Pendahuluan
Umat Islam di
Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah besar dengan munculnya
kelompok-kelompok yang melakukan distorsi dalam memahami ajaran agama. Setidaknya
ada empat kelompok yang melakukan distorsi tersebut, yakni kelompok radikalisme
agama, kelompok tekstualisme, dan kelompok liberalisme agama, serta sesatisme
agama. Fenomena
munculnya kelompok-kelompok tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi para
ulama di Indonesia, termasuk para da’i.
Bukan hanya karena faham kelompok tersebut terbukti membawa dampak buruk
bagi umat Islam secara umum, namun lebih jauh dari itu karena pemahaman
keagamaannya telah menyimpang terlalu jauh dari prinsip-prinsip ajaran agama.
Radikalisme
agama dalam banyak kesempatan telah terbukti berdampak pada munculnya sikap
ekstrimisme, di mana sikap tersebut sangat berpotensi memunculkan tindakan
terorisme. Dalam konteks ini, fakta yang terjadi menunjukkan bahwa akibat ulah
segelintir orang Islam yang melakukan aktifitas kekerasan dengan mempergunakan
simbol Islam pada kenyataannya menimbulkan kerugian bagi umat Islam pada
umumnya. Dampaknya, umat Islam terstigma negative akibat ulah segelintir orang
tersebut. Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan segelintir orang telah
dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain untuk memojokkan umat Islam secara umum.
Padahal hakekatnya, agama Islam sama sekali tidak ada kaitannya dengan gerakan
radikal apalagi terorisme, tidak ada satupun pesan moral Islam yang menunjukkan
adanya ajaran radikalisme dan terorisme.
Tekstualisme
agama juga menimbulkan dampak buruk bagi umat Islam. Kelompok ini terlalu rigid
dan kaku dalam memahami teks ajaran agama (nash), sehingga menimbulkan
sikap tidak toleran terhadap pemahaman ajaran agama yang berbeda dari pemahaman
kelompoknya. Tekstualisme agama membawa dampak buruk pada citra umat Islam yang
dipersepsikan ekslusif, kaku dan tertutup tidak bisa menerima hal-hal baru.
Kelompok ini juga cenderung secara frontal menyalahkan kelompok lain yang tidak
sefaham dengan kelompoknya, sehingga sering menimbulkan benturan, dan tidak
jarang menimbulkan konflik di antara umat Islam.
Liberalisme
agama juga tidak kalah seriusnya berakibat buruk bagi umat Islam. Berbeda
dengan kelompok tekstualisme agama yang kaku dalam menafsirkan nash, kelompok
liberalisme agama menuntut kebebasan tanpa batas dalam memahami nash. Menurut
kelompok ini, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menafsirkan teks-teks
dalam al-quran dan as-sunnah tanpa harus mempedulikan perangkat metodologis
dalam melakukan penafsiran (al-manhaj fi istinbath al-hukm). Akibatnya,
tatanan metodologi dalam memahami nash yang telah dirumuskan oleh para ulama
dibongkar total, sehingga tidak ada lagi aturan baku dalam memahami nash.
Lanjutan dari paham liberalisme agama ini adalah munculnya sekularisme dan
pluralisme agama.
Sedangkan
sesatisme agama juga mempunyai daya rusak yang tinggi terhadap ajaran Islam.
Kelompok sesat ini datang dengan mengacak-acak pokok-pokok ajaran agama,
sehingga umat Islam yang tidak mempunyai pemahaman yang memadai terhadap ajaran
Islam akan dengan mudah terjerembab menjadi pengikut kelompok sesat ini.
Radikalisme Agama
Radikalisme
agama yang kemudian melahirkan aktifitas kekerasan dan terorisme pada umumnya
merupakan respons dalam bentuk perlawanan terhadap kebijakan Amerika dan
sekutunya yang dianggap merugikan kelompoknya.
Pasca
runtuhnya gedung WTC pada 11 September 2001, Amerika memberlakukan kebijakan
baru yang dinamakan “perang melawan terorisme” yang diberlakukan secara global.
