setuju terhadap hukum
yang ditetapkan.[2]
Karena itu sunnat bagi kita mengikuti ijtihad tersebut, yakni
mengumandangkan adzan dua kali pada waktu shalat Jum’at, karena Rasulullah SAW
menyatakan:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
الْمَهْدِيِّينَ[3]
“ Bepeganglah
kalian pada sunnahku dan sunnah para pengganti yang andai dan mendapat hidayah”
[1] Shahih al
Bukhari, nomor 865
[2] Al
Mawahib Al Laduniyah, juz 2, hal. 249
[3] Musnad
Ahmad bin Hambal, nomor 16519
Sumber : Adzan Dua Kali Menjelang Shalat Jum’at (PC NU KAB. PATI JATENG)
2. Alasan yang tidak membolehkan adzan dua kali dalam shalat Jum’at
Imam Al Bukhari
rahimahullah meriwayatkan dari As Sa`ib bin Yazib, dia berkata:
كَانَ
النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى
الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي
بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ
“Dahulu pada masa Nabi صلى الله عليه وسلم , Abu Bakr, dan
Umar radhiallahu ‘anhuma, azan pada hari Jum’at, awalnya dikumandangkan ketika
imam telah duduk di atas mimbar. Lalu ketika masa Utsman radhiallahu ‘anhu dan
penduduk (Madinah) telah ramai, dia menambahkan azan ketiga (yang
dikumandangkan) di daerah Az Zaura`.” [HR Al Bukhari (912)]
Imam Al Bukhari berkata: “Az Zaura` adalah nama sebuah pasar di kota Madinah.”
Yang dimaksud dengan “azan ketiga” , dikatakan oleh Ibnu Rajab Al Hanbali: “Dua
azan yang dilakukan pada masa Nabi صلى الله
عليه وسلم adalah azan dan iqamah.” Artinya, iqamah itu dianggap
sebagai azan juga, akan tetapi ia bukan azan yang sebenarnya, berdasarkan
hadits Abdullah bin Mughaffal, bahwasanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
بَيْنَ كُلِّ
أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ
“Di antara dua azan ada shalat (sunat).” [HR Al Bukhari (624) dan Muslim (838)]
Yaitu antara azan dan iqamah. Jadi, yang dimaksud dengan azan ketiga pada masa
Utsman adalah azan kedua dalam arti yang sebenarnya.
Di dalam riwayat An Nasa`i ada tambahan lafazh:
كَانَ بِلَالٌ
يُؤَذِّنُ إِذَا جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَإِذَا نَزَلَ أَقَامَ، ثُمَّ كَانَ كَذَلِكَ
فِي زَمَنِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
“Dahulu Bilal mengumandangkan azan apabila
Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah
duduk di atas mimbar pada hari Jum’at. Apabila beliau telah turun dari mimbar,
maka dia melakukan iqamah. Demikianlah keadaannya pada masa Abu Bakr dan Umar
radhiallahu ‘anhuma.” [HR An
Nasa`i (1393)]
Apabila kita perhatikan dua riwayat di atas, kita bisa dengan jelas
menyimpulkan bahwa yang pertama sekali mengadakan dua azan pada hari Jum’at
adalah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Hal ini sama sekali tidak pernah
dikenal, apalagi dilakukan, oleh Nabi صلى الله
عليه وسلم , Abu Bakr Ash Shiddiq, dan Umar ibnul Khaththab
radhiallahu ‘anhuma.
Benar bahwasanya kita
harus mengikuti Sunnah Khulafaur Rasyidin, dan ini pun merupakan akidah
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana disebutkan di dalam Syarh Aqidah Ath
Thahawiyyah.
Namun yang perlu
ditekankan terlebih dahulu adalah: manakah yang lebih wajib untuk didahulukan,
sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم ataukah sunnah (baca:
ijtihad) Khulafaur Rasyidin? Jawabannya tentu saja adalah yang pertama.
Perkara tidak disyariatkannya azan sebelum khatib duduk di atas mimbar, juga
didukung oleh banyak ulama, di antaranya adalah Abdullah bin Umar, Al Hasan Al
Bashri, Az Zuhri, ‘Atha` bin Abi Rabah, Sufyan Ats Tsauri, Imam Asy Syafi’i,
Ath Thahawi, Mahmud As Subuki, Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab, Ibnu Abdil Barr, Ibnu
Rusyd, Ibnu Qudamah, Ibnu Hazm, Al Qurthubi, Imam Malik, As Shan’ani, Al
Albani, Muqbil Al Wadi’i, dan lain-lain.