Assalamu’alaikum
wr. wb.
Selamat pagi dan
salam sejahtera bagi kita semua,
Pertama-tama, marilah
kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa
karena atas rahmat dan karuniaNya kita dapat saling berkumpul di tempat ini
dalam keadaan sehat wal’afiat, khususnya dalam rangka mengikuti Training of
Trainer Tingkat Nasional Pusat Dakwah dan Pendidikan Akhlak Bangsa (Pusdik
Akhlak Bangsa) dengan Tema: “Pendidikan Akhlak Bangsa dalam Konteks Perlindungan Perempuan dan Anak”.
Pada kesempatan ini, perkenankan saya menyampaikan
apresiasi yang tinggi atas penyelenggaraan kegiatanTOT Pusat Dakwah dan Pendidikan Akhlak Bangsa Angkatan I Tahun 2013 ini, yang diagendakan secara khusus oleh pihak Majelis Ulama Indonesia. Pada
hemat saya bahwa pemilihan tema sebagaimana dimaksud adalah merupakan suatu
bentuk kepedulian dan bentuk keprihatinan bersama, utamanya dalam rangka
mengupayakan dan terus mengikis maraknya kekerasan terhadap anak dan perempuan
dalam berbagai bentuk dan modus operandi, yang kecenderungannya terus
meningkat.
Oleh karenanya, berbagai bentuk pendekatan dalam
rangka mewujudkan perlindungan yang berkeadilan sangatlah dibutuhkan, terutama
perlindungan bagi anak dan perempuan yang acapkali menjadi sasaran sebagai
korban. Penguatan akhlak bangsa yang ditandai dengan dilaksanakannya ajaran
agama dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten dan konsekuen, demikian
halnya dengan ajaran dan nilai-nilai ideologi dari Pancasila, tentunya akan
mencegah dan mengurangi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Selain landasan moral dan agama, Negara Indonesia
sudah dirancang oleh “founding fathers”
bangsa Indonesia sebagai negara hukum. Hukumlah yang menjadi panglima dan
mengatur bagaimana seyogyanya
kehidupan kita sehari-hari.
Seperti diketahui,
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 telah menjamin hak setiap warga Negara Indonesia untuk hidup layak dan tidak diperlakukan diskriminasi
dalam segala bentuknya. Beragam peraturan perundang-undangan dalam rangka
menjamin adanya perlindungan terhadap setiap warga Negara pun telah cukup
tersedia, antara lain:
Ø
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (UU Nomor 1 Tahun 1946);
Ø
Kitab
undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU Nomor 8 Tahun 1981);
Ø
Undang-Undang
Perlindungan Anak (UU Nomor 23 Tahun 2002);
Ø
Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU Nomor 23 Tahun 2004);
Ø
Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban (UU Nomor 12 Tahun 2006);
Ø
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU Nomor 21 Tahun 2007);
Ø
Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak (UU Nomor 11 Tahun 2012); dan berbagai peraturan
perundang-undangan lain dalam berbagai jenisnya sampai pada kebijakan teknis
operasionalnya.
Semua itu, seyogyanya
sudah sangat cukup memadai untuk dijadikan sebagai landasan hukum dalam
mengupayakan berbagai bentuk perlindungankepada setiap warga negara, termasuk
perlindungan terhadap anak dan perempuan, baik dalam upaya pencegahan maupun
untuk penanganan proses hukum dalam penyelesaian kasus-kasusnya.
Hadirin yang saya hormati,
Selain adanya landasan
konstitusional dan peraturan perundang-undangan terkait seperti yang sudah saya
sampaikan di atas, komitmen pemerintah untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan
gender juga sudah diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang
dijabarkan kedalam RPJMN setiap lima tahunnya.
Untuk RPJMN 2010-2014,
gender sudah diintegrasikan sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan
keadilan dan kesetaraan gender, baik bagi perempuan maupun laki-laki dan anak
perempuan maupun anak laki-laki. Adapun kebijakan nasional yang sudah
dirumuskan didalamnya yaitu:
a)
Peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, melalui
harmonisasi peraturan perundangan dan pelaksanaannya di semua tingkat
pemerintahan, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan;
b) Peningkatan
perlindungan perempuan dan anak terhadap berbagai tindak kekerasan; dan
c) Peningkatan
kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan.