Ada garis tegas yang diberlakukan oleh Amerika: siapa yang mendukung kebijakan
tersebut merupakan sekutu bagi Amerika, sedangkan yang menolaknya dianggap
sebagai musuh. Dengan dalih perang melawan terorisme tersebut Amerika dan
sekutunya memburu para aktivis muslim yang dicurigai sebagai kelompok teroris
di berbagai negara, terutama negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Pelan
namun pasti kebijakan Amerika dan sekutunya tersebut menimbulkan stigma negatif
terhadap Islam dan umat Islam, terutama bagi masyarakat barat yang tidak
mengenal Islam secara benar. Tertanam dalam pandangan sebagian besar masyarakat
barat bahwa Islam identik dengan terorisme.
Kondisi
inilah yang kemudian menyebabkan “mengerasnya” sikap sekelompok umat Islam,
yang kemudian mendorong mereka melakukan serangkaian pembalasan penyerangan
terhadap kepentingan Amerika dan sekutunya di manapun berada, termasuk di
negara-negara berpenduduk mayoritas muslim sekalipun. Bagi kelompok ini,
kebijakan Amerika dan sekutunya yang mengobarkan perang global melawan
terorisme, dipahami sebagai perang melawan umat Islam secara global. Kelompok
ini membalas kebijakan Amerika dan sekutunya tersebut dengan mengobarkan perang
melawan Amerika dan sekutunya dengan mengincar kepentingan-kepentingan mereka.
Bagi kelompok ini, saat ini di manapun di belahan bumi ini merupakan medan
perang melawan kebijakan Amerika dan sekutunya. Kelompok ini menjustifikasi
aktifitasnya dengan mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah jihad
melawan pihak-pihak yang memerangi umat Islam. Mereka membolehkan melakukan
serangkaian pengeboman pada objek-objek yang mereka anggap sebagai perpanjangan
kepentingan Amerika dan sekutunya, di manapun objek tersebut berada, bahkan di
negara berpenduduk mayoritas muslim sekalipun.
Justifikasi
terhadap apa yang kelompok ini lakukan, yaitu dengan mengatasnamakan jihad,
tidak disetujui oleh para ulama. Kelompok radikalisme agama ini memahami jihad
hanya dengan arti perang (qital). Padahal, menurut para ulama, jihad
juga mempunyai makna lain, misalnya upaya sungguh-sungguh dalam melakukan
perbaikan. Menurut para ulama, jihad selain mempunyai makna qital
(perang), juga mempunyai makna ishlah (perbaikan).
Penolakan
terhadap aplikasi kebijakan Amerika dan sekutunya yang dianggap zhalim tidak
dengan serta-merta membolehkan untuk melakukan pembalasan dengan jalan
kekerasan yang mengarah pada terorisme. Menurut para ulama, apa yang kelompok
ini lakukan tidaklah bisa dianggap sebagai jihad, karena jihad dengan
pengertian perang (qital) ada syarat-syaratnya. Klaim yang disampaikan
oleh para pelaku teror bahwa apa yang mereka lakukan tidak lain merupakan Jihad
sangatlah tidak sesuai dengan ajaran Islam dan merupakan penyimpangan dari
makna jihad.
Melakukan
jihad ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya harus dilakukan di
wilayah perang (daar al-harb). Padahal dalam konteks Indonesia, sejak
merdeka pada tahun 1945, para ulama yang merupakan bagian penting dari pendiri
negara Indonesia, telah sepakat bahwa Indonesia bukanlah wilayah perang (daar
al-harb) melainkan merupakan wilayah damai (daar as-shulh), wilayah
aman (daar as-salam) dan wilayah dakwah (daar ad-da’wah). Bom
bunuh diri yang dilakukan dalam rangka pengeboman terhadap objek yang dipahami
sebagai perpanjangan kepentingan Amerika dan sekutunya di Indonesia bukanlah
merupakan tindakan mencari kesyahidan (‘amaliyah al-istisyhad), karena
dilakukan bukan di daerah perang. Tindakan mencari kesyahidan (‘amaliyah
al-istisyhad) dibolehkan hanya di daerah perang (dar al-harb) atau
dalam keadaan perang.