Selanjutnya, negara juga
mempunyai komitmen internasional terkait perlindungan hak asasi manusia,
perempuan dan anak serta perwujudan kesetaraan gender. Ada 2 Konvensi terkait
perempuan dan anak yaitu yang pertama terkait perempuan, negara telah
meratifikasi Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination
Against Women (CEDAW), dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Konvensi tersebut merupakan
ketentuan hukum untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan, terutama pada bidang-bidang: pendidikan, ekonomi dan
ketenagakerjaan, kesehatan tenaga kerja, kesehatan, hukum, sipil, politik,
sosial dan budaya serta perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan.
Terkait dengan anak, negara telah meratifikasi
Konvensi Hak Anak, yakni, Convention on
the Rights of the Child (CRC) dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1990. Komitmen internasional lainnya didalam menghapuskan diskriminasi,
memberdayakan perempuan untuk perwujudan kesetaraan gender, pemerintah telah
mengadopsi Beijing Platform for Action 1995
dan telah menyepakati 12 Bidang Area Kritis, diantaranya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan
anak perempuan.
Komitmen
lainnya yaitu Millennium Development Goals (MDG’s) 2000, yang meliputi 8
(delapan) sasaran, diantaranya, sasaran yang kesatu adalah: Penghapusan
kemiskinan dan kelaparan; dan ke-tiga adalah: Peningkatan kesetaraan gender dan
pemberdayaanperempuan. Bahkan dalam agenda Pasca-MDG’s 2015 pun ‘kemiskinan’
masih tetap menjadi isu utama, sedangkan agenda ‘pemberdayaan anak perempuan,
perempuan dan mencapai kesetaraan gender’ pada kali ini menjadi agenda kedua,
yang dalam MDG’s 2000 sebagai
sasaran agenda ketiga.
Hadirin yang saya hormati,
Semua aturan, komitmen
nasional maupun internasional di atas mestinya sudah dapat efektif memberikan
perlindungan terhadap anak dan perempuan. Di dalam agama manapun saya meyakini
tidak ada nilai-nilai yang menganggap perempuan dan anak sebagai makhluk yang
tidak perlu dilindungi, tidak dihargai harkat dan martabatnya dan merupakan
makhluk yang lebih rendah derajatnya dibandingkan yang lain. Masalahnya, apa
yang menghambat perlindungan perempuan dan anak termasuk mengapa peraturan yang
ada kurang efektif?
Pertama adalah budaya patriarki
yaitu masih adanya masyarakat yang berpandangan bias gender. Misalnya dalam tindak kekerasan, masih ada pula asumsi
bahwa anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan dianggapnya ‘hal yang
biasa’. Sebaliknya, jika pelaku kekerasan itu lebih didominasi laki-laki,
dianggapnya sebagai ‘hal yang lumrah’. Hal ini sangat menyedihkan, karena
laki-laki menganggap bahwa perempuan dan
anak menjadi objek kekerasan dengan segala bentuknya dan berakibat mereka menjadi tersubordinasi, terdiskriminasi,
rentan terhadap kekerasan. Terkait dengan budaya di atas, sebagian masyarakat
dewasa ini masih menganggap bahwa masalah kekerasan merupakan masalah “privat” yang belum perlu dibawa ke
pengadilan. Selanjutnya dari sisi agama,
adanya interpretasi ajaran agama oleh sebagian ahli agama yang masih bias dan belum sepenuhnya
komprehensif terkait dengan nilai-nilai hak asasi yang universal, status dan
kedudukan perempuan dan anak serta kesetaraan gender.
Kedua, adalah masalah
struktural, antara lain adanya aparat penegak hukum yang masih diskriminatif
dan buta gender dan anak serta belum memahami berbagai peraturan terkait
perlindungan perempuan dan anak yang mengakibatkan korban kurang mendapatkan
keadilan bahkan sering terdiskriminasi dua kali, baik sebagai korban maupun
sebagai perempuan dan anak. Dari sisi
struktural, sistem peradilan yang ada termasuk pendidikan dan pelatihan para
penegak hukum juga belum responsif gender dan peduli hak anak.