Sebagian
ulama juga menyatakan bahwa kewajiban jihad dalam arti qital bukanlah
tujuan utama melainkan sebagai perantara (washilah). Karena itu, jika
ada cara lain yang lebih memungkinkan menuju jalan hidayah maka cara itu
lebih utama daripada cara jihad dengan arti perang (qital). Sebagaimana diungkapkan dalam kitab “I’anatul
Thalibin” juz IV halaman 180-181:
ووجوب الجهاد وجوب الوسائل لا المقاصد إذ
المقصود بالقتال إنما هو الهداية وما سواها من الشهادة. وأما قتل الكفار فليس
بمقصود حتى لو أمكن الهداية بإقامة الدليل بغير جهاد كان أولى من الجهاد...
“Kewajiban jihad merupakan washilah (perantara)
bukan tujuan. Karena tujuan peperangan itu hanyalah dalam rangka memberikan
hidayah (petunjuk). Dan memerangi orang kafir juga bukan tujuan sehingga
apabila hidayah itu dimungkinkan dilakukan dengan pendekatan dalil tanpa
melalui peperangan maka itu lebih utama.”
Dengan pengertian
seperti itulah Majelis Ulama Indonesia menolak adanya upaya dari
pihak-pihak tertentu yang mengidentikkan jihad dengan teror. Majelis Ulama
Indonesia juga menolak adanya pemahaman bahwa perang terhadap kepentingan
Amerika dan sekutunya dengan mengebomnya merupakan tindakan jihad. Majelis
Ulama Indonesia melalui forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun
2003 menetapkan fatwa tentang Terorisme, yang antara lain menyatakan: Terorisme
adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman
serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia
serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk
kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat
transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary
crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskrimatif). Sedangkan
jihad mengandung dua pengertian :
1. Segala
usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan untuk menanggung kesulitan di
dalam memerangi dan menahan agresi musuh dalam segala bentuknya. Jihad dalam
pengertian ini juga disebut al-qital atau al-harb.
2. Segala
upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan
agama Allah (li i’laai kalimatillah).
Dengan
fatwa tersebut MUI ingin membedakan antara pengertian teror dan jihad.
Terorisme sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis/chaos (faudha).
Tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak lain serta
dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Sedangkan jihad sifatnya
melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan. Tujuannya
menegakkan agama Allah dan/atau membela hak-hak pihak yang terzholimi.
Dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran
musuh yang sudah jelas.
Tekstualisme Agama
Kelompok tekstualisme agama ditengarai dari
pemahamannya terhadap ajaran agama (nash) yang cenderung harfiyyah. Kelompok
ini lebih menekankan pemahaman nash secara dhahir (manthuq an-nash) dan
mengabaikan pemahaman nash secara lebih substansial (mafhum an-nash).
Secara apriori kelompok ini menolak penafsiran dan pentakwilan nash yang
berbeda dari pengertian zhahirnya (manthuq). Penafsiran dan pentakwilan
nash yang tidak didukung secara jelas (sharikh) oleh nash lain dianggap
sebagai mengada-ada (bid’ah dhalalah). Dengan pemahaman seperti
itu kelompok ini banyak berseberangan dengan pemahaman umat Islam lainnya dalam
memahami nash yang bukan hanya memahaminya dari sisi manthuq an-nash
saja tapi juga dari sisi mafhum an-nash.
Pemahaman agama yang hanya didasarkan pada manthuq
an-nash saja akan menimbulkan kekakuan dalam beragama. Karena agama Islam
diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai agama terakhir,
sehingga apapun peristiwa dan permasalahan yang muncul seiring dengan
perkembangan zaman dapat dicarikan jawabannya dalam agama. Nash keagamaan (nushush
syar’iyah) terbatas pada ayat quraniyah dan sunnah nabawiyah
sedangkan permasalahan akan senantiasa muncul seiring dengan perkembangan
zaman. Sehingga apabila pemahaman agama didasarkan hanya pada munthuq
an-nash saja maka boleh jadi agama tidak akan bisa menjawab permasalahan
yang muncul, karena tidak semuanya termaktub secara jelas di dalam nash. Suatu
hal yang tidak mungkin menjawab semua persoalan yang muncul hanya terpaku
dengan manthuq an-nash, karena nash sifatnya sangat terbatas
sedangkan persoalan yang terjadi terus berkembang. Sebagaimana ungkapan para
ulama:
لأن النصوص محدودة
ولكن الحوادث والنوازل غير محدودة أو لأن النصوص تتناهى ولكن الحوادث والنوازل لا
تتناهى.
“sesungguhnya
nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang muncul tidaklah terbatas.
Atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan permasalahan akan
senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti”
Ajaran
agama yang tidak disebutkan dalilnya secara eksplisit di dalam al-Quran dan
Hadis dengan begitu lebih banyak dan lebih besar. Ajaran agama yang seperti itu
biasanya dirumuskan melalui tata cara ijtihad. Imam al-Haramain, seorang ulama
besar mazhab Syafi’iyah menyatakan:
فإنّ معظم الشريعة صدر من الإجتهاد
“Sesungguhnya sebagian besar dari ajaran
agama (syari’ah) berasal dari hasil ijtihad”
Secara
faktual kelompok seperti ini, yaitu kelompok yang memahami nash hanya dengan
pendekatan tekstual (literer/harfiyyah) dan kelompok yang memahami nash hanya
didasarkan pada pendapat ulama terdahulu, banyak berkembang di beberapa negara,
termasuk di Indonesia. Kelompok seperti ini menjadi berbahaya kalau sudah mulai
menyalahkan umat Islam lainnya yang pemahaman keagamaannya berbeda dengan
pemahaman kelompoknya. Tidak jarang dalam menyalahkan umat Islam lainnya,
kelompok ini menggunakan cap bid’ah, sehingga memunculkan konflik di antara
umat Islam sendiri. Padahal tidak jarang permasalahan yang diperselisihkan
merupakan permasalahan furu’iyah, yang merupakan wilayah ijtihadiyah,
yang sebenarnya tidak perlu diperselisihkan.
Untuk
mengantisipasi akibat buruk dari hal tersebut Majelis Ulama Indonesia menetapkan
fatwa tentang Penyamaan Pola Pikir dalam Masalah Keagamaan (taswiyah
al-manhaj). Fatwa ini penting untuk mempersatukan persepsi umat Islam di
Indonesia tentang mana saja dalam ajaran agama yang merupakan perkara yang
tidak bisa diperdebatkan (معلوم من الدين بالضرورة), sehingga apabila ada pihak yang
menyimpang dari ketentuan tersebut dengan pasti dapat dikatakan sebagai sesat,
dan mana saja perkara yang termasuk ijtihadi sehingga terbuka untuk
adanya perbedaan pendapat (مجال الإختلاف).
Dalam
menyikapi masalah-masalah perbedaan yang masuk dalam majal al-ikhtilaf Majelis
Ulama Indonesia menyatakan sebaiknya diupayakan mencari titik temu untuk
keluar dari perbedaan (al-khuruj min al-khilaf) dan semaksimal mungkin
menemukan persamaan. Sehingga dengan begitu bisa terhindar dari sikap saling
permusuhan (al-’adawah), pertentangan (al-tanazu’), dan
perpecahan (al-insyiqaq).
Liberalisme Agama
Kelompok
liberalisme agama ditengarai dengan prinsip dasar yang mereka anut dalam
memahami nash. Berbeda dengan kelompok tekstualisme agama yang terlalu kaku
dalam memahami nash, kelompok liberalisme agama terlalu kebablasan dalam
menafsiri nash. Kelompok ini meyakini bahwa setiap manusia mempunyai hak yang
sama untuk menafsiri nash. Mereka juga berkeyakinan bahwa nash merupakan teks
terbuka yang bisa didekati dengan cara dan metode apapun, tidak harus dengan
cara dan metode tertentu (al-manhaj fi fahmi an-nushus) sebagaimana yang
telah diformulasikan oleh para ulama.