Ketiga, dari sisi substansial, masih banyak peraturan
perundang-undangan dan peraturan daerah yang diskriminatif, buta gender dan
anak serta belum optimalnya upaya-upaya untuk mengharmonisasikan baik antar
peraturan perundangan dan kebijakan yang ada satu sama lain terkait dengan
masalah perempuan dan anak dan seringkali undang-undang hasil ratifikasi,
termasuk terkait perempuan dan anak, belum diintegrasikan di dalam peraturan
maupun kebijakan yang sedang disusun sehingga tidak heran apabila ada diskrepansi antara prinsip-prinsip yang
diatur di dalam hukum internasional dengan hukum nasional yang ada lemah dan
belum efektifnya peraturan perundangan yang ada juga serta belum efektifnya dan
optimalnya pemahaman masyarakat akan nilai-nilai budaya dan agama antara lain
disebabkan pula oleh tingkat kualitas sumberdaya manusia yang ada baik itu
laki-laki maupun perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan.
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Berdasarkan data yang
kami peroleh dari BPS bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPP & PA) tahun 2012, diketahui bahwa menurut hasil
proyeksi Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 sebesar
243, 7 juta jiwa, dimana struktur penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin
didominasi oleh penduduk muda. Rasio jenis kelamin penduduk tahun 2010 sampai
dengan 2011 menunjukkan bahwa penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan. Namun demikian diketahui bahwa perempuan usia produktif (15-64
tahun), dan tidak produktif (65 tahun ke atas)
lebih banyak dibandingkan laki-laki yaitu perempuan usia produktif
berjumlah 66, 23 persen dan laki-laki65,31 persen sedangkan pada golongan belum
produktif (0-14 tahun), laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan,
yaitu laki-laki 30,32 persen dan
perempuan 28,35 persen.
Dari sektor
pendidikan, Pemerintah telah mencanangkan berbagai program untuk
meningkatkan pendidikan masyarakat, anak perempuan maupun anak laki-laki,
antara lain memberikan beasiswa bagi keluarga kurang mampu, memperbaiki
fasilitas pendidikan dan menyediakan sarana dan prasarana pendidikan,
meningkatkan kualitas dan kompetensi
tenaga pendidik dan adanya program wajib belajar enam tahun yang tahun
depan akan diperluas hingga dua belas tahun.
Namun demikian pencapaian
sampai saat ini yaitu, jika dilihat pada semua provinsi, persentase penduduk
perempuan berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah lebih
tinggi dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Persentase tertinggi terdapat di
Papua yaitu 39,74 persen untuk perempuan dan untuk laki-laki 27,85 persen
sedangkan provinsi terendah terdapat di Sulawesi Utara yaitu 0,73 persen untuk
perempuan dan di DKI, 0,62 persen untuk laki-laki. Apabila dilihat dari tempat tinggal, maka
persentase penduduk perempuan berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum
pernah sekolah di perdesaan dua kali lebih tinggi daripada di perkotaan
yaitu 10,83 persen di perdesaan berbanding 5,31 persen di perkotaan. Terkait
angka putus sekolah, berdasarkan data di atas (BPS 2012) maka angka putus
sekolah pada perempuan lebih rendah perempuan
dibandingkan laki-laki.
Artinya bahwa perempuan
lebih banyak menyelesaikan pendidikan dibandingkan laki-laki. Namun demikian,
angka melek huruf perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki yaitu laki-laki
95,31 persen dan perempuan 89,36 persen, usia 18 tahun ke atas di 2011.
Selanjutnya angka rata-rata lama sekolah secara umum menunjukkan pendidikan
yang telah dicapai penduduk usia 15 tahun ke atas. Angka rata-rata lama sekolah perempuan baru
mencapai 7 tahun (kelas 2 SMP) lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yaitu
9,56 tahun. Secara nasional kualitas sumberdaya manusia Indonesia baru tamat
SMP. Tidak heran apabila mayoritas pencari kerja di Indonesia adalah lulusan
SMP. Perlu kerja keras semua pihak untuk meningkatkan angka rata-rata lama
sekolah mengingat kompetisi di masa depan akan lebih berat lagi.