Kelompok
ini juga meyakini bahwa dalam memahami nash harus diselaraskan dengan
kemaslahatan umum (al-mashlahah), bahwa mereka meyakini bahwa nash bisa
dihapus oleh kemaslahatan (نقض النص بالمصلحة), sehingga apabila nash tidak sesuai dengan al-mashlahah
maka pemahaman terhadap nash harus diubah disesuaikan dengan kepentingan
maslahah (إذا تعارض النص والمصلحة قدم المصلحة). Padahal seharusnya tidaklah demikian,
apabila nash bertentangan dengan kemaslahatan umum (al-mashlahah) maka
nash harus dimenangkan dan didahulukan (إذا تعارض النص والمصلحة قدم النص). Karena, jika ada kemaslahatan yang tidak sesuai dengan
kehendak nash maka maslahah tersebut adalah bersifat asumtif dan semu (مصلحة موهومة), sedangkan kemaslahatan yang terkandung dalam nash adalah
kemaslahatan yang pasti (مصلحة حقيقية).
Kelompok
liberalisme agama yang membebaskan penafsiran/pentakwilan nash dengan tanpa
memperhatikan sistem dan metodologi (بدون منهج ولا ضوابط) sangatlah berbahaya, karena bisa
menerjang makna terdalam nash (mafhum an-nash). Pemahaman terhadap nash
yang seperti itu walaupun sesuai dengan kehendak nash tetaplah dianggap salah
dan tercela, sebagai sabda rasulullah SAW:
"مَن
فسَّر القرآن برأيه فأصاب الحق فقد أخطأ"
“Barangsiapa
menafsiri nash al-Quran dengan akal pikirannya kemudian sesuai dengan
kebenaran, maka tetap saja salah”.
Di hadis lain
rasulullah SAW bersabda:
"مَن فسَّر القرآن برأيه فليتبوأ مقعدة من النار"
“Barangsiapa
menafsiri nash al-Quran dengan akal pikirannya maka telah tersedia baginya
tempat di neraka”.
Di dalam al-Quran
diisyaratkan kelompok seperti ini tidak beruntung:
ولا تقولوا لما تصف
ألسنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا على الله الكذب، إن الذين يفترون على
الله الكذب لا يفلحون {النحل: 116}
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” Q.S. An-Nahl [16] : 116
Pemahaman liberalisme
agama ini bisa memunculkan pemahaman menyimpang lainnya, misalnya sekularisme
dan pluralisme agama. Oleh karenanya, Majelis Ulama Indonesia menetapkan fatwa
tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama. Fatwa MUI tersebut
menjadi panduan bagi umat Islam di Indonesia dalam menyikapi berkembangnya
faham-faham tersebut. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga diharapkan bisa
menjadi penghambat berkembangnya faham-faham tersebut di Indonesia. Oleh karenanya, kelompok pengusung dan
penyebarnya sangat menentang fatwa MUI tersebut. Dengan berbagai dalih dan
argumentasi kelompok tersebut melakukan delegitimasi fatwa MUI.
Para ulama di
Indonesia memandang serius gerakan liberalism, sekularisme dan pluralisme
agama, karena gerakan tersebut bertujuan merobohkan pilar-pilar epistimologis
ajaran Islam dengan menggunakan frasa, istilah dan argumentasi keagamaan yang
disimpangkan. Faham tersebut oleh ulama di Indonesia dipandang telah
membelokkan ajaran Islam sedemikian rupa sehingga menimbulkan keraguan umat
terhadap akidah dan syariat Islam (تشكيك الأمة من
العقيدة المستقيمة) serta menjerumuskan umat ke dalam
kesesatan (تضليل الأمة إلى الأفكار الباطلة).
Perlu digaris bawahi
bahwa fatwa MUI membedakan antara pluralisme dan pluralitas agama. Dalam fatwa
MUI yang dimaksud dengan Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan
bahwa semua agama adalah sama dan semua pemeluk agama akan masuk dan hidup
berdampingan di surga, karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh
sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja
yang benar sedangkan agama yang lain salah. Sedangkan pengertian pluralitas
agama yang dimaksud oleh fatwa adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau
daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
Adapun pengertian Liberalisme agama dalam fatwa MUI adalah memahami nash-nash
agama (Al-Quran & As-Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas;
dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran
semata.
Fatwa MUI menyatakan
bahwa Pluralisme, Sekularisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud dalam
pengertian di atas adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam,
karenanya umat Islam haram mengikuti paham tersebut. Fatwa MUI juga
menyebutkan bahwa dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap
eksklusif, dalam arti haram mencampur-adukkan aqidah dan ibadah umat Islam
dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
Point
terakhir, fatwa MUI menyebutkan bahwa bagi masyarakat muslim yang tinggal
bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak
berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam harus bersikap inklusif, dalam
arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak
saling merugikan agama.
Sesatisme
Agama
Menentukan
sesat-tidaknya sebuah aliran paham keagamaan harus dilakukan dengan hati-hati.
Selain mendasarkan diri pada dalil-dalil keagamaan (an-nushus as-yar'iyah),
juga perlu meneliti latar belakang hingga muncul pemahaman yang menyimpang
tersebut.
Suatu paham dikatakan
sesat jika bertentangan dengan akidah dan hukum-hukum syariah yang qath‘i.
Suatu paham yang menyimpang dari rukun iman, rukun Islam, dan atau tidak
mengimani kandungan al-Quran dan as-Sunnah dapat dikategorikan sesat.
Rasulullah saw. bersabda:
تركت
فيكم أمرين لن تضلوا ما إن تمسكتم بهما: كتاب الله وسنة رسوله
“Aku
tinggalkan kepada kalian dua hal, yang mana kalian tidak akas sesat selama
berpegang teguh pada keduanya: kitabullah dan sunnah Rasul-Nya”
Majelis Ulama Indonesia
dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) tahun 2007 menetapkan kriteria sebuah
aliran keagamaan dianggap sesat. Kriteria tersebut selengkapnya adalah sbb:
1.
Mengingkari salah satu
dari rukun iman yang 6 (enam), yakni beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya,
kepada kitab-kitab-Nya, kepada Rasul-Rasul-Nya, kepada hari akhirat, kepada
Qadha dan Qadar, dan rukus Islam yang 5 (lima), yakni mengucapkan dua kalimat
syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan,
dan menunaikan ibadah haji.
2.
Meyakini dan atau
mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar'i (al-Quran dan
as-Sunnah);
3.
Meyakini turunnya wahyu
setelah al-Quran;
4.
Mengingkari otentisitas
dan atau kebenaran isi al-Quran;
5.
Melakukan penafsiran
al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir;
6.
Mengingkari kedudukan
hadis nabi sebagai sumber ajara Islam;
7.
Menghina, melecehkan
dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul;
8.
Mengingkari Nabi
Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir;
9.
Merubah, menambah dan
atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti
haji tidak ke Baitullah, shalat fardhu tidak lima waktu;
10.
Mengkafirkan sesama
muslim tanpa dalil syar'i, seperti mengkafirkan muslim hanya bukan kelompoknya.
Kriteria tersebut
apabila dilanggar satu point saja maka sudah dianggap sesat, apalagi kalau yang
dilangar point-poin dalam kriteria tersebut. Kriteria yang
disampaikan oleh MUI tersebut dapat dijadikan pedoman (guidance) bagi
aparat pemerintahan yang mempunyai kewenangan untuk memutus apakah sebuah
aliran dianggap menyimpang sehingga harus dilarang atau tidak. Kriteria
tersebut juga dapat dijadikan pedoman masyarakat luas dalam menghadapi ajakan
dari berbagai aliran agar tidak terjerumus masuk dalam kelompok aliran
menyimpang tersebut.
Upaya
Pengembalian Pemahaman
Keempat
kelompok tersebut, yakni radikalisme agama, tekstualisme agama, liberalisme
agama dan kelompok sesat telah menyimpang dari jalur pemahaman agama secara
benar. Oleh karenanya perlu dilakukan langkah dan upaya untuk mengembalikan
pemahaman mereka ke jalur yang sesuai dengan paham Ahlussunnah Wal-jama’ah.