Dengan semakin
meningkatnya kualitas SDM kita, maka hal ini akan berkontribusi semakin mudah
bagi para pemangku kepentingan untuk mensosialisasikan berbagai peraturan
perundangan dan kebijakan yang ada, terutama terkait perlindungan perempuan dan
anak di tengah-tengah masyarakat sehingga kekerasan dapat dicegah dari awal
dengan terbangunnya kesadaran kolektif masyarakat dan terbentuknya “caring dan sharing society” yaitu
masyarakat yang saling tolong-menolong, bergotong-royong, saling menghargai
antar sesama, menyayangi dan tentunya anti kekerasan. Dari sisi kesehatan,
angka kematian Ibu walaupun sudah turun menjadi 280 per 100 ribu namun angka ini
masih sangat tinggi apabila dibandingkan dengan Negara-negara di kawasan ASEAN.
Kualitas kesehatan reproduksi dan kesehatan masyarakat pada umumnya menjadi
salah satu indikator indeks pembangunan manusia yang saat ini kita berada di
posisi 124 dari 187 negara.
Hadirin yang saya
hormati,
Walaupun tingkat pendidikan tidak bisa dikatakan
langsung berkaitan dengan berbagai kasus kekerasan yang terjadi terhadap
perempuan dan anak, namun apabila kita cermati maka kasus-kasus kekerasan
akhir-akhir ini secara tidak langsung ada kaitannya dengan tingkat pendidikan
seseorang selain tentu saja dampak dari semakin terbukanya akses informasi dan
komunikasi seseorang terhadap ICT dan
materi-materi pornografi yang ada serta pengawasan dan pengasuhan di dalam
keluarga yang belum efektif.
Data-data yang dihimpun POLRI, Komnas Perempuan dan Lembaga lain, menunjukkan bahwa kasus-kasus
kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin naik setiap tahunnya. Data
Komnas Perempuan pada Tahun 2012 digambarkan bahwa perempuan korban kekerasan menurut status perkawinan adalah 45,72% (menikah); 38,85% (belum menikah); 3,41% (cerai); dan
12,01% (tidak tercatat). Data perempuan
korban kekerasan menurut tingkat
pendidikan, menunjukkan bahwa 17,78% (anak SD); sejumlah 25,59%
(SLTP); 35,57% (SLTA); 9,24% (Perguruan Tinggi); dan 11,91% (tidak sekolah).
Adapun pelaku kekerasan menurut
jenis kelamin, Tahun
2012 menunjukkan bahwa 12,79% adalah pelaku perempuan; dan 87,21% adalah
pelaku laki-laki. Hal ini semakin membuktikan bahwa dominasi kekerasan yang dilakukan
oleh laki-laki menunjukkan bahwa ketimpangan gender dan/atau kekerasan berbasis
gender memang masih cukup tinggi terjadi di Indonesia ini. Ini juga dimaknai
bahwa relasi kekuasan dan relasi gender yang timpang memicu timbulnya tindak
kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Data BPS
mengenai Prevalensi kekerasan terhadap anak dan perempuan pada Tahun 2006
menunjukkan: Anak 3,027% dan Perempuan
3,07%. Data dari KPP & PA berdasarkan sistem pencatatan dan pelaporan data korban kekerasan yang
disampaikan dari Provinsi, Kabupaten/Kota, pada tahun 2010 tercatat 15.648 kasus, di tahun 2011 tercatat 11.861 kasus baru dan tahun 2012,
sampai dengan bulan Juli 2012 tercatat 7.070 kasus baru.
Kekerasan
terhadap anak merupakan kejahatan berat dan gejalanya perlu terus diwaspadai
agar anak terhindar dari segala bentuk kekerasan, baik kekerasan dalam rumah
tangga; kekerasan dalam bentuk tindak pidana perdagangan orang; maupun
kekerasan di sektor tenaga kerja. Untuk
hal itu, perlindungan terhadap anak perlu terus ditingkatkan. Hal ini
mengingat bahwa pada hakikatnya negara telah menjamin hak anak untuk memperoleh
perlindungan dari segala bentuk penyalahgunaan, baik dalam pelibatan kegiatan
politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial,
pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam
peperangan. Hal itu semua demi menjamin tumbuh kembang anak agar tetap sehat,
ceria, cerdas, dan berakhlak mulia dalam rangka menyongsong kehidupannya di
masa depan, yang dapat dipastikan bahwa hal itu akan berimplikasi positif pada kehidupan bangsa yang lebih aman, damai,
sehat dan sejahtera.