Di antara upaya yang bisa dilakukan adalah :
1.
mengembalikan cara
memahami nash sebagaimana yang diajarkan oleh para as-salaf as-sholih,
yakni dengan tetap berpegang pada metodologi pengambilan hukum (manhajiyyan),
tetap dinamis (tathawwuriyyan), tetap mengedepankan faham moderat dalam
memahami ajaran agama (tasamuhiyyan), dan menjauhkan dari pemahaman
agama yang akstrim (tawasshuthiyyan).
Pengertian
as-salaf as-sholih di sini bukan seperti pengertian sebuah kelompok yang
menamakan diri kelompok salafi, tapi merupakan fase generasi awal dalam sejarah
Islam yang paling valid paradigma berfikirnya dalam memahami dalil-dali
keagamaan (manhaj al-fikr fi fahmi an-nushus as-syar’iyah), sebagaimana
sabda rasulullah SAW :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ
“manusia
terbaik adalah generasiku (generasi para sahabat), kemudian generasi sesudahnya
(generasi para tabi’in), kemudian generasi sesudahnya (generasi tabi’ut tabi’in)”
Hadis
di
atas menunjukkan periodisasi generasi awal dalam sejarah Islam. Generasi pertama adalah generasi di
mana Rasulullah masih hidup, yakni generasi para sahabat. Generasi ini dianggap
paling valid metode pemahamannya terhadap nash karena para sahabat adalah
generasi di mana al-Quran diturunkan, menerima dan memahami aqidah, syariah dan
akhlak langsung dari rasulullah SAW. Apa yang belum jelas pada mereka langsung
bisa ditanyakan kepada Rasulullah SAW. Sehingga keyakinan mereka kokoh tak
tergoyahkan dan pemahaman mereka terhadap nushus syar’iyah otentik
karena berasal langsung dari Rasulullah SAW, namun pemahaman mereka belum
tersistematisasikan dan belum terbukukan.
Sedangkan
generasi terbaik kedua menurut hadis di atas adalah generasi para tabi’in,
di mana generasi ini belajar dari para sahabat bagaimana cara memahami nash
yang benar sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada mereka. Pada
periode ini pemahamannya juga belum tersistematisasikan dan belum terbukukan.
Sedangkan
generasi terbaik ketiga adalah generasi tabiut tabi’in, di mana pada
generasi inilah cara memahami nash (al-manhaj fi fahmi an-nushus)
sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabat dan kemudian
diajarkan kepada para tabi’in diformulasikan dengan lebih sistematis dalam
berbagai buku. Ketiga generasi ini
dalam khazanah Islam sering disebut dengan “as-Salaf as-Shalih”.
Dengan
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan mengikuti “as-Salaf
as-Shaleh” di sini bukan semata-mata karena mereka hidup di zaman-zaman
generasi awal Islam, akan tetapi karena mereka adalah generasi yang paling
memahami bagaimana cara memahami nash (al-manhaj fi fahmi an-nushus)
secara benar sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah kepada mereka.
Cara memahami nash tersebut telah
tersistematisasikan sedemikian rupa oleh para ulama di masa tabi’ at-tabi’in.
Para ulama era tersebut yang telah melakukan langkah besar mensistematisasi al-manhaj fi
fahmi an-nushus. Yang paling menonjol dari generasi ini adalah empat imam
mazhab, yakni: imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan imam Ahmad Ibnu
Hanbal. Keempat imam mazhab ini yang paling monumental karya-karyanya sehingga
mempunyai banyak pengikut di masa setelahnya.
2.
Melakukan advokasi melalui
kebijakan pemerintah dan menyadarkan masyarakat. Artinya keputusan ulama yang
menetapkan status hukum terhadap empat kelompok distortif sebagaimana disebut
di atas harus ditindaklanjuti dengan melakukan pembubaran organisasi yang
menaunginya, agar pemahaman yang distortif yang dianut oleh kelompok tersebut
tidak menyebar kepada orang lain. Oleh karena kewenangan untuk melakukan
pembubaran sebuah organisasi adalah pemerintah, maka harus dilakukan upaya
advokasi agar keputusan ulama tersebut bisa diakomodasi dalam kebijakan
pemerintah. Jangan sampai upaya pembubaran tersebut dilakukan oleh kelompok
masyarakat sendiri. Upaya advokasi ini bisa disebut upaya taqninisasi.