Kekerasan
terhadap Anak dan Perempuan dapat dikategorikan dalam berbagai bentuk, yaitu:
Kekerasan Fisik, Kekerasan Psikis atau mental, Kekerasan Seksual, Penelantaran ekonomi, Eksploitasi (yang
juga merupakan unsur pokok dalam tindak pidana perdagangan orang/Traffickking
in persons; dan berbagai
bentuk diskriminasi. Kesemuanya
itu dapat menimbulkan permasalahan baik di berbagai bidang Sosial, Hukum dan HAM sampai pada bentuk
pelayanannya, baik pelayanan Medis maupun non Medis. Utamanya bagi korban bahwa hal tersebut juga bisa
berakibat pada kurangnya kesejahteraan rakyat selain juga dapat menimbulkan
tingginya biaya untuk pemulihan korban.
Hadirin Yang Berbahagia,
KPP & PA sebagai pemegang mandat untuk
melindungi anak dan perempuan serta mewujudkan kesetaraan gender telah menyusun
kebijakan dan program. Untuk mengatasi ketimpangan gender, selain
diintegrasikan kedalam RPJMN seperti yang sudah kami sampaikan di awal, pada
tahun 2000 juga telah dikeluarkan Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional bagi seluruh lembaga
pemerintah di pusat dan daerah termasuk kepada Kapolri, Kejaksaan Agung dan
Panglima TNI, agar di masing-masing institusi dapat melakukan strategi
pengarusutamaan gender pada saat menyusun kebijakan, program dan kegiatan
masing-masing dari perencanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi. KPP &
PA melakukan advokasi dan pendampingan teknis untuk memantapkan pemahaman
tentang isu gender dan anak serta PUG secara teknis.
Saat ini PUG difokuskan pada pelaksanaan
perencanaan dan penganggaran yang responsif gender dan sudah ada 28 K/L yang
mulai melaksanakan PPRG tersebut. Harapan kami, tahun 2014 34 K/L sudah melaksanakan
dan juga di Daerah (sudah dimulai di 10 Provinsi di 2012 dan 10 Provinsi lagi
di 2013). Untuk lebih menjamin
keberlanjutan PPRG didalam sistem pembangunan perempuan dan anak maka sejak
tahun lalu sudah ada Kesepakatan Bersama empat menteri “driver” PPRG yaitu MenPPN/Bappenas, Menkeu, Mendagri dan Meneg PP
dan PA terkait dengan disusunnya Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG.
Masing-masing driver saat ini sedang
melakukan capacity building di
lembaga masing-masing dan daerah, baik sendiri-sendiri maupun bersama dengan driver lainnya.
Dikaitkan dengan upaya untuk mendiseminasi
peraturan perundangan terkait perlindungan perempuan dan anak sejak tahun 2010
yang lalu kami sudah mengeluarkan Standar Pelayanan Minimal bidang Layanan
Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan dan sudah disosialisasikan ke
seluruh Indonesia. Aksi nyata dan
komitmen dari daerah terkait aturan ini antara lain adalah membentuk
Pusat Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan (P2TP2A). Saat
ini sudah ada P2TP2A di 33 provinsi dan 242 Kabupaten/Kota.
Di samping itu, di institusi lainpun sudah
terbentuk berbagai pusat pelayanan bagi korban yaitu di diberbagai
Kabupaten/Kota sudah terbentuk UPPA di 500
Mapolres dan di Rumah Sakit, sudah terbentuk 123 lembaga layanan korban
kekerasan. Selain pusat dan lembaga untuk menangani korban kekerasan, pada saat
ini di tingkat pusat berdasarkan Perpres Nomor 69 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Gugus Tugas Nasional Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Orang/Trafiking dimana Menko Kesra sebaga ketuanya dan kami sebagai ketua
harian.
Gugus Tugas menjalin kerjasama yang erat dengan
pusat maupun layanan korban kekerasan di Provinsi dan Kabupaten/Kota terutama
untuk menangani kasus-kasus trafiking. Saat ini sudah terbentuk Gugus Tugas
Trafiking di 28 Provinsi dan 90 Kabupaten/Kota. Kebijakan dan wadah yang ada
tersebut tidak lain untuk memberikan perlindungan yang lebih konkrit bagi
perempuan dan anak korban kekerasan.