Setelah ada kebijakan dari pemerintah tentang status kelompok distortif ini
maka umat Islam juga harus melakukan advokasi dijalankannya kebijakan tersebut.
Jangan sampai kebijakan telah diambil oleh pemerintah tapi tumpul karena tidak
dijalankan. Upaya ini bisa disebut upaya tathbiqisasi, yaitu upaya
mengawal agar kebijakan pemerintah dapat dilaksanakan.
Di
antara cotoh kasus dari gerakan advokasi ini adalah tentang Ahmadiyah. Pertama
para ulama menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan ajaran sesat yang keluar dari
Islam, karena mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Karena ditetapkan
sesat maka kelompok yang meyakini ajaran Ahmadiyah ini harus dibubarkan.
Mengingat kewenangan untuk membubarkan sebuah kelompok atau organisasi itu
berada pada pemerintah, maka MUI melakukan upaya taqninisasi agar fatwa
MUI tersebut diakomodasi oleh pemerintah dan pemerintah menetapkan kebijakan
kalau ajaran Ahmadiyah merupakan aliran sesat dan terlarang. Kemudian
pemerintah mengakomodasi aspirasi tersebut dengan menerbitkan SKB tentang
larangan Ahmadiyah. Setelah SKB diterbitkan tentu saja umat Islam harus
memastikan kalau kebijakan tersebut dapat dilaksanakan.
Khatimah
Radikalisme
agama, tekstualisme agama, liberalisme agama dan ajaran sesat merupakan
pemahaman terhadap ajaran agama yang menyimpang dari kaidah pemaham nash (al-manhaj
fi fahmi an-nushus) sebagaimana yang telah diformulasikan oleh para ulama,
oleh karenanya umat Islam agar menjauhinya.
Radikalisme
agama dikategorikan menyimpang karena mengatasnamakan jihad untuk melegalkan
tindakan kekerasan yang mereka lakukan. Kelompok ini memahami jihad hanya
dengan pengertian perang (qital), dan menjadikan negara yang damai
sebagai medan perang (dar al-harb).
Tekstualisme
agama dianggap menyimpang karena dalam memahami nash hanya berpegang pada manthuq
an-nash dan mengabaikan mafhum an-nash, serta menganggap bid’ah
orang yang berbeda pemahaman dengan kelompoknya.
Liberalisme
agama dengan pengertian membuka penafsiran nash dengan tanpa metodologi dan
manhaj tertentu merupakan penyimpangan dalam memahami nash dan merupakan bentuk
lain untuk menghancurkan agama Islam. Pluralisme agama dengan pengertian
relatifisme agama yang memahami semua agama sama benarnya adalah faham yang
menyimpang dari ajaran Islam yang benar.
Sesatisme
agama merupakan pemahaman agama dengan mengacak-acak pokok-pokok ajaran agama (ma’lum
min ad-din bi ad-dharurah). Kelompok yang meyakini ajaran sesat ini
dihukumi murtad dan keluar dari agama Islam.
Di
antara upaya untuk menghilangkan pengaruh dari keempat pemahaman tersebut
diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk mendakwahkan pemahaman ahlussunnah
wal-jamaah kepada umat Islam, yaitu dengan mengembalikan cara memahami nash
sebagaimana yang diajarkan oleh para as-salaf as-sholih, yakni dengan
tetap berpegang pada metodologi pengambilan hukum (manhajiyyan), tetap
dinamis (tathawwuriyyan), tetap mengedepankan faham moderat dalam
memahami ajaran agama (tawasshuthiyyan), dan menjauhkan dari pemahaman
agama yang akstrim (tatharrufiyyan).
Selain
itu, perlu juga dilakukan advokasi agar ada fatwa hukum dari ulama, kemudian
diupayakan ditaqninkan melalui kebijakan pemerintah, dan kemudian dilakukan
tathbiqisasi terhadap kebijakan tersebut.
Wallahu
Ta’ala A’lam