Selanjutnya dari sisi perlindunga,n kami aktif melakukan koordinasi dan
kerjasama dengan provinsi dalam pengumpulan data, analisis data terpilah,
sosialisasi peraturan perundang-undang terkait dengan KDRT, trafiking,
perlindungan anak dan strategi PUG. Namun kami menyadari tidak mungkin KPP
& PA melakukan semua hal tersebut.
Untuk memperkuat komitmen K/L dan Daerah, sejak
tahun 2010 kami telah melakukan MoU dengan 30 K/L termasuk lembaga penegak
hukum seperti Kepolisian, Mahkamah Agung, Komnas Perempuan, Kejaksaaan Agung
dan Peradi serta Kementerian Hukum dan HAM, Kemendagri dan 33 Gubernur. Dengan
adanya MoU ini, harapannya tentu saja masing-masing K/L dan Daerah dapat
melaksanakan sendiri sosialisasi dan advokasi peraturan perundangan dan
kebijakan yang ada di wilayah masing-masing. Kementerian kami secara reguler
melakukan pemantauan, evaluasi dan memberikan penghargaan bagi pemangku
kepentingan yang dinilai baik di dalam mengeksekusi kebijakan yang kami
keluarkan.
Namun demikian, tantangan
yang dihadapi di dalam melaksanakan mandat kami tidak mudah. Keterbatasan
wewenang, sumberdaya manusia termasuk dana salah satunya. Untuk itu kami
memperluas jejaring kerjasama dengan berbagai pihak seperti tokoh-tokoh agama
dan masyarakat serta melakukan penyebarluasan informasi terkait gender,
perempuan dan anak melalui media yang ada. Hasilnya tentu belum optimal namun
kami gembira bahwa kata “gender”,
isu KDRT, masalah perempuan dan anak saat ini sudah semakin dikenal luas
terbuki dengan dimunculkannya
istilah-istilah tersebut di forum publik, baik langsung maupun tidak langsung
melalui media.
Kedepan perlu adanya
peningkatan dan penguatan jejaring
kerjasama, koordinasi dan sinergi dengan berbagai pihak termasuk dengan Majelis
Ulama Indonesia yang mempunyai kedudukan sangat strategis didalam memberikan
masukan kepada berbagai pihak. Strategi dan metode penguatan akhlak dan
karakter bangsa untuk perlindungan perempuan dan anak perlu mempertimbangkan
faktor-faktor sebagai berikut:
a) Peningkatan
pemahaman mengenai perspektif hak asasi manusia, isu dan konsep gender, terkait
dengan langkah-langkah perlindungan anak dan perempuan;
b) Peningkatan
peran para orang tua, guru, pendidik agama/moral, tokoh agama, tokoh masyarakat
dalam melakukan perlindungan di wilayah masing-masing dengan tetap peduli dan
waspada terhadap timbulnya segala bentuk kekerasan;
c) Peningkatan
sinergi kebijakan dan program dalam rangka terus mengupayakan perlindungan anak
dan perempuan dari tindak kekerasan;
d) Penguatan
lembaga-lembaga terkait penyelenggaraan perlindungan anak dan perempuan,
termasuk Pusat Dakwah dan Pendidikan Akhlak Bangsa - Majelis Ulama Indonesia;
e) Peningkatan
kapasitas aparatur dan/atau aparat penegak hukum atau petugas terkait
penyelenggaraan perlindungan anak dan perempuan;
f) Pendekatan
budaya dan/atau menghilangkan asumsi-asumsi dalam masyarakat yang berdampak
pada kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Khusus
bagi calon-calon Dai, kami mengharapkan agar kiranya dapat ikut
mensosialisasikan prinsip-prinsip kesetaraan gender, perlindungan perempuan dan
anak didalam lingkungan tugas masing-masing sehingga nilai-nilai karakter
bangsa yang “anti diskriminasi” dan anti
kekerasan serta penghargaan kepada hak-hak azasi manusia akan semakin dipahami
dan diterapkan didalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian hal-hal yang dapat saya sampaikan.
Terima kasih.
Wabillaahi
taufikwalhidayah
Wassalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh
Linda Amalia Sari Gumelar